Senin, 09 April 2012

[Koran-Digital] CAP : Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (3)

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (3)

Senin, 09 April 2012

Oleh: Dr. Adian Husaini

HARI Rabu (4/4/2012) dan Kamis (5/4/2012), saya diundang oleh dua
stasiun TV – yaitu Alif-TV dan Jak-TV untuk mendiskusikan tentang RUU
Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG). Dalam kedua forum tersebut,
saya dipanelkan dengan dua aktivis perempuan dan seorang anggota Komisi
VIII DPR RI. Ketiga perempuan mendukung RUU KKG. Sementara saya
memberikan opini yang berbeda. Memang, saya diundang untuk mengkritisi
RUU tersebut.

Di antara hasil dari dua diskusi tersebut, saya semakin paham, bahwa
paham Kesetaraan Gender memang bermasalah sejak konsep dasarnya. Inilah
yang tampaknya belum dipahami dan disetujui oleh para aktivis KKG. Dalam
sebuah diskusi dengan sejumlah pimpinan Organisasi Wanita Islam, ada
juga sebagian tokoh wanita Islam yang menyatakan, bahwa RUU KKG tersebut
tidak bertentangan dengan Islam.

Terhadap pernyataan itu, saya tunjukkan bukti definisi gender dari
naskah dari DPR RI yang beredar: "Gender adalah pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta
dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu
jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya." (pasal 1:1)

Sepintas, definisi semacam itu seolah-olah tampak biasa-biasa saja.
Padahal, jika dilihat dalam perspektif ajaran Islam, konsep gender dalam
draft RUU tersebut jelas-jelas keliru. Sebab, pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam bukanlah merupakan
hasil budaya, tetapi merupakan konsep wahyu. Ketika Rasulullah SAW
melarang seorang istri untuk keluar rumah karena dilarang suaminya –
meskipun untuk berziarah pada ayahnya yang meninggal dunia – larangan
Nabi itu bukanlah budaya Arab. Tetapi, itu merupakan ajaran Islam yang
berdasarkan kepada wahyu Allah.

Ketika Islam mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah, maka itu juga bukan konsep budaya Arab, tetapi konsep wahyu yang
diakui sepanjang sejarah Islam oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, yang
bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Inilah ciri Islam, sebagaimana
dikatakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai "the only
genuine revealed religion". Dan itu mudah dipahami, karena Nabi Muhammad
SAW adalah nabi terakhir yang diutus pada semua manusia sampai Hari
Akhir; berbeda dengan Nabi-nabi Bani Israel yang memang hanya diutus
untuk bangsa dan kurun waktu tertentu.

Karena itulah, dalam perspektif Islam, maka konsep pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan, bukanlah konsep budaya yang bisa
dipertukarkan. Tetapi, Islam memberikan keleluasaan antara suami-istri
untuk berbagi tugas dan saling tolong menolong diantara mereka untuk
menjalani kehidupan yang baik. Bisa saja suami mengasuh anak, dan
istrinya bekerja. Bisa saja suami tinggal di rumah, sementara istrinya
aktif berbisnis. Tetapi, yang penting, si istri menyadari statusnya
sebagai istri dan tetap menghormati suaminya sebagai pemimpin rumah tangga.

Karena itulah, dalam memilih suami, pilihlah yang mampu menjadi imam
yang baik. Sebab, memang laki-laki diberi amanah dan kewajiban yang
berat sebagai pemimpin.

Pembagian peran semacam ini – jika dijalankan dengan baik – akan membawa
kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan. Dalam hal ini, ada baiknya,
kita renungkan lagu berjudul 'Dunia Ini Panggung Sandiwara', yang
ditulis Taufiq Ismail tahun 1976, dan kemudian dipopulerkan oleh Ahmad
Albar :


Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah

Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan...

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, pembagian peran antara suami-istri
sudah terbiasa, dan biasanya tidak menjadi masalah, tanpa ada isu KKG
dan ketertindasan perempuan. Sejak zaman KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, perempuan sudah banyak aktif dalam organisasi Aisyiyah,
tanpa mengangkat isu ketertindasan perempuan dan kesetaraan gender.
Apalagi sampai menuntut persamaan dalam semua hal.

RUU KKG – sesuai draft yang sementara yang kita terima dari DPR –
mengandung sejumlah muatan yang seharusnya membuat perempuan berpikir
panjang untuk menerimanya. Misalnya, pasal 4 ayat 2 menyebutkan:
"perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30
% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative,
eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian,
lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di
tingkat daerah, nasional, regional dan internasional."

