Rabu, 11 April 2012

[Koran-Digital] Agus Prayudi : Surat dari 'Yang Mulia' untuk Negara

Surat dari 'Yang Mulia' untuk Negara
Agus Prayudi - detikNews
Kamis, 12/04/2012 08:59 WIB
Jakarta Ketika kami diangkat menjadi hakim dengan SK Presiden maka kami
yang berlatar belakang dari keluarga petani, buruh, pensiunan, polisi,
tentara, guru, PNS, pengusaha dan lainnya oleh UU Kepegawaian dan
kekuasaan kehakiman diubah statusnya menjadi hakim, pejabat negara
pemegang kekuasaan kehakiman. Ketika sumpah sebagai hakim kami ucapkan,
keadilan adalah yang harus berikan kepada anda, masyarakat.

Dengan segala kemampuan dan keterbatasan, kami berupaya mewujudkan dan
memberikan keadilan tersebut. Rasa sakit sering mendera karena kami
harus bekerja siang malam bahkan sampai dini hari untuk mempersembahkan
'keadilan', yang kami sadari pasti tidak selamanya memuaskan anda semua.

Di balik rutinitas kami dalam memberikan keadilan, ternyata mulai terasa
terpaan ketidakadilan kami rasakan. Status kami sebagai pejabat negara
ternyata tidak dihargai sebaik pejabat negara di lingkungan mereka,
eksekutif dan legislatif. Jangan tanyakan kepada kami kenapa kami tidak
cukup puas dengan pemberian dari negara kepada kami berupa fasilitas 1.
kedudukan protokoler, 2. rumah jabatan milik negara, 3. jaminan
kesehatan, 4. sarana transportasi milik negara; dan 5. jaminan keamanan
dalam melaksanakan tugas, karena kami memang tidak pernah mendapatkannya.

Bahkan hak mendasar kami pun berupa gaji bulanan, kami berat serahkan
kepada istri di rumah karena besaran gaji kami yang secukupnya apalagi
setelah dikurangi utang-utang ke bank. Pilu rasanya menyerahkan uang
lembaran ratusan ribu kepada istri yang seharusnya kami muliakan. Pilu
rasanya jika mereka sakit hanya bisa kami bekali kartu askes untuk
berobat di puskesmas. Pilu rasanya mengizinkan mereka untuk ke pegadaian
menggadaikan perhiasannya hanya untuk menutupi beban rumah tangga.

Padahal karena kamilah mereka terbawa ke daerah-daerah terpencil. Karena
kamilah mereka dijauhkan dari orang tua dan sanak saudaranya. Karena
kamilah mereka meradang di kejauhan ketika mendengar orang tuanya sakit.
Karena kamilah mereka tidak bisa melihat kubur sanak saudaranya. Karena
kamilah mereka merintih sendirian tanpa ada keluarga ketika melahirkan
anak-anak kami. Karena kamilah air mata ketakutan dan kecemasan mereka
meleleh ketika tahu kami dicaci, dimaki dan diancam karena kami memutus
tidak memuaskan semuanya. Akan tetapi kami ternyata belum mampu
memberikan balasan yang layak dan setimpal kepada mereka yang telah
berkorban untuk kami. Maafkan kami.

Ketidakadilan itu terus kami rasakan di keseharian. Ketika PNS naik
gaji, kami tidak karena kami pejabat negara. Ketika pejabat negara lain
mendapatkan fasilitas, kami cuma bisa memandang di kejauhan. Kami tahu
dan menyadari jangan memandang ke atas melihat pejabat negara eksekutif
dan legislatif. Kami hanyalah pejabat negara kelas ekonomi, terus dan
teruslah bekerja, itu yang kami coba lakukan. Kami tutup dalam-dalam
rasa tersakiti kami karena ketidakdilan tersebut. Karena kami sadar kami
diberi amanah jabatan hakim bukan untuk mudah berkeluh dan untuk mudah
berkesah. Kami sadar jabatan kami ini penuh dengan pengabdian meskipun
caci maki, fitnah, tekanan menerpa, kami tetap harus sadar bahwa kami
telah mengambil sumpah untuk menerima resiko pekerjaan seperti itu.

