Kamis, 12 April 2012

[Koran-Digital] Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta

BUKU

Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta

Revolusi bukan hanya menjatuhkan banyak korban tapi juga mengangkat para
garong sebagai raja lokal.
OLEH: HENDI JOHARI/PEMERHATI SEJARAH

JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya.
Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk
rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain
merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang
saudaranya, Hendrick Tholense.

Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah
saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi
tawanan para pemuda. "Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai
celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami
digiring ke Stasiun Depok Lama," ujar perempuan kelahiran Bandung,
hampir 76 tahun lalu.

Kisah pilu Jeanette merupakan salah satu serpihan sejarah yang
diceritakan kembali oleh Wenri Wanhar dalam buku ini. Berbekal wawancara
dan dokumen Arsip Nasional, jurnalis muda tersebut seolah memanggil
kembali masa lalu yang selama ini terpendam. Buku ini merupakan laporan
jurnalistik, diperkaya dengan foto-foto masa lalu dan sekarang, yang
mencoba mengungkap kompleksitas permasalahan semasa revolusi 1945-1949.

Selain keberadaan para budak salah satu pejabat VOC bernama Cornelis
Chastelein tersebut, Gedoran Depok juga merekam sepakterjang beberapa
milisi rakyat (laskar) dan kehidupan para jagoan Depok saat revolusi.
Sebut saja nama Sengkud, Muhidin, Nail, Tole Iskandar, dan Margonda
–nama terakhir disematkan pada jalan protokol di Depok saat ini.

Para preman tempo dulu, yang disebut sejarawan Robert Cribb sebagai
"kaum revolusioner", hidup bak raja lokal yang bisa menentukan
hidup-mati seseorang. Sengkud dari Barisan Bamboe Roentjing (BBR)
misalnya, dikenal sebagai penjahat kambuhan yang lihai berkelahi dan
raja tega. Dia bahkan tega membunuh wakilnya, Muhidin, hanya karena soal
kekuasaan dan perempuan.

Kebijakan Kabinet Hatta tentang Restrukturisasi dan Rasionalisasi
(Re-Ra) Tentara pada Februari 1948, untuk mengefesienkan angkatan
perang, memaksa para tenaga milisi (laskar) kembali sebagai masyarakat
biasa. Hatta menginginkan mereka bisa menjadi tenaga produktif di
sektor-sektor selain pertahanan. Alih-alih disambut baik, kebijakan
tersebut ditentang keras oleh para laskar, termasuk BBR. Bagi mereka,
kembali menjadi petani, buruh, dan guru adalah sesuatu yang "hina",
sementara menjadi "kaum bersenjata" adalah puncak pengabdian.

Pada 11 Oktober 1949, BBR secara resmi menyatakan perlawanannya terhadap
pemerintah. Mereka memproklamasikan diri pisah dari Tentara Nasional
Indonesia dan mengklaim organisasi mereka sebagai tentara rakyat.
Terjadilah clash antara pasukan pemerintah (tentara dan polisi) melawan
laskar. Tentu saja yang menjadi korban adalah rakyat biasa.

Sejak itu pula BBR berlaku bak gerombolan liar. Kerjaannya jika tidak
memeras ya merampok harta "rakyat" –mereka yang dianggap propemerintah.
Adung Sakam, salah satu pelaku sejarah di Depok, bahkan menyebut BBR
sebagai gerombolan garong. "Gerombolan BBR itu kan tempat bersatunya
preman, jawara, garong dengan kaum nasionalis revolusioner," katanya.

Sebagai sebuah buku yang membahas sejarah lokal kota di selatan Jakarta
tersebut, Gedoran Depok bisa dikatakan laik dibaca, terutama bagi
penduduk Depok yang mungkin tak memiliki ikatan historis dengan kotanya.
Penyajianya yang penuh detail dan dialog human interest menjadikan buku
ini asyik untuk dinikmati

http://historia.co.id/artikel/4/1004/Majalah-Historia/Gejolak_Revolusi_di_Selatan_Jakarta

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.