Inilah salah satu contoh cara berpikir aktivis KKG yang perlu dikritisi.
Mereka memandang, bahwa keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga
sosial dan politik dalam jumlah tertentu merupakan indikator kemajuan
perempuan. Targetnya adalah kesetaraan nominal 50:50 antara laki-laki
dan perempuan. Cara berpikir seperti ini tidak sesuai dengan fakta. Saat
ini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18 persen, lebih kecil
dari ketentuan Undang-undang yang mengharuskan 30%.

Angka 18% itu lumayan tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara lain
yang – biasanya dikatakan – lebih maju dari Indonesia. Misalnya, di AS
angkanya 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%, Malaysia 9,9%, Brazil 8,6%.
Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3%,
Nepal 33,2%, Tanzania 36%, dan Uganda 34,9%, Ethiopia 27,8%. (Sumber:
Women in Parliament (November 2011), http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).

Jika kita telaah, RUU KKG sangat kental dengan semangat
anti-diskriminasi. Bahkan, secara khusus diberikan definisi:
"Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas
dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki." (pasal 1:4).

Tetapi, anehnya, RUU ini juga sangat kental dengan semangat diskriminasi
terhadap laki-laki. Cobalah renungkan, sebenarnya kuota 30% bagi
perempuan dalam suatu lembaga, adalah bentuk diskriminasi terhadap
laki-laki, yang disahkan oleh UU. Itu fakta. Karena kuota tersebut, maka
keterwakilan perempuan harus 30%. Soal kualitas tidak dipentingkan.
Jadi, jika ada laki-laki yang berkualitas untuk suatu jabatan, tetapi
karena kuota untuk laki-laki sudah penuh, jaatan itu harus diserahkan
kepada perempuan yang kualitasnya lebih rendah. Yang penting, orang itu
perempuan, bukan laki-laki.

Jadi, diskriminasi ditukar dengan diskriminasi dalam bentuk lain. Kita
sulit membayangkan jika ketentuan semacam ini akan diperlakukan untuk
semua organisasi pemerintah dan non-pemerintah. Bagaimana dengan
organisasi perempuan? Apakah juga harus menampung kepengurusan laki-laki?

Karena itulah, bisa kita simak, RUU KKG ini keluar dengan landasan
berpikir yang keliru tentang "kemajuan perempuan". Seorang perempuan
cerdas dan berilmu tinggi yang memilih profesi sebagai Ibu Rumah Tangga
untuk mendidik anaknya secara langsung tidak dipandang sebagai bentuk
partisipasi dalam pembangunan. Itu tidak mengejutkan, karena kuota 30%
untuk perempuan biasanya disyaratkan oleh lembaga-lembaga internasional,
seperti UNDP, untuk mengucurkan bantuan ke Indonesia.

Dr. Ratna Megawangi, dalam penelitiannya, menemukan bahwa agenda feminis
mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan
kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus
sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah.
Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang
masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena
produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan
nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui
perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan anak.
(Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999).

Perspektif anatagonis semacam inilah yang senantiasa melihat laki-laki
dalam nuansa kecurigaan. Di kalangan Muslim, ini bisa dilihat dalam cara
pandang kaum feminis yang senantiasa melihat para mufassir atau fuqaha
dalam kacamata kecurigaan, bahwa mereka menafsirkan ayat-ayat al-Quran
atau hadits dalam kerangka melestarikan hegemoni atau kepentingan
laki-laki atas wanita. Para pendukung ide gender equality menolak
penafsiran yang bersifat tafadul, yang memberikan kelebihan kepada
laki-laki atas dasar jenis kelamin. Pada tahun 2003, sekelompok aktivis
dan ulama yang tergabung dalam Forum Kajian Kitab Kuning telah
menerbitkan satu buku bertajuk "Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah
Kitab 'Uqud al-Lujayn" yang memperjuangkan gender equality dan menolak
segala macam hukum yang mereka anggap bersifat diskriminatif terhadap
wanita. Menurut mereka, QS an-Nisa:34, harus diartikan, bahwa kelebihan
itu bukanlah karena jenis kelamin, tetapi karena prestasi yang dicapai
oleh setiap orang tanpa melihat jenis kelamin, apakah laki-laki atau
wanita. Menurut para pendukung ide kesetaraan gender ini, banyak ajaran
agama yang selama ini ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki,
sehingga merugikan wanita. (Lihat, M. Idrus Ramli (ed.), Menguak
Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3, Rabithah Ma'ahid Islamiyah Cabang
Pasuruan, Pasuruan, 2004. Buku yang ditulis para kyai muda NU Jawa Timur
ini dengan serius membongkar berbagai kekeliruan dan kepalsuan pendapat
aktivis "Kesetaraan Gender" yang tergabung dalam forum FK3.)

