Selasa, 10 April 2012

[Koran-Digital] DINNA WISNU: Tantangan Pelayanan Kesehatan

Tantangan Pelayanan Kesehatan PDF Print
Wednesday, 11 April 2012
Sejak 2004 telah disepakati oleh pimpinan negara- negara ASEAN bahwa
integrasi pelayanan sektor kesehatan merupakan prioritas integrasi
menuju komunitas ekonomi ASEAN.


Artinya bahwa ke depan ada agenda bagi 10 negara-negara Asia Tenggara
untuk melakukan harmonisasi dalam hal (1) standar pelayanan kesehatan,
(2) kebijakan terhadap perusahaan farmasi, (3) standar manajemen
industri bisnis di sektor kesehatan (yang mayoritas merupakan industri
kecil dan mikro), (4) model tata kelola oleh pejabat berwenang, serta
(5) standar keamanan produk- produk farmasinya (termasuk untuk produk
herbal).

Harmonisasi tersebut berarti dua hal.Pertama,keahlian yang dimiliki
Indonesia akan berhadapan dengan keahlian serupa dari negara-negara
tetangga. Para pelaku dunia kesehatan, baik itu pengusaha farmasi,
dokter, perawat, rumah sakit, maupun pembuat jamu akan dinilai
kualitasnya oleh konsumen di kawasan Asia Tenggara.Kompetisinya justru
bukan di tataran domestik, melainkan di tingkat regional.

Kedua,masyarakat Indonesia harus sudah bisa memanfaatkan pelayanan
kesehatan secara optimal. Idealnya dengan akses asuransi kesehatan yang
menyeluruh bagi semua warga negara. Jika tidak, penduduk Indonesia akan
termangu saja sementara penduduk negara lain di ASEAN menikmati akses
asuransi kesehatan yang memadai. Apakah Indonesia sudah siap? Pertama,
dari segi keahlian, standarmutupelayanandari rumah sakit,apotek,sampai
keamanan produk obat dan layanan masih perlu ditingkatkan.

Hal ini tentu dimaksudkan tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di
pelosok-pelosok Tanah Air. Kita bahkan belum bicara tentang standar
kenyamanan dalam mengakses pelayanan kesehatan (kenyamanan
fasilitas,antrean,digitalisasi data,dan lainnya),termasuk pelayanan yang
bebas rasa sakit. Kompetitor kita adalah Singapura, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Filipina dan Thailand termasuk yang gigih mengejar
ketertinggalan mereka di bidang ini.

Kedua, ketika menyoroti cakupan penduduk yang menikmati asuransi
kesehatan, akan jelas tergambar betapa menyedihkan kondisi Indonesia.
Katakanlah seluruh pegawai negeri, Polri, dan TNI punya asuransi
kesehatan,maka jumlahnya sekitar 6 juta orang. Ditambah dengan pegawai
swasta yang ikut program asuransi kesehatan Jamsostek, katakanlah 15
juta orang dan yang ikut program swasta 20 juta orang,maka total hanya
sekitar 56 juta orang yang punya akses jaminan kesehatan.

Wakil Menteri Kesehatan Prof Dr Ali Ghufron Mukti lebih optimistis. Ia
menghitung ada sekitar 117 juta penduduk Indonesia yang punya akses
asuransi kesehatan, termasuk 76 juta penduduk yang menerima kartu
Jamkesmas. Catatannya tentu bahwa para penerima kartu Jamkesmas ini
bersifat temporer saja. Kartu ini hanya berlaku jika ada alokasi dana
yang memadai dari pemerintah pusat.

Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia belum punya akses jaminan
kesehatan. Kita bisa belajar dari pengalaman Amerika Serikat,yang
relatif lebih kaya dan besar dibandingkan Indonesia. Amerika Serikat
sekarang sedang pusing karena sistem jaminan kesehatannya terancam
ambruk akibat hargapelayanankesehatanyang sangat mahal, padahal jumlah
orang yang tidak punya asuransi kesehatan makin banyak. Amerika Serikat
berangkat dari sudut pandang bahwa negara hanya fokus memikirkan yang
miskin.

