Senin, 09 April 2012

[Koran-Digital] HAJRIYANTO Y THOHARI : Demokrasi & Pemerintahan yang Efektif

Demokrasi & Pemerintahan yang Efektif PDF Print
Tuesday, 10 April 2012
Dalam buku The Mahabharata of Vyasa karya P Lal (1981) diceritakan
secara sangat dramatis bagaimana Kanika, sang penasihat politik Raja
Destarasta, memberi nasihat kepada Raja Hastinapura yang buta itu. "Yang
Mulia," demikian nasihatnya, "Seorang raja dapat memerintah dengan
berbagai sistem dan cara.

Tapi ingat, tidak ada gunanya seorang raja memberikan perintah jika
perintah itu tidak dilaksanakan. Penting bagi seorang raja bisa
menyembunyikan kelemahan seperti seekor kura-kura menyembunyikan
kepalanya. Maka sedikit berpura-pura tuli dan buta akan menolong."
Nasihat Kanika itu disampaikan kepada Destarastra yang sedang mengalami
kebingungan menghadapi kenyataan semakin merosotnya legitimasi politiknya.

Pemerintahannya mengalami krisis kepercayaan karena semakin tipisnya
harapan rakyat terhadap kepemimpinannya sebagaimana yang tampak pada
berbagai survei. Tetapi, poin terpenting dari nasihat Kanika adalah
bahwa dalam sistem apa pun suatu pemerintahan haruslah berjalan efektif
dan efisien. Perintah-perintahnya harus dijalankan oleh para pembantunya
dan aparatusnya.

Untuk itulah, pemerintah dari dulu sampai sekarang disebut eksekutif
sebab pemerintahlah dan memang hanya pemerintahlah yang memiliki fungsi
eksekutorial itu. Dalam konteks dan perspektif inilah, seorang presiden,
perdana menteri, kanselir,atau apa pun namanya, bahkan raja sekalipun,
sama sekali tidak ada gunanya memberikan perintah jika perintah itu
tidak dilaksanakan.

Jika ini yang terjadi, raja atau presiden tersebut berarti tidak bisa
lagi menyembunyikan kelemahan, sama persis seperti seekor kurakura yang
tidak bisa menyembunyikan kepalanya. Praktis ruang tembaknya akan
terbuka lebar dan serangan akan datang dari segala penjuru.

Inefektivitas Eksekutorial

Maka itu, jika suatu pemerintahan tidak bisa menjalankan fungsi
eksekutorialnya, perlu diteliti dengan seksama di mana letaknya stagnasi
yang mengakibatkan inefektivitas dan inefisiensi eksekutorialnya itu
terjadi.Apakah karena faktor yang inheren di dalam pemerintahan seperti
lemahnya organisasi pemerintahan atau kelemahan aparatnya, ataukah
karena sesuatu yang bersifat sangat fundamental yang sifatnya sistemik.

Yang dimaksud dengan sistemik di sini terutama adalah sistem politik
yang sedang dianut oleh negara di mana pemerintahan itu bekerja. Dalam
kasus negara kita, banyak kalangan yang menuding faktor yang kedua atau
yang terakhir inilah yang terjadi. Tragisnya,yang dituding sebagai biang
persoalan atau bahkan "kambing hitam"-nya adalah sistem demokrasi
liberal yang katanya sedang kita jalankan sekarang ini.

Bagi pendukung pandangan yang agak pesimistis ini,pertanyaan selanjutnya
yang digulirkan adalah apakah lantas kita biarkan saja demokrasi yang
liberal ini terus berlangsung di negeri ini dengan segala kegaduhannya
yang semakin memuakkan rakyat ini? Apakah menoleransi demokrasi semacam
ini tidak berarti membiarkan sebuah demokrasi yang tidak produktif bagi
kesejahteraan rakyat akan terus berlangsung? Lantas bagaimana dengan
nasib rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini?

Atau yang lebih fundamental lagi, apakah kemiskinan rakyat ini bukan
justru diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu demokratis
seperti ini? Saya ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan
bahwa demokrasi adalah suatu keharusan.Tidak seorang pun sekarang ini
menolak demokrasi, setidaknya demikianlah yang terjadi di permukaan.
Tetapi, terus terang saja bukanlah demokrasi yang liberal seperti
sekarang ini.Keharusan untuk menerapkan prinsip demokrasi rasanya kita
sepakati bersama.

