Senin, 09 April 2012

[Koran-Digital] Teddy Lesmana: Subsidi BBM dan Restorasi Pembangunan Indonesia

Subsidi BBM dan Restorasi Pembangunan Indonesia
Teddy Lesmana Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

"TIAP tahun selalu ada APBN baru yang diumum kan pemerintah. Salah satu
unsur APBN yang mendapat perhatian masyarakat adalah subsidi BBM yang
disediakan dalam APBN. Oleh karena itu, penting sekali bahwa masyarakat
memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai kedua masalah ini dan
hubungannya satu sama lain, (Widjojo Nitisastro, 6 Januari 1982)."

Akhir bulan lalu, setelah melalui perdebatan yang amat sengit di DPR dan
aksi demonstrasi mahasiswa, akhirnya disepakati harga BBM tidak naik per
1 April. Namun, syaratnya sebagaimana tercantum pada penambahan ayat
dalam Pasal 7 ayat 6(a) menyebutkan bahwa dalam hal harga ratarata ICP
pada kurun waktu kurang dari enam bulan berjalan mengalami kenaikan atau
penurunan lebih dari 15%. Pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan
harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya.

Terkait dengan APBN dan subsidi BBM, ungkapan mendiang salah satu
begawan ekonomi Indonesia tiga deka de lalu di awal tulisan ini terasa
masih relevan hingga kini. Polemik mengenai penaikan harga BBM dan beban
subsidi BBM ini sudah berlangsung puluhan tahun. Itu kian berkembang
menjadi permasalahan yang tidak semata-mata berada di dalam ranah ekonomi.

Akan tetapi, kini menjadi persoalan politik yang kian kompleks.
Pencampuradukan antara persoalan ekonomi dan politik ini bahkan kian
mengaburkan esensi persoalan ketika Indonesia sudah seharusnya menyadari
bahwa negara dan bangsa ini perlu mempersiapkan diri agar tidak
mengalami krisis energi dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

Di sisi lain, memang harus diakui, persoalan masih belum efektifnya
birokrasi dan penggunaan anggaran seharusnya lebih banyak diarahkan
untuk memperkuat kapasitas bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh, persoalan harga dan subsidi BBM yang selalu berulang ini
merupakan cerminan dari ketiadaan visi jangka panjang dan buruknya
pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam yang kita miliki.
Pengelolaan SDA dan Hartwick Rule Persoalan subsidi BBM dan B BBM
sebenarnya harus ditempatkan dalam frame yang tidak semata-mata
dipersempit hanya merupakan persoalan penghematan anggaran. BBM
seharusnya dihemat karena merupakan barang tak terbarukan (non-renewable).
Apalagi, harga energi itu memang tidak murah jika kita menghitung pula
biaya ekonomi dan lingkungan termasuk dimensi etika dalam
intergenerational equity.

Menarik pula menyimak pernyataan Benjamin K Sovacool (2011) yang
menyebutkan bahwa demonstrasi menanggapi penaikan harga bahan bakar
menunjukkan minimnya pemahaman terhadap tata kelola dan literasi
mengenai energi. Tata kelola di sini merujuk kepada pembuatan kebijakan
terhadap energi yang transparan, stabil, dan partisipatif. Sementara
literasi mengacu kepada pendidikan dan pemahaman masyarakat mengenai energi.

Ada suatu kecenderungan umum bahwa negara kaya sumber daya alam justru
mengalami apa yang dise but sebagai paradox of plenty. Negara-negara
kaya akan sumber daya alam seharusnya menikmati berkah yang dimiliki
tersebut dan memiliki pertumbuhan serta akumulasi PDB yang harusnya jauh
lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara yang miskin potensi
sumber daya alam. Dalam konteks tersebut, Indonesia juga masuk kategori
negara yang ter golong paradoks itu.

