G30S menimbulkan dendam sejarah yang berkepanjangan. Melalui kearifan 
sejarah, dendam itu diharapkan dapat diredam.
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
SELAMA Orde Baru berkuasa, hanya tafsir penguasa yang benar mengenai 
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bahwa Partai Komunis Indonesia 
(PKI) adalah dalang sekaligus pelaku tunggal peristiwa itu. Penguasa 
memonopoli kebenaran sejarah. Tafsir lain dianggap tidak benar. Tak ada 
dialog. Akibatnya, luka menganga bangsa ini tak lantas kering. Sakitnya 
pun tak kunjung hilang selama puluhan tahun. Hingga akhirnya reformasi 
bergulir menggulingkan Orde Baru, dialog terbuka mengenai peristiwa itu 
tumbuh subur. Sebuah bangsa berusaha menyembuhkan luka dan menghilangkan 
sakitnya.
Peristiwa G30S mengawali periode baru sejarah negeri ini. Ia dianggap 
menjadi batas sejarah antara Indonesia Baru (Soeharto) dengan Indonesia 
Lama (Sukarno). Peristiwa itu hanya terjadi semalam, namun melahirkan 
rentetan peristiwa berdarah yang panjang dalam sejarah negeri ini. 
Seketika itu, konflik antaranak bangsa meledak. Permusuhan dan kebencian 
menyeruak memakan banyak korban jiwa. Puluhan tahun bangsa ini bertanya, 
mengapa dan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi dan melahirkan dampak 
mahadahsyat.
"Sejarah tak cukup dijelaskan dengan hanya menjawab pertanyaan apa, 
siapa, bila, dan dimana. Pertanyaan mengapa dan bagaimana juga perlu 
dijawab untuk mencari akar terjadinya sebuah peristiwa. Terutama dalam 
G30S ini," kata Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan 
Indonesia (LIPI) dalam bedah buku dua jilid, Malam Bencana 1965 Dalam 
Belitan Krisis Nasional di Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok 
(22/3). Buku yang direncanakan terbit empat jilid ini, merupakan 
kumpulan tulisan terbaru mengenai peristiwa G30S, sebelum dan setelahnya.
Ditulis oleh sekumpulan sejarawan dari berbagai universitas terkemuka di 
Indonesia, jilid pertama buku ini berusaha menyajikan rekonstruksi baru 
peristiwa G30S. Sebuah rekonstruksi yang tak berhenti pada jawaban dari 
pertanyaan apa, dimana, bila, dan siapa. Ada sembilan tulisan yang 
berusaha merekonstruksi peristiwa itu. Semuanya memiliki cara ungkap dan 
hasil rekonstruksi yang berbeda perihal mengapa peristiwa itu bisa 
terjadi. Ini terjadi karena pendekatan multidisiplin yang dipakai 
kesembilan sejarawan tersebut. Iwan Gardono, sosiolog UI sekaligus 
pembicara dalam bedah buku tersebut, menyatakan bahwa peristiwa G30S tak 
hanya peristiwa sejarah, tetapi juga peristiwa politik dan 
sosial-budaya. Oleh karena itu, pendekatan disiplin ilmu lain mutlak 
diperlukan untuk membantu menyingkap tabir G30S.
Meski demikian, Taufik menerangkan bahwa penggunaan ilmu bantu dalam 
usaha rekonstruksi G30S dapat jatuh ke dalam teori, bukan kebenaran 
sejarah. Ini bisa terjadi lantaran sejarawan mengalami kesulitan 
sumber-sumber terverifikasi yang terkait G30S. Bahkan, sumber-sumber itu 
bisa sangat bertentangan satu sama lain.
Biasanya, kekurangan sumber itu dapat tertutupi dengan teori. 
Teori-teori itu bisa terlihat sangat logis, tetapi belum cukup mampu 
bertutur mengenai kebenaran sejarah. "Kebenaran sejarah biasanya secara 
logis bisa diterangkan dan dipahami, tetapi sesuatu yang logis tidak 
selamanya mewakili kebenaran sejarah atau kepastian historis," kata Taufik.
