Selasa, 17 April 2012

[Koran-Digital] DINNA WISNU: Menjaga Hutan ASEAN

Menjaga Hutan ASEAN PDF Print
Wednesday, 18 April 2012
Penebangan hutan secara sembarangan,pengalihan fungsi lahan yang tidak
sesuai dengan rencana tata guna wilayah,keterlibatan mafia serta
ketidakberdayaan negara ketika berhadapan dengan perusahaan besar yang
ingin memperluas lahan usaha adalah "lagu lama".

Jika ditilik ke belakang, bahkan sejak awal 1980-an telah diidentifikasi
kadar keseriusan problem ini.Tidak hanya Indonesia yang berteriak soal
ini. Negara tetangga di ASEAN yang terbilang kaya akan hutan seperti
Filipina dan Malaysia juga menghadapi masalah serupa. Baru-baru ini
Malaysia dipusingkan dengan laporan penebangan hutan di kawasan Sarawak
meningkat pesat.

Tingkat penebangan hutan di Sarawak 3,5 kali lebih pesat dibandingkan di
seluruh negara Asia.Kepulauan Filipina dulu semuanya merupakan hutan dan
hutannya sekarang cuma tersisa 35%. Jadi, skala hilangnya hutan dan
fungsi-fungsi penunjang lingkungan hidup sangat memprihatinkan. Di
Amerika Latin dan Afrika pun penggundulan hutan merupakan masalah serius.

Menurut illegal-logging.info, di Nigeria dan Ghana hanya tersisa 10%
hutan dan di Honduras tinggal separuh. Harus disadari hilangnya hutan
ini terjadi bersamaan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan di negara-negara ini. Dengan membuka hutan,diharapkan ada
lahan pekerjaan yang tersedia bagi penduduk setempat, ada masyarakat dan
pebisnis yang mengecap untung, adapemerintahdaerahyangmenerima retribusi
dari perdagangan dan pengolahan hasil hutan, adapabrik-pabrikpengolahan
hasil hutan yang terbentuk sehingga terciptalah pembangunan.

Yang tidak diperhitungkan adalah skala keuntungan yang jauh lebih besar
jika pengelolaan hutan tadi tidak dilaporkankepadanegaradanjika
hasil-hasil hutan tadi diselundupkan. Dalam penelitian yang saya lakukan
bersama rekan- rekan Universitas Indonesia( 2010),adaoknummiliterdan
dinas kehutanan yang diuntungkan juga dari bisnis hitam ini. Yang
dihadapi di sini adalah masalah multidimensional. Pertama, pengelolaan
hutan yang salah.

Kedua, lemahnya penegakan hukum.Ketiga,menggiurkannya bisnis hitam di
bidang ini. Keempat, terjadinya kejahatan lintas batas negara dan yang
secara khusus ingin saya bahas kali ini adalah lemahnya skema kerja sama
antarnegara, khususnya di ASEAN, untuk mengatasi masalah itu. Pada 13
Agustus 1981 di Jakarta, pernah terbentuk konsensus antarnegara ASEAN
(di tataran menteri ekonomi) untuk membuat kebijakan kehutanan bersama
se-ASEAN.

Beberapa di antaranya disepakati adanya upaya bersama menjaga sumber
daya hutan, melakukan reboisasi, serta mengembangkan program, strategi,
dan rencana penggunaan lahan hutan yang ramah lingkungan, tetapi punya
nilai sosial ekonomi yang tinggi. Pada 1993, ada kesepakatan di tingkat
menteri untuk memadukan pengelolaan pangan, pertanian,dan kehutanan demi
menjaga pasokan pangan di kawasan ini, mendukung perdagangan
intra-ASEAN, mendorong pengembangan dan transfer teknologi,

mengembangkan komunitas desa, melibatkan sektor swasta dan investor,
mengelola sumber daya alam, serta memperkuat kerja sama ASEAN dalam
mengatasi masalah regional. Hal ini ditegaskan lagi dalam pertemuan
tingkat tinggi di Kuala Lumpur pada 15 Desember 1997. Dari
sana,terbentuklah Rencana Aksi Strategis untuk kerja sama
ASEANdibidangpangan,pertanian, dankehutanan(1999–2004 dan
2005–2010).Waktu itu dibentuklah kelompok kerja yang memantau kegiatan
di ASEAN, bahkan terbentuk pula ASEANAustralia Development Cooperation
Programme.

