Selasa, 17 April 2012

[Koran-Digital] SAIFUR ROHMAN: Stroke dalam Pendidikan Kita

Stroke dalam Pendidikan Kita
| Lusia Kus Anna | Rabu, 18 April 2012 | 09:18 WIB
|


Oleh: SAIFUR ROHMAN

Sekolah Dasar Angkasa Halim IX, Jakarta Timur, akhirnya menarik lembar
kerja siswa Ceria untuk kelas II SD yang berisi cerita tentang "istri
simpanan". Pihak sekolah mengaku kecolongan. Sementara itu, pemerintah
menyatakan bahwa materi pelajaran yang beredar itu tidak bisa dikontrol
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena diselenggarakan oleh
satuan pendidikan masing-masing.

Pihak-pihak terkait telah cuci tangan, tetapi cerita ini baru dimulai.
Bilamana pendidikan di Indonesia dianggap sebagai satu sistem yang
beroperasi optimal, perlu ditanyakan: manakah unsur yang mengalami
malafungsi? Jika malafungsi ini tidak dicermati, pertanyaan lanjutannya
adalah bagaimana prospek pendidikan Indonesia ke depan?

Falsifikasi praktik pendidikan

Kasus lembar kerja siswa (LKS) Ceria yang berisi cerita "istri simpanan"
itu sebetulnya hanya contoh dari cermin retak sistem pendidikan yang
selama ini berjalan di Indonesia. Tulisan ini memperlihatkan cermin
retak itu melalui pemikiran induktif untuk sampai pada esensi sehingga
argumentasinya tidak disebut mengada-ada.

Secara induktif, istilah "istri simpanan" itu hanya ditulis sekali dalam
karangan yang panjangnya sekitar 75 kata tersebut. Karangan itu
berbentuk cerita di bawah judul "Bang Maman dari Kali Pasir", dalam
rangka penyampaian materi tentang Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta
(PLBJ) di halaman 30.

Cerita diawali niat Bang Maman menikahkan anaknya, Ijah, dengan Salim.
Pertimbangannya, Salim memperoleh warisan yang besar berupa tanah luas
dari sang bapak bernama Darto. Setelah menikah, Salim tertipu oleh
Kusen. Modusnya adalah menjual semua tanah dan membawa lari uang hasil
jualan. Akhirnya Salim tidak memiliki apa-apa.

Melihat Salim jatuh miskin, Bang Maman menyuruh Ijah agar bercerai. Ijah
tidak mau. Karena itu, Bang Maman memiliki ide. Dia menyuruh Patme
mengaku sebagai istri simpanan, kemudian mendatangi Ijah. Setelah
pertengkaran terjadi, akhirnya Ijah dan Salim bercerai.

Secara teknis, alur cerita ini tak mencerminkan tahapan-tahapan yang
bisa dipahami anak umur delapan tahun. Pembabakan dalam cerita itu
sederhana, tetapi sarat konflik. Bukti lain, pertimbangan warisan dalam
perjodohan adalah perwujudan dari visi orangtua tentang kekayaan pada
masa datang. Sementara itu, bagi anak akan mengalami kesulitan untuk
menilai kekayaan itu dari sebidang tanah.

Tema yang diangkat tidak mencerminkan pemikiran perseptif anak-anak.
Psikologi perkembangan Jean Piaget memetakan tahap kognitif anak umur
7-8 tahun sebagai peralihan dari logika praoperasional menuju
operasional konkret. Misalnya, anak mulai mampu menyusun kategori
benda-benda, mengurutkan, dan menghitung secara sederhana. Secara
sosial, anak masih berpikir secara egosentris sehingga belum mampu
melakukan empati terhadap orang lain.

Relevansi teori terhadap kasus itu, anak mungkin bisa memahami
pernikahan, tetapi sulit memahami tujuan dasar perkawinan. Anak juga
sulit memahami sebab-musabab perceraian secara pasti, apalagi ketika
disodorkan kasus rumit.

Satu-satunya ciri budaya lokal Jakarta adalah sebutan "Bang" dalam Bang
Maman dan lokasi Kali Pasir. Unsur lain, seperti perceraian, nama, dan
kejahatan yang dilakukan bisa terjadi di mana saja.

Bercermin dari analisis di atas, betapa pengarang kurang mampu melihat
tahapan-tahapan psikologis anak dan gagal menyuguhkan cerita yang
memadai. Narasi untuk anak yang berisi pesan tertentu sesungguhnya
memiliki karakter yang berbeda. Maksudnya, cerita-cerita berat bukannya
tidak bisa diungkapkan dalam cerita, melainkan itu perlu teknik
penceritaan yang sepadan dengan perkembangan psikologis pembaca.

Kompetensi yang terawasi

Di sinilah pentingnya fungsi pembaca ahli dalam pemeriksaan materi.
Dengan begitu, pengarang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Namun, dalam
banyak praktik, para ahli yang dinilai kompeten di tengah-tengah
masyarakat tidak bekerja memeriksa, tetapi memberikan komentar di
halaman belakang. Komentar itu disertai foto, gelar akademik, dan
imbauan untuk memiliki buku tersebut. Kompetensi dalam pendidikan
diwujudkan sebagai pemanis, pembungkus, atau sekadar pamer otoritas
untuk menakut-nakuti.

Fakta di atas menunjukkan, sistem pendidikan nasional yang sudah ada
selama ini tak memiliki mekanisme yang memadai untuk melakukan
pengawasan hingga titik koma materi pelajaran. Jika dirunut secara legal
formal, pemerintah tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ini.

Secara jelas, UUD 1945, khususnya Pasal 31 dan Pasal 32, membebankan
kualitas penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah. Tentang sistem
penyelenggaraan nasional ini telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Rinciannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut diterangkan
tentang garis-garis pokok penyusunan kurikulum. Hal itu diperjelas lagi
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 saat merinci standar
kurikulum di Indonesia. Salah satu bunyi kurikulum kewarganegaraan dan
kepribadian adalah mengutamakan "hak-hak asasi manusia, kemajemukan
bangsa, kesetaraan jender, demokrasi, dan tanggung jawab sosial"
(Sumber: BSNP, 2006).

Mekanisme perundang-undangan itu memperlihatkan urutan-urutan isi
kurikulum, tetapi mengabaikan pengawasan terhadap proses penyusunan
materi. Satu-satunya pengawasan yang dilakukan pemerintah adalah dengan
memberikan garis-garis besar pengajaran. Pengawasan itu selesai di luar
pagar sekolah karena sekolahan dilindungi oleh mekanisme Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Mekanisme itu memberikan wewenang terhadap
satuan pendidikan yang mengadakan materi sesuai sumber daya lokal.

Melihat uraian di atas, tidak sulit untuk menyatakan bahwa pengawasan
pendidikan di Indonesia selama ini cukuplah diterjemahkan dalam bentuk
pemenuhan administratif. Materi-materi pelajaran disusun berdasarkan
proyek dan tujuannya adalah laku di sekolah.

Ketika UU membebankan pemerintah agar bertanggung jawab pada angka dan
aksara yang dibaca siswa, pada saat yang sama pemerintah gagal
menjangkau peredaran materi pelajaran di sekolah. Pemerintah seperti
menderita stroke ketika harus bergerak di lapangan. Idealisme pendidikan
Indonesia hanya hidup di UU, tetapi mati di gerbang sekolah.

SAIFUR ROHMAN Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan; Menetap di Semarang

http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/18/09184595/Stroke.dalam.Pendidikan.Kita

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.