Senin, 02 April 2012

[Koran-Digital] ABDUL MU’TI: Bangsa Pelempar Batu

Bangsa Pelempar Batu PDF Print
Tuesday, 03 April 2012
Demonstrasi seolah telah menjadi budaya (baru) bangsa
Indonesia.Menjelang dan pasca-Reformasi 1998 sepertinya tiada hari tanpa
demonstrasi.


Penyebab isu dan pelaku demonstrasi sangat beragam. Dari sudut politik,
demonstrasi adalah ekspresi kebebasan berpendapat dan arena penyampaian
aspirasi yang tidak tersalurkan melalui mekanisme formal.Maraknya
demonstrasi membuktikan komunikasi tidak sehat dan kegagalan dialog
antarberbagai kelompok kepentingan.Jika diekspresikan dengan penuh tata
krama dan cita rasa seni,demonstrasi bisa menjadi panggung kebudayaan
yang menarik simpati.

Budaya Amuk

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para demonstran, akhir-akhir ini
aksi demonstrasi sungguh memprihatinkan. Demonstrasi melenceng jauh dari
cita ideal demokrasi dan nilai-nilai permusyawaratan. Yang terjadi
adalah pemaksaan kehendak dan unjuk kekuatan menang-kalah antara rakyat
melawan aparat. Demonstrasi menjadi aksi menakutkan dan—tampaknya—telah
menjelma demons: evil spirit,kekuatan nafsu setan yang mengerikan.
Rakyat dan aparat yang sama-sama dikuasai amarah bertempur sengit.

Mereka adalah sesama bangsa yang sedang memerankan fungsi
masing-masing.Para demonstran bukanlah pejuang Intifadah yang berjibaku
melawan kebengisan rezim penindas Israel.Lemparan molotov bukanlah batu
api Burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah yang hendak
menghancurkan Kakbah.Batubatu yang berhamburan bukanlah ritual melontar
jumrah untuk menyempurnakan ibadah haji. Gas air mata, pentungan, dan
peluru karet yang dimuntahkan aparat untuk mengusir massa dibeli dengan
uang negara yang dipungut dari para pembayar pajak dan tetesan keringat
rakyat.

Kekerasan yang disiarkan langsung media televisi adalah wujud mutakhir
budaya amuk yang melembaga. Kekerasan masih menjadi pilihan utama untuk
menggapai tujuan.Kecerdasan otak terkalahkan oleh kekuatan
otot.Kejernihan nurani takluk oleh nafsu tiranik. Negeri pelempar batu
adalah narasi kehidupan yang penuh kekerasan.Tidak melulu dalam aksi
demonstrasi. Batubatu beterbangan laksana mercon "memeriahkan"tawur
antarkampung. Entah mengapa, tawuran yang identik dengan peradaban
rendah dan tidak dewasa kian kerap terjadi di jantung kota metropolitan.

Ironis. Secara sosiologis-antropologis, ibu kota adalah representasi
masyarakat kota dengan peradaban adiluhung. Ada gejala di mana kota
tidak lebih dari sekedar wilayah domisili yang berbeda secara
administratif berbeda dengan desa.Kompleksitas tekanan hidup membuat
masyarakat kota cenderung lebih keras dan beringas.

Tidak Bertanggung Jawab

Kini, setelah demonstrasi berhenti,bangunan-bangunan fisik yang rusak
itu harus dibangun kembali. Fasilitas milik publik yang roboh harus
ditegakkan kembali. Batubatu yang berserakan di jalan adalah puing-puing
kemarahan dan nafsu yang sia-sia.Siapa yang bertanggung jawab? Yang
terlihat adalah budaya "lemparbatusembunyitangan". Peribahasa Melayu itu
berarti berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bangsa pelempar
batu berarti bangsa yang tidak bertanggung jawab, pengecut, munafik,
pengkhianat, pecundang, dan sebagainya.

Sebagaimana dikemukakan Koentjaranigrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan (2002), bangsa Indonesia memiliki lima karakter negatif:
meremehkan mutu, suka menerabas,tidak percaya kepada diri sendiri, tidak
disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hal senada juga dikemukakan
budayawan Mochtar Lubis.Menurut Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia
(cet. 2, 2008), bangsa Indonesia mengidap beberapa penyakit seperti
sifat munafik (hipokrit), tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal,
mistis dan sangat percaya takhayul, seni yang cenderung erotik, dan
mentalitas yang lemah.

Di dalam bahasa Islam, tidak bertanggung jawab berarti tidak amanah.
Secara umum amanah mengandung pengertian tugas, tanggung jawab,
kepercayaan, aman, sentosa, damai, dan sebagainya.Lawan kata amanah
adalah khianat, maksiat, menyeleweng, kafir, dan sejenisnya. Pelakunya
dapat disebut pengkhianat, pengecut, pendusta, dan sebagainya. Seseorang
yang tidak amanah tidak akan mendatangkan rasa aman.Yang terjadi adalah
saling tidak percaya, curiga, dan bermusuhan.

Inilah masalah kebangsaan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat
ini. Masalah semakin serius tatkala karakter dan budaya lempar batu
sembunyi tangan menghinggapi kalangan elit pemimpin. Jika hal ini
terjadi, pertanda kehancuran bangsa sudah terbayang di depan mata.

Dialog dan Silaturahmi

Sesungguhnya rakyat sudah letih berdemonstrasi. Energi rakyat sudah
nyaris terkuras untuk bertikai. Tetapi, jika arus aspirasi tidak
didengar, demonstrasi akan (tetap) menjadi pilihan.Rakyat juga mulai
bosan dengan retorika elite yang apologetik dan saling menuding. Hal
yang sama berlaku dengan perdebatan intelektual yang akrobatik. Ruang
udara sudah penuh sesak oleh pernyataan. Yang diperlukan adalah dialog.
Para elite pemimpin perlu berlapang dada, membuka diri dengan penuh
kebesaran jiwa mendengar masukan dan menerima aspirasi.

Kritik dan suara kritis adalah konsekuensi bangsa yang melek informasi,
cerdas dan partisipatif. Tidak bijak jika ditanggapi sebagai
perlawanan.Tetapi, saling menyerang dan beradu "kekuatan" di media massa
bukanlah kearifan dan pendidikan. Saling menjatuhkan hanya akan
mewariskan dendam dan regenerasi permusuhan. Ada batas informasi yang
bisa menjadi konsumsi publik dan rahasia negara. Apakah manfaatnya
bertahandenganegoisme? Egoistis adalah cermin manusia kepada batu.

Mengapa tidak saling bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Bukan
waktunya lagi berbicara atas nama rakyat dan kepentingan bangsa jika
kedaulatantergadaikan. Mengapa tidak terbuka saja dan bicara blaka-suta
saja? Menyembunyikan kebenaran adalah bentuk lain karakter lempar batu
sembunyi tangan. Mengapa tidak menjalin silaturahmi? Bersilaturahmi
berarti saling bertemu, mengunjungi dan berjabat tangan, terutama dengan
"lawan".Sudah saatnya bangsa Indonesia mengubah tradisi melempar batu
dengan melempar senyum.●

ABDUL MU'TI
Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN Walisongo, Semarang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482858/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.