Rabu, 04 April 2012

[Koran-Digital] Dari Buaya Keroncong hingga Buaya Darat

TAN TJENG BOK

Dari Buaya Keroncong hingga Buaya Darat

Banyak orang mengenalnya sebagai seniman serba-bisa. Kesuksesan pula
yang membuat hidup melarat di usia senja.
OLEH: DARMA ISMAYANTO

BAGI penikmat dunia hiburan tanah di zaman baheula, namanya tentu tak
asing lagi. Dia tergolong artis serba-bisa. Menyanyi. Berakting. Tampil
di atas panggung. Padahal kariernya dimulai dari seorang kacung dalam
sebuah rombongan sandiwara di Bandung, melakukan pekerjaan menyapu
hingga membersihkan alat musik.

Tan Tjeng Bok masih berumur 13 tahun kala itu. Di rombongan sandiwara De
Goudvissen ini, dia tak mendapat gaji. Hanya makannya ditanggung.
Imbalan paling berarti baginya adalah alunan suara dari sang penyanyi
pujaan Ben Oeng (Beng). Tjeng Bok memendam hasrat pada dunia tarik suara.

Tak dinyana, keberuntungan datang padanya. Beng berhalangan tampil, dia
pun didapuk untuk menggantikannya. Walau cuma dibekali latihan kilat,
penampilan perdananya tergolong sukses. Modal ini membuatnya percaya
diri untuk bergabung dengan grup keroncong Hoot Visen. Tjeng Bok juga
mulai kerap mengikuti kontes nyanyi keroncong. Karena sering keluar
sebagai juara, dia pun dikenal sebagai "buaya keroncong" di Bandung. Dia
menapak karier di dunia hiburan, sekalipun ayahnya tak merestui.

Tan Tjeng Bok lahir di Jakarta pada 30 April 1899. Dari sembilan
bersaudara, hanya dia yang berkulit hitam sehingga mendapat sebutan Si
Item atau Om Item. Pasalnya, dia satu-satunya anak hasil perkawinan sang
ayah yang seorang keturunan Tionghoa, Tan Soen Tjiang, dengan gadis
Betawi asal Jembatan Lima, Jakarta, bernama Darsih. Karena tak beroleh
restu orangtua, mahligai rumahtangga orangtuanya hanya bertahan satu
tahunan. Setelah itu, sang ayah menikah lagi dengan gadis Tionghoa dan
memberikan Tjeng Bok delapan adik tiri.

Tjen Bok sempat mengenyam pendidikan di Hollandsch Chineesche School di
Jalan Braga tapi tak sampai tamat. Tingkah bengalnya yang kerap membolos
membuat sang ayah memutuskan agar Tjeng Bok berhenti sekolah. Ketika
Tjeng Bok bergabung dengan Orkes Keroncong Si Goler, pimpinan Mat
Pengkor, ayahnya melarang. Karena Tjeng Bok tak pernah menggubris,
ayahnya yang dikenal jago silat serta berperangai keras dan disiplin,
memukulinya. Di usia 14 tahun, Tjeng Bok minggat ke Jakarta, mencari
ibunya di Jembatan Lima.

Di Jakarta, perhatian Tjeng Bok mulai beralih dari keroncong ke
pertunjukan wayang China, semacam stamboel atau komedi bangsawan. Dia
menjadi kacung rombongan Sui Ban Lian, yang bermain tetap di Sirene Park
di Jalan Hayam Wuruk. Merasa kurang cocok, dia pindah kerja sebagai
tukang putar proyektor di sebuah bioskop keliling. Tjeng Bok kembali ke
Bandung setelah sang ayah menjemput dan membujuknya.

Bagi Tan Tjeng Bok, kesenian seperti takdir yang tak dapat diingkarinya.
Tak kapok pernah dihajar sang ayah, pada suatu malam Imlek, Tjeng Bok
bergabung dengan grup lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Sehabis Imlek,
rombongan berencana keliling ke daerah perkebunan-perkebunan di Jawa
Barat. Sang ayah kali ini tak dapat lagi menoleransi perilaku anaknya.
Tjeng Bok diusir.

