Selasa, 17 April 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Nada Sumbang Orkestra Koalisi

Jangan asyik mengejar standing applause di atas panggung musik politik."

KOALISI partai politik pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono itu ibarat orkestra musik.
Harmonisasi nada dari alat-alat musik berbeda tercipta karena pemain tunduk pada komando konduktor.

Yudhoyono ialah konduktor enam partai anggota koalisi.
Sayangnya, orkestra musik bernama sekretariat gabungan (setgab) hanya menghasilkan nada sumbang yang tidak enak didengar dan tak layak ditonton.

Ada dua penyebab nada sumbang koalisi. Pertama, anggota koalisi menonjolkan ideologi partai masing-masing. Kedua, konduktor kehilangan wibawa sehingga perintahnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Pemerintahan Yudhoyono-Boediono semula didukung enam partai politik yang memiliki 423 kursi di DPR atau 75,53% dari total 560 kursi DPR.

Mestinya pemerintahan saat ini sangat kuat dan berani mengambil kebijakan publik yang sensitif dan kontroversial sekalipun seperti menaikkan harga BBM.

Namun, koalisi yang dibangun bukan antara partai yang se haluan. Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB yang berbeda ideologi itu tanpa malu, malah memalukan, mengaku terikat dalam koalisi, tetapi nyatanya memiliki agenda politik masing-masing dengan basis ideologi masingmasing pula. Itulah koalisi yang menyatukan air dan minyak.

Bukan sekali dua kali orkestra setgab menghasilkan nada sumbang. Golkar dan PKS sering tampil di luar kebijakan setgab. Namun, sejauh ini, hanya PKS yang ditendang dari koalisi terkait dengan kebijakan penaikan harga BBM.

Tanpa PKS, koalisi memang tetap mayoritas, yaitu menguasai 65,35% kursi di DPR. Bahkan, tanpa PKS dan Golkar sesungguhnya koalisi tetap kuat karena menguasai 51,10% parlemen.

Namun, pemerintahan SBY-Boediono tidak percaya diri walau terpilih dengan dukungan 60,8% suara. Itu tampak ketika ada upaya merangkul Partai Gerindra dan Hanura agar menguasai 73,03% parlemen.

Upaya itu bisa dibaca sebagai politik penyanderaan. Dua partai itu dirangkul, tapi kader PKS di kabinet tak kunjung dicopot.

Berkembang spekulasi dalam masyarakat bahwa Gerindra dan Hanura dirangkul agar PKS segera menarik diri dari kabinet secara sukarela. Menteri asal PKS tidak dicopot karena khawatir dicap sebagai kacang lupa kulit. Bukankah PKS berkeringat dalam Pilpres 2009?
Setelah upaya merangkul Gerindra dan Hanura bertepuk sebelah tangan, dimainkan lagi politik penyanderaan lainnya, yaitu mengucilkan menteri asal PKS dari rapat kabinet.
Harapannya tentu saja agar menteri asal PKS tahu diri lalu mundur.

Sebaliknya, PKS juga memainkan jurus politik sandera.
Sejak dinyatakan didepak dari koalisi pada 3 April, PKS tak kunjung mundur, apalagi menarik tiga kader mereka dari kabinet.

Sampai kapan bangsa ini disuguhi orkestra bernada sumbang? Alih-alih menguatkan pemerintahan, koalisi telah menjadi bagian persoalan.

Konduktor seharusnya bertanggung jawab atas keselarasan nada partai pendukung. Jangan asyik mengejar standing applause di atas panggung musik politik.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/18/ArticleHtmls/EDITORIAL-Nada-Sumbang-Orkestra-Koalisi-18042012001020.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.