Tetapi, setelah lebih dari satu dasawarsa ini terbuktilah bahwa kita
sebagai bangsa pada sejatinya kurang memiliki modal sosial yang cukup
untuk berdemokrasi. Akibat itu, demokrasi hanya dipahami sebagai
kebebasan sehingga akhirnya pemerintahan tidak berjalan efektif
(sangkil), apalagi efisien (mankus). Jika demokrasi liberal pada 1950-an
mengakibatkan pemerintahan jatuhbangun, demokrasi liberal
pasca-Reformasi melahirkan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.

Bagaimana bisa dikatakan efektif manakala pemerintahan negara yang
dipimpin Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial ini
seringkali justru tidak hadir pada saat dan situasi yang sedemikian rupa
di mana kehadiran negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan!
Ketika fenomena premanisme marak di seluruh penjuru negara, pemerintah
tidak hadir. Ketika gelombang narkoba melanda hampir semua tingkatan
masyarakat,bahkan di sekitar pusat-pusat pendidikan (sekolah) dan
keluarga pejabat serta aparat keamanan, pemerintah juga tidak berdaya.

Ketika korupsi menggerogoti birokrasi pemerintahan, kepala pemerintahan
bahkan menyerahkan pemberantasan korupsi itu kepada lembaga independen
yang bernama KPK, tanpa sama sekali bisa memberdayakan lembaga penegak
hukum terlebih dulu yang ada di bawah pemerintah seperti kejaksaan,
kepolisian, dan badan "pencegah korupsi" inspektorat jenderal atau badan
pengawas daerah.

Demikian juga ketika terjadi kerusuhan yang anarkistis, pemerintah
gaib.Saban terjadi kerusuhan sosial dan konflik keagamaan pemerintahan
negara tidak hadir karena alasan— seperti sering dikatakan petinggi
pemerintahan sendiri— bahwa Presiden tidak bisa melakukan intervensi.

Walhasil ketidakhadiran Presiden atau alat negara sebagai simbol negara
berarti, benar atau salah, karena faktor-faktor sistemik atau karena
infrastruktur politik dan hukum. Setidaknya demikianlah yang
dipersepsikan Presiden sebagaimana yang sering dipidatokannya ketika
dituduh negara sebagai telah melakukan pembiaran dalam berbagai kasus.

Inefisiensi Pemerintahan Negara

Bagaimana bisa dikatakan bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan
telah berjalan efisien apabila kenyataannya untuk keperluan anggaran
rutin saja telah menghabiskan 60% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang berjumlah Rp1.435 triliun? Sulit untuk mengatakan
pemerintahan ini efisien jika anggaran rutin dari tahun ke tahun
mencapai jumlah sebesar itu sehingga ada orang menyebutnya sebagai APBN
Beamtenstaat yang probirokrasi, yang sebagian besar habis untuk "ongkos
tukang".

Amanat UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 bahwa APBN itu untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat terabaikan dalam sistem demokrasi yang sekarang ini.
Dus, terjadi inefisiensi keuangan negara yang berarti sama dan sebangun
dengan pemerintahan negara yang tidak efektif. Walhasil yang menonjol
dalam demokrasi sekarang ini adalah dan hanyalah kebebasan berbicara,
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Di mata rakyat di desa-desa demokrasi sekarang ini ditandai dengan
kebebasan orang untuk mengkritik dan memaki. Ini demokrasi yang tidak
produktif bagi kesejahteraan rakyat sehingga tidak relevan dengan nasib
rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini.Atau yang lebih
fundamental lagi ada penilaian bahwa kemiskinan rakyat yang masih
sedemikian besar ketika besaran perekonomian Indonesia terbesar ke-14 di
dunia ini justru diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu
demokratis dan liberal seperti ini.

Demokrasi macam apa ini ketika anak-anak muda yang bisa begitu berani
mencaci maki Presiden secara terbuka di media masa? Demokrasi macam apa
ini jika seseorang bisa memenangkan pemilihan anggota DPR/DPRD,
presiden, gubernur, bupati, dan wali kota hanya karena keunggulannya
dalam politik transaksional yang bersifat material? Demokrasi macam apa
ini jika seseorang menjadi menteri hanya karena menyumbang kepada sebuah
partai politik sekian miliar rupiah?

Demokrasi macam apa jika seseorang bisa dicalonkan oleh suatu parpol
dalam pemilihan gubernur/bupati hanya karena yang bersangkutan memiliki
kemampuan logistik tinggi? Sungguh sebuah demokrasi yang anakronistik:
menyalahi zamannya. HAJRIYANTO Y THOHARI Wakil Ketua MPR RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485036/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.