Selasa, 17 April 2012

[Koran-Digital] Sudomo, Anak Emas Presiden

Rabu, 18 April 2012 | 12:20 WIB
Sudomo, Anak Emas Presiden


TEMPO.CO, Jakarta -Sudomo menjadi perwira inti di lingkaran dalam Soeharto bersama Ali Moertopo, Benny Moerdani, dan Yoga Soegama. Terlibat kasus Bapindo karena memberi referensi kepada Eddy Tansil.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari memoar Sudomo yang terbit di Majalah Tempo pada edisi 27 Juni 2011.

***
Ombak pagi itu lumayan besar. Rombongan Presiden tengah berada di laut sekitar Kepulauan Seribu, Jakarta. Saat itu Presiden Soeharto mengajak mancing tamunya, Kanselir Jerman Helmut Kohl. Namun ikan di dekat Pulau Edam rupanya tak bersahabat dengan pemancing dari Jerman. Saya yang berada di kapal berbeda terus mengamati dan menjaga. Lalu saya nyeletuk. ”Jangan-jangan Pasukan Katak di bawah menyabet ikannya.”

Ternyata celetukan itu sampai ke telinga Tien Soeharto melalui ajudan. ”Bener ya, Pak Domo, di dalam sana ada Pasukan Katak yang sudah nyiapin ikan untuk dipancing?” Saya menjelaskan, celetukan itu kelakar saja. Tak lama, saya dipanggil Soeharto dan ditanyai soal Pasukan Katak itu. Saya kembali menjelaskan, itu hanya canda. Soeharto tak memperlihatkan wajah marah, malah tersenyum.

Saya hampir selalu menemani aktivitas Soeharto. Dalam menjalankan hobi bermain golf, Soeharto selalu mengikuti aturan. Bila ia main terlalu lambat, misalnya, orang lain boleh menyalip. Tapi saya dan pengawal selalu mengingatkan pegolf lain, jangan sampai melewati Soeharto. Kalau ada pegolf yang main lambat, saya juga mengingatkan supaya cepat.

Saya sebenarnya bisa bermain golf, tapi jarang bermain bersama Soeharto karena harus mengawal. Saya menjadi Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia selama 26 tahun. Lazimnya, ketua umum menjabat lima tahun dan paling lama dua periode. Mungkin karena tidak ada yang berani menjadi Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia pada zaman itu.

Banyak orang membicarakan kesetiaan saya kepada Soeharto. Profesor Donald Wilson dari Amerika Serikat memberi saya julukan Indispensable Man. Dia mengatakan Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo adalah titik tambahan positif bagi Presiden Soeharto. Dalam buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983, David Jenkins menyebut saya sebagai anak emas Soeharto bersama Letnan Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Benny Moerdani, dan Jenderal Yoga Soegama.

Pernah menjalani operasi militer bersama membuat saya kenal dekat dengan Soeharto. Dalam operasi pembebasan Irian Barat, saya menjadi Panglima Angkatan Laut Mandala, di bawah Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto. Tulisan di beberapa media menyebut karier saya sangat bergantung pada Soeharto. Penilaian itu tak salah. Bisa jadi, kalau Soeharto tak melesat hingga menjadi presiden, saya mungkin hanya menjadi kopral.

Saya selalu ingat nasihat Soeharto yang berbunyi ngelurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Jadi, kalau bertempur, jangan sampai yang kalah kehilangan muka. Saya selalu memetik beragam falsafah tinggi yang disampaikan Soeharto. Dengan pengenalan itu, saya menilai Soeharto bukan seorang otoriter. Dia hanya menerapkan disiplin militer serta falsafah Jawa.

Nasihat Soeharto selalu saya terapkan baik dalam perjalanan karier maupun kehidupan sehari-hari. Saya berkarier di militer lebih dari 50 tahun dan mengecap bintang empat selama 12 tahun. Saya masih dipercaya masuk Kabinet Pembangunan IV sebagai Menteri Tenaga Kerja pada 1983. Selanjutnya Menteri Koordinator Politik dan Keamanan periode 1988-1993.

Saya sebenarnya sudah mengajukan pensiun setelah menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, tapi Soeharto menolak. Ketika proses pembentukan Kabinet Pembangunan V pada 1988, saya pergi ke Puncak. Saya mendapat telepon dari ajudan presiden untuk hadir di Jalan Cendana, kediaman Soeharto. Saya terlambat sejam. Lalu Soeharto meminta saya bersedia menjadi Menteri Koordinator Polkam karena dianggap perwira bintang empat paling senior. Saya tertegun karena tak menyangka akan dipercaya memegang jabatan sangat tinggi.