Akan tetapi, meski kami adalah korps yang sunyi, meski kami terikat kode
etik jabatan yang berpatron diam itu emas, tapi kami harus bicara. Kami
harus keluarkan apa yang kami rasakan, kami harus ungkapkan
ketidakadilan yang kami rasakan. Karena kami tidak mau lagi menyakiti
anak istri kami. Karena kediaman kami, nasib mereka tak tentu, karena
kediaman kami mereka tak mendapatkan kemuliaan hidup selayaknya istri
dan anak dari seorang hakim.

Maafkan kami, jika kami tidak ingin lagi melihat istri kami harus ikut
membanting tulang membantu menjalankan roda perekonomian keluarga.
Maafkan kami jika kami tidak ingin melihat mereka harus berjualan baju,
kue, menjajakan barang dagangan dari satu pintu ke pintu lain hanya
untuk menutupi kekurangan gaji bulanan kami. Maafkan kami jika kami
bersuara sekarang, meskipun kami dicap telmi dan menjual kemiskinan
untuk menyuarakan ketidakadilan ini. Kami terima, karena memang kami
terlalu banyak pertimbangan hanya untuk mengeluarkan ini.

Kami yang dituntut dan terbiasa berpikir dengan penuh pertimbangan,
harus memilih menyuarakan kesakitan kami ini. Kami menyadari pilihan
yang kami ambil akan sulit diterima oleh anda, masyarakat. Karena hal
yang musykil, hal-hal yang kami terima dan rasakan selama ini terjadi
pada seseorang berstatus hakim. Tidak mungkin ada ketidakmapanan dari
hakim, tidak mungkin negara kita yang merupakan negara hukum sengaja
atau lalai menyakiti hakim yang merupakan pilar dari negara hukum.

Kami bisa menerima sepenuhnya pernyataan dari anda, masyarakat. Jika
kami menyuarakan kesakitan ini hanya terbungkus kerakusan, kami bisa
menerima sepenuhnya pernyataan dari anda. Jika kami ini tidak etis dan
tidak mensyukuri penghasilan yang ada padahal masih banyak dari anda,
masyarakat, yang masih hidup jauh lebih sulit dibanding kami.

Kami bisa merasakan rasa kesakitan ANDA, ditengah kesulitan hidup ini
kami malah menyuarakan hal yang akan menyakiti anda. Karena anda dan
kami sama. Kita sering tersakiti dan kita sering merasakan
ketidakadilan. Karena kami sama dengan anda, tidak pandai berpolitik dan
tidak pandai memasang muka dua.

Maafkan kami jika hari ini, saat ini kami menuntut hak-hak mendasar
kami, hak-hak dasar yang seharusnya diterima oleh anak istri kami dari
negara, gaji bulanan dan fasilitas yang memang harus diberikan kepada
kami. Kami tidak menuntut yang bukan hak kami. Kami tidak menuntut untuk
studi banding ke luar negeri. Kami tidak menuntut untuk merenovasi WC
kami. Kami tidak menuntut untuk membangun secara fantastis tempat kerja
kami. Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami yang dimuat di UU,
yang dibuat oleh mereka, eksekutif dan legislatif.

Maafkan kami jika hari ini, saat ini kami meminta keadilan kepada negara
untuk mendudukkan kami sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
berwibawa. Maafkan kami jika permintaan keadillan kami ini menyakiti
anda, yang sebenarnya banyak yang lebih tidak beruntung dari kami.

Maafkan kami jika hanya untuk menyadarkan mereka bahwa kami ada dan
bermakna, kami harus berbuat seolah tidak mau melayani anda. Maafkan
kami jika kami harus bicara padahal seharusnya kami harus banyak duduk
diam dan banyak bekerja untuk membersihkan muka kami yang terkadang
dicap kotor oleh mereka.

Semoga apa yang kami suarakan nantinya bisa mengangkat kesakitan yang
anda rasakan karena kami bermaktub dalam hati, kami sering merasakan
ketidakadilan maka kami tidak akan menyakiti rasa keadilan anda. Semoga
kesakitan kami bisa menjadikan kami lebih peka dengan ketidakadilan.
Semoga kesakitan kami ini bisa memberikan arti lebih kepada anda,
memberikan kepada anda hakim yang agung, yang tidak memikirkan lagi
perut dan keselamatan anak istri kami ketika kami bekerja untuk anda.

*) Agus Prayudi adalah hakim Pengadilan Negeri Pangkajene, Sulawesi Selatan.

http://us.news.detik.com/read/2012/04/12/085911/1890546/103/surat-dari-yang-mulia-untuk-negara?n991103605

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.