Mereka yang dianggap tidak miskin diutamakan untuk punya pilihan sendiri
dalam membeli asuransi kesehatan pribadi. Problemnya,ketika perekonomian
negara secara makro memburuk,jumlah orang yang tidak sanggup membeli
asuransi kesehatan otomatis bertambah. Padahal negara terpaksa
mengetatkan anggaran belanja di bidang kesejahteraan. Akibatnya, sistem
jaminan kesehatannya menjadi tidak sehat lantaran jumlah yang mengklaim
sakit menjadi lebih banyak daripada yang membayar iuran.

Pada waktu yang sama, perusahaan-perusahaan asuransi memainkan harga
premi dan cakupan tunjangan karena persaingan antarmereka pun meningkat
pada saat krisis. Negara juga tak punya kendali atas harga pelayanan
kesehatan yang ditetapkan oleh dokter dan harga obat. Harga pendidikan
kedokteran juga telanjur membubung tinggi.Akibatnya, ketika negara
mewajibkan pembelian asuransi agar sistemnya rasio yang membayar iuran
dan pengklaim sehat lagi (yakni lewat program Obamacare), yang muncul
adalah protes yang meluas.

Presiden Obama yang demikian gigih mengawal reformasi sistem jaminan
kesehatan sekarang terpaksa tertekan terus.Popularitasnya menurun terus
hingga di bawah 50%. Padahal prestasi Obama untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan pada masa resesi
di Amerika Serikat tergolong baik. Itu semua sirna, tenggelam dalam
protes massa yang bersumber dari kesalahan pemerintah yang sejak awal
tidak punya kendali atas harga pelayanan kesehatan dan tidak menjamin
akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warganya.

Kini,ketika hal itu mau diperbaiki, buntutnya sudah terlalu panjang dan
rumit untuk dibenahi. Apakah Indonesia mau membiarkan problem semacam
ini merongrong di dalam negeri? Saat ini harga pelayanan kesehatan
secara umum tergolong mahal dan meningkat terus. Yang sakit harus
merogoh kocek paling tidak 80% dari harga pelayanan kesehatan. Untuk
penerima kartu Jamkesmas atau kartu Askes, bahkan tidak ada jaminan akan
dilayani jika mereka tidak membayarkan uang muka ke rumah sakit
tempatnya berobat.

Sudah ada sejumlah kasus getir di mana akhirnya pasien meninggal tanpa
ditemui dokter meskipun ia sudah mengantre di ruang tunggu rumah sakit.
Kalaupun pemerintah menambah jumlah kartu Jamkesmas, kapasitas tempat
tidur di rumah sakit dan jumlah dokter yang bisa menangani kasuskasus
penyakit tidaklah memadai. Ada daerah-daerah tertentu yang tidak punya
fasilitas kesehatan yang memadai.

Di Jakarta saja kasus-kasus penyakit berat akhirnya menumpuk
pelayanannya di RS Cipto Mangunkusumo. Tambahan lagi, jika di Amerika
Serikat ada Partai Demokrat dan Presiden Obama yang berani
memperjuangkan inisiatif reformasi itu secara matimatian, siapakah di
Indonesia ini yang terbuka mendorong perubahan itu di antara kalangan
eksekutif? Tidak jelas pembagian kewenangannya untuk membenahi hal-hal
yang tadi disebut di atas karena jelas itu bukan hanya pekerjaan rumah
Kementerian Kesehatan.

Suka ataupun tidak negara bertanggung jawab atas derajat kesehatan
penduduknya. Ketika rata-rata penduduknya kekurangan gizi,tidak sanggup
membayar biaya kesehatan, atau meninggal tanpa sempat merasakan
perawatan medis, indikator pelayanan publik khususnya bidang kesehatan
di negara tersebut akan disorot oleh negara lain.Pertumbuhan ekonomi
yang menjanjikan atau pendapatan per kapita yang tinggi akan sia-sia
jika banyak penduduk yang tidak sanggup menikmati pelayanan kesehatan
yang layak.

Jika Indonesia tidak ingin telanjur babak belur memperbaiki sistem
jaminan kesehatannya padahal dari tatanan regional "dipaksa pula" untuk
menyesuaikan diri dengan standar regional, pekerjaan rumah itu harus
dikerjakan dari sekarang. ● DINNA WISNU PHD Direktur Pascasarjana Bidang
Diplomasi Universitas Paramadina

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485477/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.