Senin, 09 April 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Terpidana Mengatur

Publik bertanya-tanya, mengapa sebagai eksekutor, kejaksaan begitu mudah diatur terpidana?''

SALAH satu buah reformasi ialah betapa negeri ini amat memanjakan para koruptor. Mereka bisa memperoleh remisi sehingga tidak penuh menjalani masa hukuman. Di penjara pun mereka bisa melengkapi kamar dengan aneka fasilitas seperti kulkas dan pendingin ruangan serta menerima tamu di luar jam besuk.

Tidak hanya itu. Kini ada keistimewaan baru. Koruptor bisa mengatur kapan sebaiknya mereka dieksekusi. Mereka meminta agar petugas tidak perlu menjemput, tetapi mereka akan sukarela menyerahkan diri.

Itulah yang sedang dipertontonkan narapidana korupsi Gubernur nonaktif Bengkulu Agusrin Najamudin. Terpidana empat tahun penjara itu hingga kemarin belum juga dieksekusi Kejaksaan Tinggi Bengkulu. Padahal, putusan kasasi Mahkamah Agung keluar sejak 10 Januari silam.

Artinya genap sudah tiga bulan sejak Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi, Kejaksaan Agung belum juga membawa terpidana kasus korupsi yang merugikan negara Rp20 miliar itu ke penjara.

Kejaksaan Tinggi Bengkulu memang telah dua kali melayangkan surat panggilan, teta pi Agusrin mengabaikannya. Surat panggilan ketiga pun dilayangkan dan Agusrin terancam masuk daftar pencarian orang.

Kejaksaan berkali-kali mengatakan tidak ada kesulitan mengeksekusi Agusrin, tetapi kenyataannya tidak kunjung membawa dia ke bui. Kemarin, Wakil Jaksa Agung Darmono masih meminta masyarakat bersabar karena eksekusi Agusrin dilakukan pekan ini.

Agusrin memang berjanji tidak akan melarikan diri. Atas kehendak sendiri dia akan memenuhi panggilan kejaksaan di Jakarta, hari ini, seusai mengikuti proses peninjauan kembali (PK).

Kejaksaan tentu sangat tahu bahwa pengajuan PK tidak menghalangi eksekusi, kecuali terhadap pidana mati. Karena itu, kita heran kejaksaan begitu permisif sehingga terpidana yang telah mendapat putusan kasasi masih leluasa berada di luar penjara.

Jika kejaksaan begitu longgar, lain lagi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antikorupsi itu, misalnya, langsung memburu dan mengeksekusi Wali Kota nonaktif Bekasi Mochtar Mohamad setelah ada putusan kasasi. KPK hanya memerlukan tiga pekan untuk mengeksekusi Mochtar sejak putusan kasasi keluar pada 7 Maret.

Kejaksaan tidak pernah belajar bahwa banyak koruptor kabur ke luar negeri karena eksekutor itu terlambat mengeksekusi. Sampai sekarang pun kejaksaan gagal membawa mereka kembali meski para koruptor itu berada cuma sejengkal dari Tanah Air, di Singapura.

Publik bertanya-tanya, mengapa sebagai eksekutor, kejaksaan begitu mudah diatur terpidana? Mengapa pedang eksekutor begitu tumpul sehingga terpidana bebas berkeliaran di luar bui? Bukankah terpidana, juga tersangka, mempunyai seribu cara berkelit menghindari jeruji besi?
Salah satu alasan kejaksaan terlambat mengeksekusi ialah belum menerima salinan putusan. Aneh, di era teknologi yang demikian pesat, sebuah dokumen dari Jakarta bisa berminggu-minggu baru tiba di daerah.

Aneh, tapi nyata.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/10/ArticleHtmls/EDITORIAL-Terpidana-Mengatur-10042012001056.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.