Selasa, 10 April 2012

[Koran-Digital] Hakim Bebas Suap Setelah Gaji Naik?

Hakim Bebas Suap Setelah Gaji Naik?
Rabu, 11 April 2012 | 08:36 WITA Dibaca: 39


BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Untuk pertama kalinya korps hakim
Republik Indonesia mengungkapkan jeritan hati tentang ketidakadilan yang
konon mereka alami dalam menjalankan tugas mereka sebagai penegak keadilan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengaku prihatin
dengan nasib hakim yang terabaikan, sehingga mereka sampai harus datang
ke Jakarta, mengadu nasib pada lembaga pemerintahan, dari satu pintu ke
pintu lainnya. "Ini jadi puncak dari perasaan yang terpendam dari para
hakim bertahun-tahun. Selain mereka datang ke sini datang dengan membawa
harapan. Ini juga bagian dari puncak kekecewaan hakim," kata Jimly saat
mendampingi para hakim menemui Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, di Jakarta, Selasa (10/4/2012) kemarin.

28 hakim yang tergabung dalam Gerakan Hakim Progresif Indonesia mewakili
hakim di seluruh Indonesia mendatangi sejumlah institusi Pemerintah
untuk menyuarakan hak-hak konstitusinya. Beberapa lembaga didatangi di
antaranya Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hingga ke parlemen di Senayan.

Selain itu para Pejabat Negara tersebut juga mendatangi Mahkamah
Konstitusi untuk mengajukan uji materi Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 51
Tahun 2009 tentang Peradilan TUN, Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama dan Pasal 24 Ayat (6) UU Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 51 Tahun
2009, mereka menilai frasa yang menyebut diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak
lain beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua dan hakim
pengadilan adalah inkonstitusional.

Di dalam UU Badan Peradilan sudah mengatur mengenai hak-hak hakim
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Namun, dalam peraturan
pelaksanaan lebih lanjut belum ada yang mengatur tentang hal itu. Dengan
demikian, UU itu menjadi kabur atau tidak jelas, mengakibatkan tidak
dapat terlaksananya hak-hak seorang hakim.

Keluhan lain yang diutarakan para hakim adalah jabatan mereka yang
secara jelas disebut sebagai Pejabat Negara dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim. Namun hak sebagai pejabat itu tak
mereka peroleh, terutama dalam hal gaji dan tunjangan. Gaji mereka
disetarakan dengan gaji pegawai negeri sipil (PNS). Namun, gaji PNS
bertambah setiap tahun, sedangkan gaji hakim "jalan di tempat" sejak
tahun 2008.

Saat ini besaran gaji pokok hakim sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2008, yaitu golongan III/a senilai Rp 1.976.000 dalam
masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e masa kerja 32 tahun
mendapat Rp 4.978.000. Tunjangan mereka tidak naik selama 11 tahun.
Tunjangan hakim diatur dalam Keppres Nomor 89 Tahun 2001, di mana
tunjangan untuk hakim pratama golongan III/a adalah Rp 650.000.
Sementara tunjangan untuk golongan tertinggi IV/e hakim utama sebesar Rp
4. 250.000. Kini pun, tunjangan ini belum semua jatuh ke tangan hakim.

Menurut Jimly, berbagai tumpukan tuntutan hakim ini alangkah baiknya
segera dibenahi oleh Pemerintah untuk perbaikan dunia peradilan ke
depan. Sebab, perkara ini bukan hanya soal uang gaji hakim, tapi
kehormatan hakim yang sering disebut sebagai wakil dari suara Tuhan
dalam menjunjung kebenaran dan keadilan. "Ini perlu segera dibenahi.
Hakim juga simbol hukum. Dia jadi sasaran tembak terus. Padahal posisi
dia paling lemah. Kalau dikritik enggak bisa jawab, kalau dipuji juga
tidak boleh menikmati. Dosa bangsa ini kalau enggak segera menyanggupi
kesejahteraan hakim," tegas Jimly.

Jimly mengatakan, menaikkan gaji hakim menjadi salah satu cara agar
hakim tidak terpengaruh terhadap godaan dari luar terutama suap oleh
orang yang berperkara. Meski demikian, ia mengaku itu juga bukan jaminan
hakim tidak akan terjerat korupsi. "Tidak satu-satunyanya jaminan, tapi
itu salah satu elemen yang tidak boleh dilupakan. Kalau hakimnya baik
dan independen, tidak ada gunanya nyogok pejabat lain. Polisi dan jaksa
tak bisa disogok juga karena pada akhirnya hakimlah yang memutuskan
sebuah perkara. Kalau hakimnya bersih, maka itu menjadi obat pembersihan
seluruh sistem peradilan," jelas Jimly.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) sedikit berbeda
pandangan mengenai hakim yang terjerat kasus suap. Jika Pemerintah dan
DPR RI menyetujui tuntutan hakim untuk menaikkan gaji dan tunjangan
mereka, apakah dunia kehakiman dan peradilan akan bebas dari lingkaran
suap menyuap? ICW menyatakan, tidak.

Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW),
Emerson Junto. Menurutnya, kenaikan gaji dan tunjangan hanya salah satu
bagian untuk meminimalisasi kasus suap pada hakim, tapi tidak sampai
membersihkan. Meski begitu, kata dia, ICW sepakat, memang kesejahteraan
hakim saat ini harus diperhatikan. "Kami sepakat kalau untuk
kesejahteraan hakim memang harus dipenuhi. Ini setidaknya salah satu
cara untuk meminimalisasi korupsi di kehakiman, oleh hakim. Tapi untuk
benar-benar bersih, kami tidak yakin," ujar Emerson dalam perbincangan
via telepon dengan Kompas.com.

Perkara hakim yang terjerat suap, bukan hanya karena alasan minim
kesejahteraan semata, tapi karena ketamakan. Ia mencontohkan kasus,
Hakim Syarifuddin yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada 1 Juni 2011 lalu. Menurutnya, dalam catatan sepak
terjang sebagai hakim, Syarifuddin bukanlah hakim dengan gaji kecil.
Saat ditangkap, ia adalah hakim pengawas di pengadilan niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Telah banyak kasus yang ia tangani termasuk di daerah. Syarifuddin yang
pernah membebaskan 39 terdakwa kasus korupsi ini menerima suap dari PT
SCI sebesar Rp 250 juta dan kumpulan mata uang asing senilai Rp 2
miliar. Oleh karena itu, kata Emerson, tidak ada jaminan yang pasti
hakim akan bebas suap, meski bisa diminamalisasi.

Jika tak ada jaminan, maka kata Emerson, kini tugas Mahkamah Agung,
Komisi Yudisial dan KPK yang harus unjuk gigi untuk mengawasi sepak
terjang hakim, jika tuntutan mereka terpenuhi. Tak ada ampun jika masih
ada hakim yang terlibat kasus suap. Penegakan hukum harus tetap
dilakukan. "Kalau masih saja terima suap, pecat saja. Enggak ada ampun.
Kalau sudah diberikan reward, masih korup, berikan punishment yang
keras, jangan dibiarkan," tegas Emerson.

http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/04/11/hakim-bebas-suap-setelah-gaji-naik

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.