Kamis, 12 April 2012

[Koran-Digital] Gajah Aceh yang Agung

Gajah Aceh yang Agung

Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan. Rakyat
menghormatinya dalam beberapa upacara.


OLEH: HENDARU TRI HANGGORO

DEMI menangani serangan gajah liar terhadap permukiman warga, sejumlah
dokter hewan spesialis gajah dari beberapa negara Asia berkumpul di
Universitas Syiah Kuala akhir Maret lalu. Di Aceh serangan gajah liar
meningkat berkelindan dengan meluasnya perambahan hutan. Konflik manusia
dengan gajah tak terhindarkan. Gajah diburu dan dimusuhi. Akibatnya,
populasi gajah di Aceh menurun. Pada 2011, menurut Badan Konservasi
Sumber Daya Aceh, hanya tersisa 540 ekor. Padahal, pada zaman Kesultanan
Aceh abad ke-17, gajah memenuhi rimba dan menjadi simbol keagungan.

Sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau
Sumatra telah menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari
kerajaan. Menurut M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah
sebagai tunganggannya. "Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang
bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya
mengendarai gajah," tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.

Sultan Perlak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas,
sebagaimana dikutip Djamil dari Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany.
Sementara Marcopolo menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang
mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar kepunyaan raja.

Dalam Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih
lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja,
gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya
300 gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias.
Menurutnya, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa
disaingi oleh Kerajaan Delhi (India).

Ketika Kesultanan Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah
tetap menjadi hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu
tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah
dianggap salah satu simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat
dengan baik.

Gajah-gajah liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya,
melainkan untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik
dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang
Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin dengan emas dan
permata. Suatu pemandangan yang dapat ditemukan di India.

Kebanggaan Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17.
Iskandar Muda, calon sultan, akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya,
seekor anak gajah, menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya,
Sultan Alau'ddin Riayat Syah, memberikan gajah itu saat Iskandar berumur
5 tahun. Iskandar senang menerimanya.

Dia menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan anak gajah itu.
Menginjak usia 7 tahun, dia mulai berburu gajah liar yang berada dalam
hutan. Saat beranjak dewasa, Iskandar Muda telah mahir menunggangi
gajah. Mengutip Hikayat Aceh, Anthony Reid dalam "Elephants and Water in
The Feasting of Seventeenth Century Aceh," dimuat dalam An Indonesian
Frontier, menyebut sultan muda itu berlatih menunggang gajah tiap Senin
dan Kamis. Sultan muda itu meneruskan tradisi kemahiran sultan Aceh
dalam menunggangi gajah.

Tamu-tamu asing Kesultanan Aceh terpukau dengan gajah-gajah di sana.
Sebaliknya, Aceh membanggakan gajah-gajahnya pada tamu-tamu asing. Untuk
menyambut tamu asing, gajah dipersiapkan sebaik mungkin, baik perangai,
kesehatan maupun perhiasannya. John Davies, navigator Inggris,
mengungkapkan pengalamannya mengunjungi istana sultan pada 1599. "Saya
berkendara ke istananya dengan seekor gajah," tulis Davies dalam
"Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk, 1599," dimuat dalam Sumatera
Tempo Doeloe.

Dia juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman
mati. Gajah bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping.
Catatan Francois Martin, pedagang Prancis, pada 1602 menguatkan cerita
Davies. Hukuman mati dengan gajah dikenakan pada pezina dan pembunuh.

Meski gajah sempat menjadi alat eksekusi, fungsi utama gajah sebagai
simbol kebesaran kesultanan Aceh tak terbantahkan. Augustin de Beaulieu,
pedagang Prancis, menyaksikan bagaimana Aceh merupakan panggung teater
besar para gajah pada 1621. Dalam catatannya, "Kekejaman Iskandar Muda",
dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia menyebut Aceh memiliki 900 ekor
gajah. Karena melimpahnya armada gajah, Aceh tak memerlukan benteng
kota. "Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota
sesungguhnya," tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh.

Gajah-gajah itu dilatih berperang sehingga tak takut ketika suara
senapan yang memekakkan berbunyi disamping telinga besarnya. Sultan
memberikan gajah-gajah itu nama sedangkan rakyat memberi penghormatan
kepada gajah-gajah yang sultan gunakan. Ketika parade, gajah-gajah itu
diiringi bunyi-bunyian yang membahana dari alat-alat musik seperti
terompet, tamborin, dan simbal.

Catatan lain mengenai gajah Aceh berasal dari Peter Mundy, pelancong
Inggris. Meski hanya mengunjungi Aceh selama 10 hari, dia melihat
upacara besar yang menyertakan banyak gajah pada 1637. Dia
mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan
Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan
mengundang semua rakyat hadir, dari jelata hingga bangsawan.

Dalam upacara itu, 30 gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada
empat gajah tiap barisnya. Sebagian gajah ditutupi kain sutra sehingga
hanya terlihat kaki, telinga, mata, dan belalai mereka. Gajah raja
terlihat mencolok. Dengan hiasan kain mewah yang menutupi hampir seluruh
tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya, gajah itu berada
paling belakang. Menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh,
tesis pada Australian National University, "dalam masa damai, gajah
menjadi bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam
kitab Adat Aceh."

Ito menambahkan Aceh tak hanya mengoleksi gajah tapi juga mengeskpor
atau membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa
wilayah seperti Srilanka. Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675),
kepemilikan gajah tak terbatas lagi pada sultan. Orangkaya boleh
memilikinya. Seiring meredupnya Kesultanan Aceh, gajah tak lagi
menempati posisi penting dalam upacara keagamaan atau armada perang.
Memasuki abad ke-20, nasibnya semakin naas; hanya menjadi barang buruan
dan dagangan. Bahkan menjadi musuh warga

http://historia.co.id/artikel/0/1002/Majalah-Historia/Gajah_Aceh_yang_Agung

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.