Menteri Koordinator Polkam bertugas memelihara stabilitas nasional. Selama menjadi menteri, saya selalu membuka ruang dialog, termasuk dengan kelompok Petisi 50, yang dipimpin Ali Sadikin. Mereka meminta penjelasan karena tak diperbolehkan bepergian ke luar negeri ketika saya menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Saya menawarkan kepada anggota Petisi 50 agar membuat surat permohonan maaf tertulis kepada Soeharto. Persoalan akan dianggap selesai dan dilupakan. Ali Sadikin dan kawan-kawan menolak, meski ada beberapa yang memanfaatkan tawaran itu. Pengamat politik Deliar Noer mengatakan dialog merupakan upaya positif sehingga memperkuat solidaritas sosial menuju keterbukaan dan demokrasi.

Lima tahun saya menjadi Menteri Koordinator Polkam dengan segala dinamikanya. Kemudian saya kembali diminta Presiden menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Ketika pertama kali menjabat, saya berbicara di media mengenai suksesi kepemimpinan nasional. Saya sebenarnya hanya mengatakan suksesi tak perlu dipermasalahkan meski pemilihan umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah dekat.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan saya, Soeharto mengatakan sadar jabatannya sudah terlalu lama. Ukuran negara berkembang itu, kepala negara paling lama menjabat 20-an tahun. Pak Harto tahu kapan harus berhenti, tapi tak bisa karena rakyat memilihnya. Keputusan berhenti juga akan dianggap lari dari perjuangan.

Pada 1994, saya pernah mengajukan berhenti dari Dewan Pertimbangan Agung karena kasus Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Ketika itu, saya dikaitkan dengan kasus pembobolan Bapindo karena memberikan referensi kepada Eddy Tansil. Kasus ini bermula dari rapat Dewan Perwakilan Rakyat dengan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono. Anggota DPR, Arnold Baramuli, mempersoalkan kredit untuk bos Golden Key Group, Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong, dengan nilai total Rp 1,3 triliun.

Kasus Bapindo meluas dan serangan tak henti-hentinya tertuju kepada saya selama tiga bulan. Saya menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan kasus ini. Sekalian saya menyatakan bertanggung jawab dan mengajukan permohonan berhenti sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Peristiwa ini seperti mengulang pertempuran Laut Arafuru. Saya bertanggung jawab dan mengajukan pengunduran diri. Soeharto menolak dan meminta saya menyiapkan mental menghadapi pengadilan.

Saya menyatakan siap diperiksa pihak berwenang untuk menjernihkan kasus. Pada 27 Juni 1994, saya menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pengadilan, saya mengaku memberikan referensi lisan atas permintaan Eddy Tansil pada 19 Juni 1989. Ketika itu saya menjabat Menteri Koordinator Polkam.

Di pengadilan, saya menjelaskan referensi bukan dipakai supaya Bapindo melakukan penyimpangan meski selalu ada peluang disalahgunakan. Saya pernah memanggil dan menegur Eddy Tansil, tapi tak mempan. Pengadilan akhirnya menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara.

Kasus Bapindo sudah jernih meski Eddy Tansil kabur pada 1996. Saya kembali bertugas di Dewan Pertimbangan Agung sampai benar-benar bisa melepaskan jabatan politik pada usia 72 tahun. Keputusan pensiun itu hanya 16 hari sebelum Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Saya sudah mengalami semua jabatan penting di negeri ini, kecuali presiden dan wakil presiden.

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/18/078397922/Sudomo-Anak-Emas-Presiden


Rabu, 18 April 2012 | 12:16 WIB
Sudomo, Laksamana dari Kampung Arab
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta -Profesor Donald Wilson dari Amerika pernah menyebutnya sebagai  Indispensable Man. Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo memang perwira yang dekat dan setia kepada Presiden Soeharto. Melesat lewat Operasi Trikora, dia kemudian dipercaya menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dengan kewenangan yang nyaris tak terbatas.

Jaya dalam karier, sang Laksamana terseok mengarungi bahtera rumah tangga. Di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sudomo menuturkan pernah perjalanan hidupnya kepada Yandi M. Rofiyandi, Cheta Nilawaty, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo tahun lalu. Kisah perjalanan Sudomo ini ditulis dalam rubrik Memoar Majalah Tempo edisi 27 Juni 2011.

"Kalau kamu suka menolong orang lain, suatu saat pasti akan ada orang menolong ketika kamu sedang dalam kesulitan."

Itulah pesan yang selalu saya ingat dari mendiang ayah: Kastawi Martomihardjo. Ayah saya adalah guru dan penilik sekolah lulusan Sekolah Normal—sekolah pendidikan guru zaman Belanda—di Blitar, Jawa Timur. Ayah merupakan orang Indonesia pertama di Probolinggo, Jawa Timur, yang menjadi kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar, pada 1942. Sedangkan ibu saya, Saleha, mengurus rumah tangga.