Tjeng Bok jalan terus. Enam bulan pentas keliling bersama grup Si Ronda,
sekembalinya ke kota Bandung, Tjeng Bok bergabung dengan Stambul Indra
Bangsawan. Awalnya sebagai tukang membenahi panggung, tapi kemudian
pemimpin pentas (toneel directeur) Djaffar Toerki menariknya sebagai
pemain pembantu. Tak kerasan, dia beralih ke orkes Hoetfischer pimpinan
Gobang, kembali menyusur karier sebagai biduan.

Berpentas keliling Jawa, saat di Bangil, Jawa Timur, pada suatu
kesempatan dia bertemu dengan Pyotr Litmonov atau Pedro, seorang
keturunan Rusia yang memimpin grup tonil atau opera Dardanella. Tahun
1920, Tjeng Bok pun bergabung dan mulai menjalankan perannya sebagai
"anak wayang", sebutan untuk pemain panggung.

Dardanella, berdiri pada 21 Juni 1926, adalah grup tonil (sandiwara)
terkemuka saat itu yang mendapat pengakuan internasional. Mereka pernah
pentas di empat benua. Menurut Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis, di
Dardanella inilah Tan Tjeng Bok merengkuh puncak karier. Grup ini memang
luar biasa. Bermain di setiap kota berbulan-bulan. Ceritanya
hebat-hebat, seringkali karya Shakespeare macam Hamlet dan Romeo and Juliet.

Dalam periode ini, Item hidup bagaikan dalam dongeng. Dia bahkan
mendapat julukan "Douglas Fairbanks van Java" –Fairbanks adalah bintang
Hollywood ternama. Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang
dengan kualitas permainannya. Tak heran jika dia hidup bergelimang
harta. Dia punya mobil Rolls-Royce dan kerap gonta-ganti istri. Selama
hidupnya, Item mengaku kawin-cerai hingga 100 kali.

Seperti tonil yang dia mainkan, sebuah babak pasti ada akhirnya.
Dardanella tutup layar awal 1940-an. Tjeng Book harus gonta-ganti grup;
dari sandiwara keliling Orpheus pimpinan Manoch hingga Star pimpinan
Afiat. Dalam The Komedie Stambul karya Matthew Isaac Cohen, Tjeng Bok
sempat berujar kalau berpindah-pindah grup bagi artis stambul adalah hal
biasa. "Untuk cerita-cerita yang dimainkan, antara grup stambul satu dan
yang lainnya di masa lalu semua sama. Perbedaan di antara mereka hanya
terletak pada pemain dan technical effect," kata Tjeng Bok.

Menjelang pendudukan Jepang, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri
Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah, Item masuk babak
baru. Pada 1941, dia membintang film layar lebar pertamanya Srigala
Hitam garapan Tan Tjoei Hock, pemilik Studio Hajam Woeroek. Pada tahun
yang sama dia membintangi film Si Gomar, Singa Laoet, dan Tengkorak Hidoep.

Sempat terhenti ketika Jepang masuk, dunia film Indonesia kembali
menggeliat pada 1950-an. Pada masa inilah Item mulai menancapkan
hegemoninya di layar lebar. Dia membintangi sepuluh judul film.
Puncaknya, 1970 sampai 1980, tak kurang dia membintangi 25 film. Antara
lain Melarat Tapi Sehat (1954), Judi (1955), Peristiwa Surabaya Gubeng
(1956), Badai Selatan (1960), dan Bengawan Solo (1971). Selain bermain
di layar lebar, Item kerap tampil di cerita sandiwara televisi.

Sayang, kesuksesan membuat Item lupa daratan. Dia gemar berfoya-foya.
Gaya hidupnya yang boros membuat dia menjalani masa senja dalam keadaan
melarat, sehingga pernah melakoni hidup sebagai kenek oplet dan tukang
obat. Dari 100 perempuan, tinggal Sarmini –perempuan asal Bojonegoro
yang dinikahinya pada 1947– menemani hingga akhir hayatnya. Dari
Sarmini, Tjeng Bok beroleh dua anak, Nawangsih dan Sri Anami.

Pada 15 Februari 1985, aktor tiga zaman ini meninggal dunia pada usia 85
tahun karena sakit jantung. Delapan belas tahun kemudian, pemerintah
mengakui jasa-jasanya dengan menganugerahkan tanda jasa Bintang Budaya
Paramadharma.

http://historia.co.id/artikel/3/993/Majalah-Historia/Dari_Buaya_Keroncong_hingga_Buaya_Darat

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.