Rabu, 28 Maret 2012

[Koran-Digital] Kisah Zona Waktu di Indonesia

Kisah Zona Waktu di Indonesia

Waktu yang seragam. Mampukah menyeragamkan etos kerja orang Indonesia?
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO DAN BONNIE TRIYANA

SANDFORD Fleming, perencana perjalanan kereta api dan teknisi asal
Kanada, baru saja ketinggalan kereta ketika dia mengunjungi Irlandia
dalam tahun 1876. Dia bingung. Jadwal keberangkatan kereta ternyata tak
sesuai dengan waktu sebenarnya. Dia mengira kereta berangkat malam,
tetapi kereta telah berangkat pada pagi hari. Ada perbedaan meridian
antara Fleming dengan jadwal yang disusun oleh orang Irlandia. Ini
karena kala itu belum ada pembagian waktu secara baku. Tiap negeri, tiap
kota memiliki aturan waktunya sendiri. Akibatnya, orang asing sering
salah mengerti waktu jika berkunjung ke suatu negeri jauh.

Sejak peristiwa itu, Fleming berpikir tentang kebutuhan ukuran pembagian
waktu yang baku. Sebagai perencana perjalanan kereta jarak jauh, dia tak
mau ada kekacauan jadwal hanya karena orang salah membaca waktu.

Berdasarkan waktu rotasi bumi yang dibulatkan, 24 jam, dan derajat bumi,
360o, Fleming membagi bumi ke dalam 24 zona waktu. Titik nol atau
toloknya berasal dari Greenwich yang berada di bujur 0o. Ini berarti,
waktu di tiap garis bujur selebar 15o dapat berbeda satu jam lebih
lambat atau lebih cepat dari Greenwich. Semakin ke timur, waktu berbeda
satu jam lebih cepat daripada Greenwich (+). Sebaliknya, semakin ke
barat, waktu berbeda satu jam lebih lambat (-). Selisih waktu paling
cepat dari Greenwich adalah 12 jam, pun jua dengan selisih paling
lambatnya. Usul ini disepakati secara internasional melalui sebuah
Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada Oktober 1884.

Di Hindia Belanda, koloni Belanda, pembagian waktu belum sepenuhnya
mengikuti standar Greenwich Meridian Time (GMT). Belanda, meskipun
tercatat sebagai negara yang menyetujui konferensi itu, belum merumuskan
pembagian waktu untuk koloninya. Belanda baru menetapkan pembagian waktu
pada 1908.

Staats Sporwegen (jawatan kereta api) meminta kepada pemerintah untuk
menyusun sebuah zona waktu (mintakad) demi kelancaran perjalanan kereta
di Jawa. Ketika itu, Hindia Belanda telah memiliki "greenwich" sendiri
sebagai titik nol derajatnya, Jawa Tengah. Melalui Gouvernements besluit
6 Januari 1908, Jawa Tengah dan Batavia memiliki perbedaan waktu dua
belas menit. Itu artinya, Batavia lebih lambat 12 menit dari Jawa
Tengah. Peraturan ini diterapkan secara resmi pada 1 Mei 1908 dan hanya
berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Di luar wilayah itu, pemerintah
tidak mengaturnya.

Wilayah Sumatera Barat dan Timur dan Balikpapan menjadi wilayah luar
Jawa pertama yang mendapatkan pembagian waktu. Pemerintah mulai membagi
waktu ketiga wilayah itu pada 22 Februari 1918. Padang tercatat memiliki
perbedaan waktu 39 menit lebih lambat daripada Jawa Tengah, sedangkan
Balikpapan berselisih 8 jam 20 menit lebih cepat dari Greenwich.
Peraturan pembagian waktu selanjutnya, 1 Januari 1924, tidak mengubah
pembagian waktu tersebut secara berarti. Peraturan itu hanya menetapkan
selisih waktu antara Jawa Tengah dengan Greenwich adalah 7 jam 20 menit
lebih cepat dari Greenwich. Di luar peraturan itu, pembagian waktu tiap
daerah ditentukan oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in Buitengewesen.

Memasuki 1930-an, penerbangan internasional dari Hindia Belanda ke
Singapura dan Autralia dibuka. Peraturan mengenai pembagian waktu harus
dirumuskan ulang. Hindia Belanda, untuk pertama kalinya, terbagi atas
enam zona waktu sejak 11 November 1932 melalui peraturan Bij Gouvernment
Besluit van 27 Juli 1932 no. 26, Staatsblad No .412. Selain pertimbangan
penerbangan, kebiasaan masyarakat pemakai jam matahari juga menjadi
alasan keluarnya peraturan ini. Pemerintah kolonial berharap masyarakat
itu tak dirugikan dengan pembagian waktu ini. Dalam pembagian waktu ini,
selisih waktu tiap zona adalah 30 menit.

Peraturan ini menjadi tak berlaku kala Belanda menyerahkan Hindia kepada
Jepang pada 1942. Jepang menyesuaikan pembagian waktu di Hindia dengan
kebutuhan militer dan propagandanya. Peraturan itu berlaku sejak 20
Maret 1942 sampai dengan 16 September 1945. Akibatnya, waktu di tiap
wilayah Hindia disamakan dengan waktu Tokyo (GMT + 9). Sejarawan Didi
Kwartanada mengatakan penyesuaian waktu dengan Tokyo itu untuk
memudahkan mengatur daerah pendudukan Jepang di Asia. "Namun Jawa paling
terpengaruh karena waktunya harus maju satu setengah jam lebih dulu dari
biasanya. Yang paling susah orang yang biasa sholat subuh jam 04:00 jadi
jam 02:30 malam," kata doktor sejarah alumnus National University of
Singapore itu.

