Minggu, 15 April 2012

[Koran-Digital] CALAK EDU Nonstandardized Tests

DALAM buku Mati Keta wa Cara daripada Soeharto, ada lelucon kecil yang
mungkin relevan dengan kondisi sosial dan pendidikan di negara kita,
yaitu tentang kapitalisme, sosialisme, dan Pancasila. "Apa beda
kapitalisme dan sosialisme?" "Kapitalisme membuat kekeliruan sosial!
Sosialisme membuat kekeliruan kapital!" "La, kalau Pancasila?"
"Pancasilaisme di bawah Orde baru membuat kekeliruan sosial sekaligus
kekeliruan kapital!" Jika pertanyaan itu dilanjutkan, apa kekeliruan
orde SBY dalam dua periode reformasi? Jawabannya bisa jadi ujian
nasional (UN).

Ada hipotesis menarik dari beberapa rekan praktisi pendidikan, yang
mengatakan bahwa UN sebenarnya tanda ketidakmampuan pemerintah dalam
meningkatkan kompetensi guru. Jika kompetensi guru baik, soal tes
sebenarnya merupakan wilayah yang sangat sederhana, yaitu kelas. Di
kelas hanya ada guru dan siswa. Jika guru kompeten dan memiliki cukup
banyak pengetahuan serta inovasi dalam membuat skema tes yang lebih relevan

dengan ragam talenta siswa, negara sesungguhnya tak perlu sibuk membuat UN.

Dalam waktu yang lama, proses pendidikan di muka bumi ini sesungguhnya
selalu menggunakan nonstandardized tests yang tanggung jawab penuhnya
ada pada diri seorang guru. Namun sayangnya, sejarah tentang
nonstandardized tests juga banyak dinodai ketidakmampuan guru dalam
mengembangkan pola evaluasi secara kreatif dan berkelanjutan. Dahulu
mungkin kondisi moral bisa jadi lebih baik karena biasanya faktor
keterpanggilan (beruuf, calling) untuk menjadi guru memang tulus dan
penuh pengabdian.

Sekarang, guru dalam beberapa hal memang dimanjakan pemerintah, terutama
lewat program sertifi kasi, tetapi kualitas yang diharapkan malah justru
tak pernah muncul meski kesejahteraan guru membaik.

Tak banyak guru mau menulis dan melakukan riset kelas dengan saksama.
Yang menonjol malah membengkaknya jumlah kredit mobil guru di bank-bank
pemerintah. Apa yang salah dengan pendidikan kita? The primacy of
teachers harus selalu menjadi prioritas utama dalam implementasi
kebijakan pendidikan nasional. Di banyak kesempatan pelatihan, jika para
guru diberi pertanyaan tentang aspek apa yang paling sulit dilakukan
dalam implementasi kurikulum seperti yang didefi nisikan John Saphier
(2000), sebagian besar menjawab aspek yang paling sulit adalah design,
learning experiences, dan assessment.

Desain biasanya menyangkut aspek perencanaan pembelajaran sejenis lesson
design atau RPP. Learning experiences terkait dengan cara mengajarkan
sebuah pokok bahasan, terutama menyangkut pilihan metode dan penggunaan
instructional strategies guru. Adapun untuk assessment guru biasanya
lebih menyederhanakan masalah dengan kata evaluasi atau tentang cara
melakukan evaluasi terhadap anak didik mereka.

Namun para guru sangat jarang memilih objectives sebagai sumber
kesulitan dalam proses implementasi kurikulum.

Beberapa temuan tentang itu memang mengindikasikan kelemahan guru dalam
merancang tujuan pembelajaran. Hampir tak dapat dimungkiri kelemahan
tersebut berjalan paralel dengan cara mereka menyusun rencana
pembelajaran yang bermodalkan copy paste dengan rujukan superkuat
terhadap SKKD. Jelas terlihat bahwa kesulitan merumuskan tujuan yang
dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap teori belajar dan leveling
dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadikan mereka lalai
dalam membuat skema evaluasi yang sederhana dan komprehensif.

Itulah mungkin salah satu alasan mengapa para pengambil kebijakan
tentang pendidikan di seantero dunia selalu memaksakan kehendak mereka
untuk membuat standardized tests seperti UN dalam proses evaluasi
pendidikan, sebab sebagian besar guru memang

kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mendesain pola
pengajaran secara kreatif. Selain itu, sumber kemalasan guru dapat
berasal dari kebijakan yang salah tentang orientasi pendidikan yang
lebih menekankan aspek outcome ketimbang menghargai dan mencintai
prosesnya.

Kelemahan guru dalam membuat desain evaluasi juga dimungkinkan tiga hal.

Pertama, apa yang ada di dalam text book atau buku paket biasanya sangat
bias dan tidak memiliki standar kualitas proses yang memadai sehingga
guru sering terjebak pada orientasi outcome. Kedua, tes sejenis UN
seperti mengeluarkan kewenangan guru dan dalam waktu sama juga
merendahkan kepercayaan diri guru untuk membuat pola tes berdasarkan
kemampuan siswa. Ketiga, dan ini yang biasa terjadi, bahasa dalam tes
sejenis UN biasanya tidak sesuai dan seirama dengan konsep dan gaya
mengajar guru. Padahal, cara mengajar sejatinya berkesesuaian dengan apa
yang akan diujikan (McMillan: 2007).

Karena itu, penting untuk mereformasi sistem penilaian

terhadap proses pendidikan di Tanah Air. Tawaran untuk menggunakan pola
performance assessment tampaknya penting untuk dipertimbangkan para
pengambil kebijakan bidang pendidikan kita. Seperti kata John Saphier
(2000), "Assessment is the strongest medium there is for telling
students, parents, school, campus, and the community what teachers care
about in education." Karena itu, menuntut kompetensi guru di bidang
evaluasi dan kebijakan otoritas pendidikan yang benar soal model
evaluasi yang relevan bagi kemajemukan budaya, etnik, dan agama
anak-anak Indonesia ialah imperatif bagi dunia pendidikan Tanah Air.

Semoga era reformasi yang ditandai dengan kehadiran SBY sebagai presiden
RI dalam dua periode tak meninggalkan warisan kelam bidang pendidikan,
seperti praktik yang salah tentang UN. Masih ada waktu, Pak SBY dan Pak
Nuh untuk berbenah, sejauh pendidikan tidak didefinisikan sebagai proyek
politik dan kepentingan ekonomi semata, sebagaimana kelaziman yang
keliru dibuat orde sosialisme dan kapitalisme.

Semoga era reformasi yang ditandai dengan kehadiran SBY sebagai presiden
RI dalam dua periode tak meninggalkan warisan kelam bidang pendidikan,
seperti praktik yang salah tentang UN."

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/16/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Nonstandardized-Tests-16042012012014.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.