Tiap Rencana Aksi selalu didukung rekomendasi dan kesepakatan ulang
antarmenteri. Pada 6 Oktober 2011, muncul pernyataan pers dari temu
menteri ASEAN tentang pengelolaan hutan dan pertanian yang terpadu di
ASEAN. Ironisnya, sampai sekarang pun, meskipun sudah didukung
perjanjian yang demikian banyaknya, negara-negara ASEAN belum bisa
keluar dari kemelut problem hutan yang begitu pelik.

Berikut ini kenyataan yang luput dari penanganan di ASEAN. Pertama,
pemberantasan dan pembatasan pembalakan hutan menyangkut wewenang
internal tiap negara ASEAN; bahkan dalam banyak kasus menyangkut
wewenang pemerintah daerah.Dengan prinsip nonintervensi, ASEAN sulit
bergerak menegakkan komitmen itu, apalagi hal ini terkait pembersihan
sistem dari oknum busuk.

Kedua, skema-skema ASEAN masih terbatas pada inisiatif mengembangkan
sistem kerja bersama untuk mengelola hutan.Tidak ada upaya membahas
pengembangan bisnis bersama dari produk-produk hasil hutan. Padahal,
sudah bukan rahasia lagi bahwa penebangan hutan adalah bisnis yang
paling cepat mendatangkan untung dengan investasi yang sangat minim.
Apalagi setelah menebang hutan, lahannya masih bisa dipakai untuk
mendatangkan untung lain yang relatif cepat, yakni jika ditanami kelapa
sawit.

Kita tidak mungkin menahan naluri kapitalisme dengan imbauan moral.
Sadarilah bahwa pembukaan hutan tidak menjamin lapangan kerja yang
layak.Diplomasi di sektor ini sebaiknya tidak terpaku pada pengelolaan
kawasan hutan, tapi juga mengangkat pengembangan bisnis dari hasil-hasil
hutan. Harus ada upaya bersama untuk membangun sentrasentra usaha dan
unit bisnis yang meningkatkan nilai tambah produk hutan.

Misalnya dengan membangun pabrik kertas, pabrik mebel,pabrik sabun,
pabrik kosmetik dan produkproduk turunan sawit lainnya, yang punya
standar tinggi di ASEAN, ditopang lembaga penelitian yang mempekerjakan
peneliti dari berbagai negara di ASEAN dan dikelola seperti model
franchise di kawasan ASEAN. Kita harus mulai lebih berani berpikir bahwa
ASEAN memang satu.

Asal ada pembagian tugas tentang keahliankeahlian yang menopang usaha
bersama tersebut,semua negara di ASEAN pasti puas.
Ketiga,penangananhutanini tidak bisa hanya melibatkan satu atau dua
saja.Semua menteri yang relevan harus diundang untuk terlibat. Bahkan,
perlu dipikirkan mekanisme dialog antarpemerintah daerah di ASEAN.
Kenyataannya, dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi,ada pemilik
wewenang yang cenderung membangkang.

Maka, ajaklah mereka dan berilah ruang supaya dalam perjalanan
pengharmonisan kebijakan tidak menjadi penghambat. Contoh konkretnya
adalah ketika berbicara tentang konsep perdagangan karbon dan green
economy.Sampai sekarang pemerintah daerah menganggap kedua hal tersebut
isapan jempol belaka dan mereka tak punya bahan untuk menghadapi
penduduk yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan bagus bila
pembalakan diberantas dan perusahaan atau oknum pemerintah yang nakal
ditindak tegas. 

DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/487309/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.