Bagaimana harus menyikapinya? Ada suatu kaidah yang amat dikenal dalam
ranah ekonomi sumber daya, yakni Hart wick Rule. Kaidah ini menyebutkan,
untuk mempertahankan level konsumsi, harus diimbangi dengan tingkat
investasi yang sama dengan nilai pendapatan dari ekstraksi sumber daya
alam tersebut pada etiap titik waktu.

Ada studi menarik yang dilakukan Bank Dunia (2006) yang dituangkan dalam
dituangkan dalam salah satu bab buku Where is the Wealth Nations, yang
melakukan simulasi counterfactual terhadap beberapa negara kaya sumber
daya alam. Studi tersebut mencoba menjelaskan apa yang terjadi jika
negara-negara kaya akan sumber daya alam tersebut menginvestasikan hasil
pendapatan dari eksploitasi SDA mereka sebagai investasi produktif ke
dalam berbagai aset yang dapat menghasilkan pendapatan abadi, termasuk
kepada investasi penguatan modal insani (human capital) pada 1970 dan
bagaimana posisi mereka pada 2000.

Studi yang menggunakan analisis data runtut waktu (time series) tersebut
menyimpulkan negara-negara yang bijak menginvestasikan hasil SDA mereka
ke dalam berbagai aset produktif akan mampu menghindari resource curse
dan mampu menjamin kesejahteraan di masa depan.
Demikian pula dengan negara miskin SDA yang menyadari pentingnya
akumulasi tabungan netto dan tidak boros dalam penggunaan SDA seperti
dilakukan Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara tersebut memiliki
kesadaran yang tinggi terhadap konservasi dan pengembangan energi
alternatif yang akhirnya mampu bertahan. Mereka bahkan mengungguli
negara­negara yang memiliki kekayaan alam melimpah.
Komitmen pemerintah Dalam situasi seperti sekarang ini, ketika penaikan
harga BBM selalu berimbas pada masalah politik dan ekonomi, pemerintah
seyogianya bisa mengambil pelajaran berharga. Telah lama bangsa ini
terlenakan oleh ungkapan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya.

Betul memang bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan SDA, tetapi
tidak semua SDA yang dimiliki Indonesia dalam kondisi berlimpah.
Sebagaimana halnya minyak, dengan tingkat konsumsi yang kini mencapai
sekitar 450 juta barel per tahun dan diperkirakan masih akan terus
meningkat.
Cadangan minyak Indonesia sekitar 3,7 miliar barel diperkirakan akan
habis dalam kurun waktu 8-12 tahun ke depan. Pada saat itu, sangat
mungkin kebutuhan energi khususnya BBM akan sepenuhnya diimpor dari luar
negeri.

Pemerintah seharusnya menjadikan persoalan energi dan BBM ini bukan
hanya persoalan pencitraan politik, melainkan harus diletakkan dalam
suatu kerangka berpikir yang fundamental dan vi sioner. Sudah saatnya
Indonesia merestorasi pola pemanfaatan energi ini untuk benar-benar
diarahkan bagi penciptaan akumulasi aset yang mampu menghasil kan
pendapatan yang berkesinambungan untuk kesejahteraan rakyat secara
inklusif--sebagaimana termaktub dalam kaidah yang disebutkan Hartwick tadi.

Pemerintah juga harus memberikan penjelasan dengan terang kepada rakyat
seperti yang dikatakan Profesor Widjojo Nitisastro lebih dari tiga
dekade yang lalu.
Jangan sampai negara dan bangsa ini mengalami seperti kata pepatah,
`Sudah jatuh, tertimpa tangga pula', jika pemanfaatan SDA tidak
benar­benar diarahkan untuk penguatan kapasitas bangsa ini untuk dapat
tetap berdiri tegak di dekade­dekade bahkan hingga abad­abad yang akan
datang.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/10/ArticleHtmls/Subsidi-BBM-dan-Restorasi-Pembangunan-Indonesia-10042012020016.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.