Saya lahir pada 20 September 1926 di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur. Sekarang namanya menjadi Jalan Syarif al-Qodri, tapi masih dikenal sebagai Kampung Arab. Saya anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saya pindah ke Probolinggo karena Ayah bertugas di sana. Saya juga memulai pendidikan di HIS Probolinggo.

Lulus dari HIS pada 1939, saya melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, di Probolinggo. Pendidikan saya terputus ketika Jepang menggusur penjajah Belanda. Lembaga pendidikan berbahasa Belanda banyak yang bubar, termasuk MULO Probolinggo. Saya meneruskan pendidikan ke sekolah negeri di Jalan Celaket, Malang, dan lulus pada 1943.

Kendati tinggal dalam lingkungan keluarga guru, saya bercita-cita menjadi insinyur. Tak pernah terpikir untuk masuk tentara, apalagi mencapai bintang empat angkatan laut. Sampai akhirnya ada tim rekrutmen dari Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) untuk masuk angkatan kedua. Sekolah ini mempersiapkan mualim—sebagai perwira dek dan perwira mesin—dalam pelayaran antarpulau. Saya terkesima oleh penampilan para pelaut ini: pakaian seragam biru gelap dan peci biru dengan tanda kemudi.

Saya akhirnya diterima di SPT Ci­lacap, Jawa Tengah. Inilah jalan hidup. Sebelumnya, saya gagal masuk tes calon perwira tentara Pembela Tanah Air di Surabaya. Saya kecewa ketika dinyatakan gagal karena memiliki amandel. Namun kekecewaan itu hanya selintas karena kebetulan tim rekrutmen SPT datang. Tanpa pikir panjang, saya mendaftar dan diterima.

Saya masuk sepuluh besar di sekolah pelayaran dan diangkat menjadi guru di SPT Pasuruan, Jawa Timur. Ketika proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, lembaga keamanan nonmiliter. Selang sehari, sekolah di Pasuruan membentuk BKR.

BKR Pasuruan lalu berubah menjadi Angkatan Laut Batalion III Pangkalan IX. Saya mendapat pangkat letnan sebagai perwira logistik. Pada Desember 1948, saya ditetapkan sebagai orang kedua, di bawah Mayor John Lie, dalam kapal PPB-58 LB. Pelayaran pertama menuju Phuket, Thailand, membawa karet untuk ditukar dengan senjata. Karena kepiawaian John Lie—dikenal sebagai The Smuggler with the Bible—kapal dengan misi menyuplai senjata buat pasukan Indonesia ini selalu aman.

Saya juga terjun dalam pertempuran menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 1950. Sebagai Kepala Staf Operasi IV Markas Besar Angkatan Laut, saya juga bertugas menyiapkan operasi militer menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Saya menjalani semua operasi itu tanpa rasa takut. Militer sudah teken mati dalam setiap operasi.

"Kalau kamu suka menolong orang lain, suatu saat pasti akan ada orang menolong ketika kamu sedang dalam kesulitan."

Itulah pesan yang selalu saya ingat dari mendiang ayah: Kastawi Martomihardjo. Ayah saya adalah guru dan penilik sekolah lulusan Sekolah Normal—sekolah pendidikan guru zaman Belanda—di Blitar, Jawa Timur. Ayah merupakan orang Indonesia pertama di Probolinggo, Jawa Timur, yang menjadi kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar, pada 1942. Sedangkan ibu saya, Saleha, mengurus rumah tangga.

Saya lahir pada 20 September 1926 di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur. Sekarang namanya menjadi Jalan Syarif al-Qodri, tapi masih dikenal sebagai Kampung Arab. Saya anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saya pindah ke Probolinggo karena Ayah bertugas di sana. Saya juga memulai pendidikan di HIS Probolinggo.

Lulus dari HIS pada 1939, saya melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, di Probolinggo. Pendidikan saya terputus ketika Jepang menggusur penjajah Belanda. Lembaga pendidikan berbahasa Belanda banyak yang bubar, termasuk MULO Probolinggo. Saya meneruskan pendidikan ke sekolah negeri di Jalan Celaket, Malang, dan lulus pada 1943.

Kendati tinggal dalam lingkungan keluarga guru, saya bercita-cita menjadi insinyur. Tak pernah terpikir untuk masuk tentara, apalagi mencapai bintang empat angkatan laut. Sampai akhirnya ada tim rekrutmen dari Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) untuk masuk angkatan kedua. Sekolah ini mempersiapkan mualim—sebagai perwira dek dan perwira mesin—dalam pelayaran antarpulau. Saya terkesima oleh penampilan para pelaut ini: pakaian seragam biru gelap dan peci biru dengan tanda kemudi.

Saya akhirnya diterima di SPT Ci­lacap, Jawa Tengah. Inilah jalan hidup. Sebelumnya, saya gagal masuk tes calon perwira tentara Pembela Tanah Air di Surabaya. Saya kecewa ketika dinyatakan gagal karena memiliki amandel. Namun kekecewaan itu hanya selintas karena kebetulan tim rekrutmen SPT datang. Tanpa pikir panjang, saya mendaftar dan diterima.

