Rabu, 18 April 2012

[Koran-Digital] Agus Suman: Menata Politik Anggaran Daerah

Menata Politik Anggaran Daerah
Agus Suman Ekonom di Universitas Brawijaya

OTONOMI daerah su dah bergulir lebih dari satu dasawar sa. Otonomi sudah
membawa banyak perubahan di negeri ini. Namun, otonomi yang salah arah
bisa melahirkan banyak persoalan.

Banyaknya pemekaran daerah yang tak terbendung, tingginya biaya
operasional, dan tersedotnya anggaran untuk belanja pegawai merupakan
beberapa bukti penting yang terjadi di daerah. Hasil kajian terbaru
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) terhadap APBD
kabupaten dan kota di Indonesia (9/4) menunjukkan bahwa terdapat 291
daerah kabupaten/kota yang porsi belanja pegawainya melampaui 50% dana
APBD. Lebih memprihatinkan lagi, 11 daerah di antaranya membelanjakan
70% dana APBD hanya untuk belanja pegawai. Akibatnya, daerah-daerah
tersebut terancam gulung tikar karena tidak lagi memiliki anggaran.

Dalam konteks ini, politik anggaran di daerah masih bercorak
inefisiensi, jauh panggang dari api terhadap efektivitas dana yang
seharusnya sejalan dengan esensinya.
Efektivitas dan efisiensi Politik anggaran di daerah perlu
direkonstruksi, menyangkut ketegasan politik dan reformasi kelembagaan.
Hal itu diperlukan dalam menghadapi membeludaknya pemekaran daerah.

Dalam kurun waktu 19992010, setidaknya telah terbentuk 205 daerah otonom
baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah sekitar 63% bila
dibandingkan dengan daerah otonom di masa akhir Orde Baru. Belum lagi
masih ada sekitar 178 proposal baru hingga beberapa waktu yang lalu.

Biaya operasional, khususnya anggaran untuk pegawai, begitu mendominasi.
Hal itu akan semakin membangkrutkan negara dan daerah sendiri karena
total PNS berjumlah 3.725.311 orang pada 2006, 4.067.201 (2007), lalu
4.083.360 (2008), 4.524.205 (2009), dan 4.598.100 (2010). Pada tahun ini
saja 300 ribu-350 ribu PNS baru akan diangkat.

Lihat saja, pada 2007 sebesar Rp90,43 triliun atau sekitar 17,91% dari
APBN terserap untuk membiayai PNS. Adapun pada 2011 meroket menjadi
Rp180,82 triliun atau sebesar 21,61% dari belanja APBN. Dari jumlah itu,
sekitar Rp91,2 triliun atau 50,5%-nya dialokasikan untuk pos belanja
gaji serta tunjangan. Angka itu naik sekitar Rp17,9 triliun atau sekitar
11% jika dibandingkan dengan APBN-P 2010 yang masih Rp162,7 triliun.

Selain itu, porsi belanja b birokrasi dalam APBN 2012 s sudah mencapai
41,85% atau Rp404,863 triliun dari total belanja pemerintah pusat
(setelah dikurangi dana transfer daerah) sebesar Rp964,997 triliun. Pos
subsidi dan belanja modal menem pati urutan selan jutnya, masing masing
20,64% (Rp208,850 triliun) dan 15,52% (Rp151,975 triliun). Belanja
pemerintah tahun 20062012 juga tumbuh rata-rata mencapai 19,05%.
Rinciannya, be lanja pemerintah pusat tumbuh 16,6%, belanja pegawai
tumbuh 19,6%, dan belanja barang tumbuh 38%.

Ironisnya, kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik.
Fakta di lapangan menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin
menurun. Hal itu tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang
menunjukkan peringkat IPM Indonesia merosot drastis dari posisi 108
menjadi 124.

Indikator IPM itu mencakup itu mencakup a k s e s ke s e hatan, pen
didikan, dan pendapatan. Selain itu, total angka kemiskinan (jumlah
penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskin) naik menjadi 67,64
juta jiwa pada 2011 bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 64,54
juta jiwa.

Malah banyak pembangunan infrastruktur di daerah yang terbengkalai aki
bat minimnya dana. Jalan, jembatan, dan rel kereta api rusak sudah
menjadi pemandangan khas di daerah. Padahal masalah infrastruktur me
nfrastruktur me rupakan bagian yang krusial dan secara lang sung
berkaitan erat dengan esensi awal mengapa diberlaku kan otonomi daerah.

Politik anggaran, di lain pihak, semakin mempri hatinkan tatkala banyak
dana menganggur di perbankan yang nominalnya mencapai ratusan triliun
rupiah. Kegemaran pemda menyim pan dana di bank sejatinya sebagai wujud
kekhawatiran mereka akan rentannya indikasi korupsi dalam penggunaan APBD.

Dalam konteks demikian, efisiensi dan efektivitas mutlak dilakukan dalam
payung ketegasan politiknya. Hal itu diperlukan untuk memanajemen
pembangunan, khususnya di bidang anggaran, agar lebih akurat dan tepat
sasaran. Maka, masalah mendesak dalam ketegasan politik dari efektivitas
sehubungan dengan anggaran daerah ialah pemaksimalan kinerja badanbadan
usaha milik daerah dan penyerapan APBD/DAU, khususnya yang banyak
tersimpan di perbankan. Sebab, hal itu kontradiktif dengan keperluan
modal finansial yang besar, seperti pembangunan infrastruktur dan
pembangunan perekonomian daerah.

Efektivitas dalam politik anggaran juga menyangkut perencanaan dan
pembahasan anggaran yang lebih melibatkan pada berbagai pihak berwenang,
khususnya menyangkut pembahasan prioritas pembangunan dalam suatu daerah.

Adapun efisiensi, Adapun efisiensi, khususnya, me nyangkut pem bagian
dan pe maksimalan potensi sumber daya yang su dah ada. Hal itu berkaca
pada ter batasnya APBD yang sepenuhnya tidak cukup untuk menjalankan
biaya otonomi. Pendapatan asli daerah (PAD) juga masih melempem, pemda
masih sangat bergantung pada transfer pusat ke daerah.

Efisiensi juga diperlukan untuk membendung persoalan buruknya tata
kelola (good corporate governance) di daerah, karena saat ini baru
sekitar 5% daerah yang benar-benar menjalankannya dengan baik.

Patogen anggaran yang mayoritas terserap untuk belanja pegawai mutlak
perlu direduksi. Bayangkan, alokasi pembiayaan pegawai di 124 pemda
rata-rata di atas 60%80% dari total belanja. Padahal secara kuantitas,
jumlah PNS di daerah hanya berkisar 2% dari total penduduk. Sebesar 98%
penduduk di daerah hanya menikmati sekitar 20%-40%, bahkan kurang, dari
anggaran belanja modal dan barang.

Mengutip pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Azwar Abubakar, paradoksnya, dari 4,7 juta PNS, yang
benar-benar produktif dan efisien menghasilkan sumbangsih bagi negara
hanya 5%. Sisanya kebanyakan asal kerja, menghambur-hamburkan uang
negara. Dalam gambaran ini terlihat jelas betapa buruknya efisiensi
anggaran daerah.

Dari kedua instrumen ini, yakni efektivitas dan efisiensi, pembangunan
daerah menyangkut politik anggaran diharapkan bisa dilakukan dengan
lebih baik, khususnya menyangkut paradigma, kebijakan, dan
implementasinya di lapangan agar tepat sasaran sesuai dengan tujuan
mulia otonomi daerah.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/19/ArticleHtmls/Menata-Politik-Anggaran-Daerah-19042012012003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.