Cara berpikir antagonis dan seksis sangat kental dalam paham Kesetaraan
Gender. Sebutlah contoh, banyaknya lembaga perempuan yang mengekspose
data kekerasan terhadap perempuan. Kita tidak menolak, bahwa kekerasan
terhadap perempuan itu banyak terjadi. Tetapi, yang perlu kita lihat,
adalah kenapa kekerasan itu terjadi, sehingga bisa kita carikan
solusinya yang tepat. Misalnya, ada seorang suami yang memukul istrinya.
Lalu, si suami dilaporkan ke polisi sesuai dengan UU KDRT. Lalu,
muncullah berita: "Terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan!"

Memang benar, yang mengalami kekerasan adalah perempuan, dan yang
melakukan kekerasan adalah laki-laki. Tetapi, kasus itu terjadi, karena
si perempuan menyeleweng dengan laki-laki lain. Jadi, suami memukul
istrinya bukan karena istrinya adalah seorang perempuan, tetapi, karena
dia menyeleweng. Si suami memukul istri juga bukan karena kelelakiannya,
tetapi karena ia melihat kemunkaran besar yang dilakukan istrinya. Bisa
saja dianalisis dengan cara lain.

Misalnya, si istri kebetulan orang keturunan Cina. Si suami ketutunan
Arab. Orang yang ingin mengangkat isu ketertindasan kaum keturunan Cina
akan mengatakan: "Lagi-lagi, orang Cina dianiaya!"

Jadi, kita perlu berhati-hati memahami data kekerasan terhadap
perempuan, sehingga solusinya pun haruslah tepat. Cara berpikir seksis
ini bisa dilihat dalam banyak buku tentang Kesetaraan Gender. Sebuah
buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah (2004), mengkritisi sebuah buku pelajaran sekolah yang
menampilkan gambar pembangunan sebuah masjid, dimana semua tukangnya
adalah laki-laki. Gambar semacam itu, menurut buku ini, memberikan kesan
seolah-olah perempuan tidak bisa menjadi tukang.

Suatu hari ada aktivis organisasi wanita Islam ke rumah saya. Ia
bercerita, seorang temannya memberikan penilaian terhadap kajian saya,
bahwa cara berpikir Adian itu adalah cara berpikir laki-laki. Saya tidak
heran dengan komentar semacam itu. Karena memang begitulah yang
diajarkan dalam berbagai buku tentang KKG.

Contoh yang terkenal adalah Amina Wadud, seorang feminis. Ia menulis
buku berjudul Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's
Perspective (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Quran
menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001). Karena cara berpikir seksis
dan antagonis, para feminis sering menuduh para mufassir dan ulama fiqih
laki-laki telah menyusun tafsir dan kitab fiqih yang bias gender, sebab
mereka laki-laki.

Cara berpikir seksis dan antagonis semacam itu tentu saja sangat tidak
benar. Bisa saja sebagian pendapat ulama keliru. Tetapi menuduh mereka
memiliki motif jahat untuk menindas perempuan dan melestarikan hegemoni
laki-laki atas perempuan, merupakan kecurigaan yang bias gender pula.
Lagi pula, sepanjang sejarah, telah lahir ulama-ulama perempuan dalam
berbagai bidang. Pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat ulama
laki-laki.

Sebagai contoh, perempuan ulama fiqih terbesar, yakni Siti Aisyah r.a.,
tidak berbeda pendapatnya dengan pendapat para sahabat laki-laki dalam
berbagai masalah hukum yang kini digugat kaum feminis. Belum lama ini
telah terbit sebuah buku karya Sa'id Fayiz al-Dukhayyil, Mawsu'ah Fiqh
'Aisyah Umm al-Mu'minin, Hayatiha wa Fiqhiha, (Dar al-Nafes, Beirut,
1993), yang menghimpun pendapat-pendapat Siti Aisyah r.a. tentang
masalah fiqih. Hingga kini, ribuan ulama dan cendekiawan Muslimah tetap
masih aktif menentang ide-ide ekstrim dari para feminis dan aktivis KKG
yang terinspirasi atau terhegemoni oleh pandangan hidup sekular-liberal
atau Marxisme.

Menyimak fakta draft RUU KKG semacam ini, maka sangat masuk akal kita
berharap DPR menunda dulu pembahasannya. Tugas kita memberikan masukan
kepada para wakil kita dan mendoakan mereka agar senantiasa diberikan
bimbingan oleh Allah SWT untuk menetapi jalan yang lurus.*

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

http://www.hidayatullah.com/read/22115/09/04/2012/mengapa-kita-menolak-ruu-kesetaraan-gender-%283%29.html

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.