Bukan hanya itu, anak sekolah pun mesti berangkat sekolah lebih pagi
dari biasanya, pada pukul 05:30 subuh. Pemberlakuan itu menimbulkan
banyak kekacauan di masyarakat. Didi merujuk kepada buku Tjamboek
Berdoeri, sebuah memoar karya Kwee Thiam Tjing, yang mengisahkan betapa
orang-orang Jawa di bawah Jepang yang harus menyesuaikan waktu Tokyo.
"Kwee Thiam Tjing menulis kalau dia sering ngantuk karena harus bangun
tidur lebih cepat dari biasanya," katanya.

Bukan hanya jam, sistem penanggalan pun disesuaikan dengan penanggalan
sumera, yang membuat orang Indonesia jauh lebih tua 660 tahun dari orang
Jepang. Didi mengatakan, "Tahun 1942 disetarakan dengan 2602 tahun
sumera yang berarti umur orang Jawa jauh lebih tua 660 tahun dari orang
Jepang." Bahkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun menggunakan tahun
sumer, yakni 2605, bukan 1945.

Ketika Belanda kembali menduduki sebagian daerah di Indonesia pada 1947,
zona waktu di Indonesia terbagi tiga. Ini karena Belanda mengubah zona
waktu Indonesia secara sepihak. Tiap zona berselisih GMT + 6, + 7, dan +
8, kecuali Papua yang berselisih GMT + 9. Tidak diketahui secara pasti
pertimbangan apa yang melatarbelakangi pembagian waktu ini. Namun,
pembagian ini tak berlangsung lama. Pada 1950, Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, Indonesia kembali ke pembagian
enam zona waktu dengan selisih 30 menit tiap zona. Aturan ini tertuang
dalam Keppres RI No. 152 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada 1 Mei 1950.
Hanya Irian yang masih menggunakan peraturan Belanda tahun 1947 karena
masih diduduki Belanda.

Keppres itu bertahan selama 13 tahun. Pada 1963, Indonesia hanya terbagi
atas tiga zona waktu: barat, tengah, dan timur. Irian Jaya yang telah
kembali ke dalam wilayah Indonesia masuk zona timur bersama daerah
tingkat I Maluku karena terletak pada 135 derajat bujur timur. Selisih
waktunya dengan GMT adalah + 9. Daerah Tingkat I dan istimewa di
Sumatera, Jawa, Madura, dan Bali masuk zona barat karena terletak pada
105 derajat bujur timur. Wilayah-wilayah ini berselisih + 7 dari GMT.
Zona Indonesia Tengah meliputi Daerah Tingkat I di Kalimantan, Sulawesi,
dan Nusa Tenggara. Letak bujurnya adalah 120 derajat bujur Timur dan
berselisih + 8 dari GMT. Itu artinya, ada selisih satu jam di tiap zona.
Pembagian ini dikukuhkan melalui Keppres No. 243 Tahun 1963. Beberapa
pertimbangannya antara lain, segi sosial, agama, efisiensi ekonomi, dan
penyederhanaan. Pembagian itu dimulai secara resmi sejak 1 Januari 1964.

Keberatan-keberatan segera muncul dari beberapa kalangan sejak
diterapkannya pembagian tiga zona itu. Mereka menilai pembagian waktu
itu janggal. Orang-orang di Sabang dan Pontianak harus bangun lebih pagi
karena jam terbit matahari menjadi lebih awal. Tak sesuai dengan waktu
terbit sebenarnya. Apalagi kota Pontianak ternyata justru tidak masuk
zona barat walaupun terletak dalam bujur yang sama dengan Tegal.
Sementara itu, Bali justru masuk zona barat meski terletak dalam bujur
zona tengah.

Atas beberapa pertimbangan lain seperti pariwisata dan keberatan
sebagian kalangan, pemerintah mengeluarkan peraturan baru mengenai
pembagian waktu melalui Keppres RI No. 41 Tahun 1987. Tidak ada
perubahan pembagian zona waktu dalam peraturan baru tersebut. Indonesia
tetap terbagi atas tiga zona waktu. Hanya beberapa daerah yang ditukar
zona waktunya. Bali, misalnya, masuk ke zona tengah karena pertimbangan
pariwisata, sedangkan Kalimantan Barat dan Tengah ditarik masuk ke zona
barat dari zona tengah. Pembagian waktu ini berlangsung hingga sekarang
meski usul perubahan pembagian waktu menjadi satu zona terus berkembang
akhir-akhir ini.

Kini pemerintah menggulirkan wacana untuk menyatukan zona waktu di
seluruh wilayah Republik. Hal tersebut dikemukakan oleh Menko Bidang
Perekonomian Hatta Rajasa, Minggu, 11 Maret lalu di Jakarta. Menurutnya
penyatuan zona waktu dilakukan dengan alasan efisiensi kinerja sekaligus
meningkatkan aktivitas ekonomi.

Singapura pun menentukan waktu sejam lebih cepat karena tak mau
ketinggalan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Sebenarnya Singapura
memiliki kesesuaian waktu dengan Indonesia bagian barat, khususnya
Sumatera. "Lee Kuan Yew tak ingin warga Singapura ketinggalan. Kalau
dilihat, anak sekolah di sana berangkat pagi-pagi sekali," kata Didi.

Namun, apakah penggabungan zona waktu di seluruh wilayah Indonesia mampu
pula mengubah etos kerja dan budaya orang Indonesia? Kita tunggu saja nanti.

http://historia.co.id/artikel/2/976/Majalah-Historia/Kisah_Zona_Waktu_di_Indonesia

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.