Minggu, 01 April 2012

[Koran-Digital] Burhanuddin Muhtadi: Langkah Kuda Golkar dan Politik BBM

  
Langkah Kuda Golkar dan Politik BBM
Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Jakarta dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Hasil akhir Sidang Paripurna DPR jelas menjadi kartu truf bagi Golkar untuk makin menancapkan pengaruh di depan SBY sebagai patron utama koalisi.
Pada saat yang sama, posisi tawar PKS makin merosot akibat politik zig-zag yang berubah 180 derajat."

SEKALI lagi, DPR dan pemerintah baru saja melewatkan momen tum berharga untuk mengedepankan politik akal sehat dalam menanggapi isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Selama beberapa pekan terakhir, publik dicekoki pro-kontra tajam seputar penaikan harga BBM.
Politik nirgagasan membuat isu yang jauh lebih substansial dan mencerdaskan mengenai perlu tidaknya mengurangi subsidi BBM menjadi hilang ditelan manuver politik yang penuh intrik, sarat stigmatisasi, hipokrisi, dan insinuasi.

Politisi di DPR sibuk melakukan akrobat politik tanpa didukung argumen rasional dan berisi. Setiap pihak terlihat selektif dalam memilah data yang hanya mendukung predisposisi yang sudah tertanam di kepala mereka. Tak ada kerendahan hati untuk mempertimbangkan argumen kubu lawan mereka. Argumen ekonom yang mendukung pengurangan subsidi BBM karena tak tepat sasaran, tidak produktif, dan tidak ramah lingkungan lang sung dituding proasing, antikerakyatan, dan sarat agenda neolib.

Sebaliknya, kubu kontra pengurangan subsidi langsung dianggap sedang menjalankan agenda politik pencitraan untuk merebut simpati pemilih. Kita baru saja melewatkan kesempatan emas untuk mengadu data, berpikir jernih, sekaligus mengedepankan politik gagasan dalam merespons isu kenaikan harga BBM.
Manuver Golkar Demikianlah diskusi rasional mengenai perlu-tidaknya penaikan harga BBM terjerembab dalam kalkulasi dan manuver politik elite. Itulah yang terjadi jelang Sidang Paripurna DPR, Jumat 30 Maret 2012. Sidang akhirnya memang menyetujui tambahan krusial dalam RUU APBN-P 2012, yakni Pasal 7 ayat 6A yang memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% dalam kurun enam bulan.

Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical), dalam pidato politiknya, Sabtu 31 Maret 2012, mengklaim formula Pasal 7 ayat 6A itu sebagai `produk' partainya yang `dibeli' partaipartai koalisi. “Formula baru dari Fraksi Golkar terbukti memberi ruang kompromi bagi parpol koalisi dan fraksi koalisi lainnya akhirnya menerima solusi baru itu,“ pungkas Ical.
Pidato Ical yang disampaikan sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato pascasidang paripurna, secara simbolis, memamerkan peran krusial Golkar dalam membantu pemerintah agar terhindar dari kekalahan yang memalukan dalam voting di parlemen.

Secara tersirat, Ical ingin mengatakan, tanpa bantuan Golkar, pemerintah takkan pernah punya ruang untuk bisa menyesuaikan harga BBM bersubsidi sesuai dengan harga internasional. Posisi tawar Golkar dalam koalisi memang sangat menentukan. Dalam lobi antarfraksi koalisi, terdapat tiga variasi usulan terkait dengan besaran persentase ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan 2012. Fraksi Demokrat, PAN, PPP, dan PKB setuju 10% dari harga ratarata minyak mentah Indonesia yang diasumsikan dalam APBN, Golkar 15%, sedangkan PKS awalnya meng usulkan 20%.
Setiap fraksi koalisi juga berbeda dalam hal kurun waktu berjalan. Kisarannya mulai 3 sampai 6 bulan.

Ketika Golkar dan PKS tak bergeming untuk mengikuti skenario Demokrat, praktis kekuatan pendukung pemerintah terbelah. Opsi 10% yang diusulkan empat partai koalisi jelas tidak mencapai syarat minimal untuk memenangi voting.
Itulah yang menyebabkan lobi antarfraksi molor hingga 5 jam lebih. Pemerintah berkepentingan agar opsi yang ditawarkan hanya dua, yakni setuju penambahan Pasal 7 ayat 6A yang memberikan rasio nalitas atau tiket politik bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM versus opsi menolak yang diusung oposisi. Fraksi Demokrat akhirnya menerima formula Golkar, kemudian diikuti PAN, PPP, dan PKB Mengerucutnya fraksi koalisi ke formula 15% menjadikan kekuatan pendukung pemerintah lebih dari cukup untuk memenangi voting. Tanpa atau dengan dukungan PKS, opsi penambahan Pasal 7 ayat 6A itu akan lolos. PKS yang sempat tak bersikap langsung balik badan ke barisan oposisi yang menolak tambah an apa pun atas Pasal 7 ayat 6. Perubahan sikap PKS pada injury time itu bisa dibaca sebagai langkah diferensiasi untuk merebut simpati publik. PKS kemudian melakukan framing bahwa pilihan menolak penaikan harga BBM tanpa syarat merupakan komitmen untuk mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang mengikuti langgam yang dimaui pemerintah. PKS sadar bahwa bergabung ke opsi 15% sekadar menari di bawah irama genderang yang ditabuh Golkar.
Politik dua muka Langkah kuda Golkar dalam Sidang Paripurna DPR menunjukkan kelicinan partai itu dalam berakrobat politik. Dalam rapat-rapat pembahasan di badan anggaran tentang Perubahan APBN 2012, Golkar dan PKS sebenarnya telah menyetujui postur anggaran yang diajukan pemerintah, termasuk alokasi besaran subsidi BBM yang `hanya' Rp137 triliun.
Opsi tersebut jelas berbeda dengan PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura yang ngotot agar besaran subsidi BBM sebesar Rp178 triliun sehingga harga BBM tak perlu dinaikkan.