Saya masuk sepuluh besar di sekolah pelayaran dan diangkat menjadi guru di SPT Pasuruan, Jawa Timur. Ketika proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, lembaga keamanan nonmiliter. Selang sehari, sekolah di Pasuruan membentuk BKR.

BKR Pasuruan lalu berubah menjadi Angkatan Laut Batalion III Pangkalan IX. Saya mendapat pangkat letnan sebagai perwira logistik. Pada Desember 1948, saya ditetapkan sebagai orang kedua, di bawah Mayor John Lie, dalam kapal PPB-58 LB. Pelayaran pertama menuju Phuket, Thailand, membawa karet untuk ditukar dengan senjata. Karena kepiawaian John Lie—dikenal sebagai The Smuggler with the Bible—kapal dengan misi menyuplai senjata buat pasukan Indonesia ini selalu aman.

Saya juga terjun dalam pertempuran menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 1950. Sebagai Kepala Staf Operasi IV Markas Besar Angkatan Laut, saya juga bertugas menyiapkan operasi militer menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Saya menjalani semua operasi itu tanpa rasa takut. Militer sudah teken mati dalam setiap operasi.

"…all is yours, and make the best of it."

Saya lega mendengar perkataan Jenderal TNI Soemitro yang memegang kendali Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu. Saya mendapat kepercayaan dan dukungan dalam menjalankan tugas sebagai Wakil Panglima Kopkamtib pada Maret 1973. Tugas ini penuh tantangan. Seorang laksamana yang biasa bertempur di laut kini menghadapi masyarakat.

Baru lima bulan menjabat, saya mendapat tantangan ketika terjadi kerusuhan di Bandung. Namun peristiwa besar ketika saya menjabat terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari ini membakar sebagian Jakarta. Kerusuhan pecah saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974.

Mahasiswa menyambut kedatangan Tanaka dengan aksi damai yang dimotori Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariman Siregar. Meski banyak spekulasi tentang penyebab peristiwa ini, saya melihat gerakan itu dimanfaatkan kelompok tertentu sehingga terjadi kerusuhan. Saya ditugasi Panglima Kopkamtib mengendalikan kerusuhan. Prioritasnya mendatangkan tambahan pasukan dari Kodam Brawijaya dan Diponegoro untuk menjaga Istana.

Tanaka pulang ke Jepang pada 17 Januari. Saya menghadap Soemitro dan meminta berhenti karena merasa tak bisa melaksanakan tanggung jawab mengamankan Jakarta. Soemitro—teman sekolah dasar saya di Probolinggo—menolak permohonan itu. Besoknya, Soeharto mengadakan pertemuan. Saya dan Soemitro hadir bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Panggabean, Menteri-Sekretaris Negara Sudharmono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Sutopo Yuwono, serta asisten pribadi Presiden, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.

Soeharto mengambil alih jabatan Panglima Kopkamtib dan mencopot Soemitro. Jabatan Wakil Kopkamtib dan asisten pribadi dihapuskan. Saya digeser menjadi Kepala Staf Kopkamtib, yang menjadi pelaksana tugas harian. Pemerintah menutup media massa seperti Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, dan Ekspres.

Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1978, saya melarang sejumlah media massa terbit. Alasannya, pemberitaan itu bersifat menghasut sehingga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan dan ketertiban. Besoknya, 21 Januari 1978, Kopkamtib membekukan kegiatan mahasiswa di semua perguruan tinggi di Indonesia. Keputusan Kopkamtib itu dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joe­soef tentang pemberlakuan program Normalisasi Kehidupan Kampus.

Saya diangkat menjadi Panglima Kopkamtib sekaligus Wakil Panglima ABRI pada 28 Maret 1978. Panglima memiliki kewenangan yang hampir tak terbatas untuk kepentingan stabilitas pertahanan dan keamanan nasional. Kopkamtib muncul untuk menjaga kampanye pemilu, menggelar Operasi Sapu Jagat yang menyita senjata api dari penduduk sipil, dan membantu menyelesaikan mogok pilot Garuda.

Dalam konteks sekarang, saya menilai negara memerlukan undang-undang yang ditakuti dan orang yang bisa melaksanakannya, seperti Panglima Kopkamtib. Saya menggunakan konsep pencegahan dalam beberapa tahap. Pertama-tama, dinasihati, diajak bicara, dan ditahan, tapi tak diajukan ke pengadilan. Lalu akan dicek dan dinasihati lagi. Kalau masih tak berubah, baru diajukan ke pengadilan.



http://www.tempo.co/read/news/2012/04/18/078397920/Sudomo-Laksamana-dari-Kampung-Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.