Iwan juga mengingatkan agar sebuah teori atau model tak serta merta 
diterapkan dalam merekonstruksi G30S, terutama terkait konflik-konflik 
yang meletup di daerah setelahnya. "Teori dan model itu tergantung 
tempat. Tiap wilayah memiliki kekhasannya sendiri," terang Iwan. "Jadi, 
teori dan model itu bisa berbeda di tiap wilayah."
G30S tak pelak membawa beberapa daerah di Indonesia ke dalam kekacauan. 
Pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap "terlibat" dan "terkait" 
dengan PKI berlangsung sejak Oktober 1965 hingga beberapa tahun 
kemudian. Ini tak lepas dari pernyataan umum yang berkembang saat itu 
bahwa dalang dan pelaku tunggal G30S adalah PKI. Selain itu, konflik ini 
juga dapat dilihat dari konteks politik Indonesia sebelum terjadinya G30S.
Tiga kekuatan besar tampil dalam arena politik Indonesia sejak Dekrit 
Presiden 1959. Mereka adalah Sukarno, Angkatan Darat (AD), dan PKI. 
Sukarno sangat mendambakan adanya persatuan Nasakom (Nasionalisme, 
Agama, dan Komunis). Sebuah gagasan yang sangat ditentang AD, namun 
disambut hangat PKI. Ketiganya mempunyai pendukung dan tidak pernah 
akur, sebagaimana dicita-citakan Sukarno. Setelah G30S meletup, konflik 
terbuka ketiga pendukung itu tak terelakan. Meski begitu, Taufik 
menegaskan bahwa batas konflik itu seringkali kabur. "Batas-batas antara 
konflik sosial dan terorisme negara mencair begitu saja," kata Taufik 
mengomentari buku jilid kedua yang membahas konflik lokal setelah G30S.
Bersamaan dengan konflik lokal yang memanas, Sukarno makin kehilangan 
kekuasaan. MPRS mencabut kedudukan Sukarno sebagai presiden seumur hidup 
dan menolak Nawaksara, pidato pertanggungjawaban Sukarno. Proklamator 
yang pernah dielu-elukan bangsanya itu akhirnya jatuh pada 1968 di 
tengah kecaman bangsanya karena tak juga membubarkan PKI. Soeharto 
menggantikannya secara resmi sejak itu meski dia telah memegang 
kekuasaan sedari Maret 1966.
"Malam Jahanam", istilah Taufik untuk G30S itu telah mengubah peta 
politik dan situasi Indonesia secara keseluruhan. Soeharto memulai 
pemerintahannya dengan pembersihan PKI yang sekaligus mengingkari 
gagasan Nasakom Sukarno. Dia tak memberi ruang sedikitpun bagi kehadiran 
PKI. Dia memperkenalkan istilah "bersih diri" dan "bersih lingkungan" 
sebagai usaha menutup ruang bagi PKI. "Ini menambah tradisi dendam yang 
tidak pernah pudar sehingga bisa dipahami ketika Soeharto jatuh, muncul 
usaha pelurusan sejarah dari mereka yang disebut korban," kata Taufik. 
Kebenaran tunggal sejarah seketika diambil-alih, dari pemerintah ke 
korban. Dan tradisi dendam masih berlanjut di tengah upaya dialog 
terbuka atas G30S.
Di tengah tradisi dendam dan dialog terbuka itu, dua buku itu terbit. 
Buku itu menambah khazanah tafsir mengenai peristiwa G30S. Sejak 
reformasi, banyak buku terbit yang berusaha menguak kabut tebal tragedi 
besar bangsa ini. Kenyataan ini menandakan bahwa peristiwa G30S tak 
pernah kehilangan daya pikatnya. Ia selalu aktual dan terus menuntut 
untuk didialogkan. "Buku ini selain cukup komprehensif membahas G30S, 
juga memberikan ruang bagi kita untuk belajar dari apa yang telah 
terjadi pada malam jahanam agar dendam itu tak berlanjut," ujar Taufik. 
"Tetapi, ini menuntut kearifan sejarah kita."
http://historia.co.id/artikel/2/995/Majalah-Historia/Kearifan_Sejarah_Malam_Jahanam
-- 
"One Touch In BOX"
To post  : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : -  Gunakan bahasa yang baik dan santun
              -  Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
              -  Hindari ONE-LINER
              -  POTONG EKOR EMAIL
              -  DILARANG SARA
              -  Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau  
                 Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda.              -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.