Meski menerima opsi penaikan, sikap akhir Golkar dalam pandangan mini fraksi di badan anggaran menegaskan agar BBM `tidak dinaikkan saat ini'. Golkar juga meminta agar kewenangan mengelola subsidi energi tersebut, termasuk menaikkan dan menurunkan harga BBM, berada di tangan pemerintah. Karena itu, statement Aburizal Bakrie pada Kamis sore 29 Maret 2012 di Bogor dan konferensi pers yang disampaikan Sekjen ng disampaikan Sekjen Golkar Idrus Marham tentang penolakan penaikan harga BBM hanyalah strategi politik guna mening katkan bar gaining position di de pan SBY sekali gus alat pencitraan di depan publik yang mayoritas menolak penaikan harga BBM.

Golkar memanfaatkan `kesalahan kecil' Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah yang menyebut Ical-lah aktor yang mengusulkan penaikan harga BBM hingga Rp2.000 ke SBY. Kemarahan Golkar terhadap Jafar memang masuk akal karena ia berpretensi menjadi jubir Golkar serta menarik-narik Ical di tengah kemarahan massa yang menolak penaikan harga BBM.
Namun kalau kita perhatikan dengan saksama, pernyataan Ical dan Idrus Marham secara verbatim hanya menegaskan posisi Golkar sebelumnya bahwa pada dasarnya partai itu setuju opsi penaikan harga BBM, tetapi jangan dilakukan pada saat ini dan domain itu berada di pihak pemerintah, bukan DPR. Media massa dan publik terkecoh oleh framing yang diaksentuasikan elite Golkar bahwa mereka menolak penaikan harga BBM.

Padahal, pernyataan Ical dan Idrus masih koma, belum titik. Ada dua kode politik yang menunjukkan Golkar tetap setuju penaikan harga BBM, yakni mereka hanya menolak penaikan harga BBM `saat ini' (lain waktu mereka bisa setuju) dan perihal penaikan atau penurunan harga BBM di tangan pemerintah. Strategi politik kamuflase Golkar itu memiliki tiga keuntungan sekaligus. Pertama, publik yang tak paham konstelasi politik elite akan bersimpati kepada Golkar karena framing yang dikembangkan ialah partai tersebut menolak penaikan harga BBM. Kedua, di tingkat elite koalisi, Golkar menjadi pelopor yang menerima opsi kenaikan harga BBM. Ketiga, dengan menyerahkan kepada pemerintah, lagi-lagi Golkar juga bisa selamat dari kecaman publik karena remote control penaikan harga BBM bukan di tangan partai tersebut.

Politik dua muka itu kemu dian menjadi password bagi partai-partai koalisi dalam Sidang Paripurna DPR. PKS, PPP, PAN, dan PKB ramai-ra mai menolak opsi pemerintah untuk menaikkan harga BBM, tapi jika harga BBM dinaikkan, itu menjadi kaveling kewenangan pemerintah. Politik `buang bodi' tersebut manjur untuk mengalihkan sasaran kemarahan publik hanya kepada pemerintah dan Partai Demokrat.
Meski langkah kuda Golkar tersebut ditiru partai-partai koalisi lainnya, `hak cipta' sudah telanjur dipatenkan Golkar di depan publik. Partai koalisi lainnya terkesan menjadi followers Golkar.

Hasil akhir Sidang Paripurna DPR jelas menjadi kartu truf bagi Golkar untuk makin menancapkan pengaruh di depan SBY sebagai patron utama koalisi. Pada saat yang sama, posisi tawar PKS makin merosot akibat politik zig-zag yang berubah 180 derajat dari men 180 derajat dari men dukung Pasal 7 ayat 6A dengan syarat 20% dari harga ICP ke posisi menolak penaikan harga BBM tanpa syarat.

PKS terkena `jebak an betmen' yang ditebar Gol kar. Insentif publik terhadap penolakan BBM agaknya bakal dimonopoli PDI Per juangan yang kon sisten menolak dari awal. Pada saat yang sama, PKS justru makin dinilai sebagai duri dalam daging koalisi.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/02/ArticleHtmls/Langkah-Kuda-Golkar-dan-Politik-BBM-02042012014002.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.