Kamis, 12 April 2012

[Koran-Digital] J. Sumardianta: Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional

Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional
J. Sumardianta, GURU, BERMUKIM DI JOGJA

Seekor kodok normal, sehat, dan lincah ditaruh dalam panci berisi air
bersih. Panci kemudian dipanasi dengan suhu sedikit demi sedikit
dinaikkan. Kodok tidak merasakan adanya perubahan. Kodok mati terebus
tanpa reaksi apa pun saat air mendidih. Kodok lain, yang langsung
dicemplungkan ke dalam panci berisi air panas, spontan dengan gerakan
beringas melompat keluar menyelamatkan diri. Fenomena kodok rebus adalah
metafora bagi bangsa Indonesia yang tidak mampu membaca dan menanggapi
betapa bobroknya sistem persekolahan.

Kontroversi sepanjang masa ujian nasional (UN) dalam sistem pendidikan
nasional merupakan fenomena kodok rebus.

Pelajar dan guru di Indonesia telah lama menjadi kodok rebus. Mereka
merupakan tipikal masyarakat yang ulet menderita berkat kebijakan
sontoloyo pemerintahnya. Departemen Pendidikan mengkondisikan sedemikian
rupa hingga murid dan guru tidak berdaya. Status quo UN terusmenerus
dirawat dan dijaga kelangsungannya, kendati semrawut dalam praktek dan
menyesatkan secara paradigmatik.

UN berseberangan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP
memberikan kewenangan kepada guru untuk mengkreasikan kurikulum agar
selaras dengan konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan tempat sekolah
berada. Spirit KTSP adalah multikultural, demokratis, dan
desentralisasi. Sebaliknya, semangat UN sentralistik dan monokultural.

Pluralisme KTSP diperkurus asas tunggal standardisasi nilai UN sebagai
penentu kelulusan. Sejak 2011, proporsi nilai UN dibandingkan dengan
nilai sekolah adalah 60 : 40. Perbandingan yang timpang dan tidak adil.
UN yang hanya sekali menguji sebagian mata pelajaran diberi porsi besar.
Nilai sekolah yang komprehensif dari nilai rapor, ujian praktek, dan
ujian sekolah diberi jatah kecil. Soal UN, yang seluruhnya berbentuk
pilihan ganda, merupakan produk mental primitif. Proses mengingat dengan
gradasi kualitas mental paling rendah.

Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan bertentangan dengan dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 58 UU SPN
memberikan kewenangan kepada pendidik untuk mengevaluasi hasil belajar
peserta didik. Pasal 67 PP No.

19/2005 memberikan otoritas kepada Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) untuk menyelenggarakan UN yang harus di

ikuti semua peserta didik. Ibarat petani, guru dan sekolahlah yang
menabur benih, merawat, memupuk, dan menyiangi tanaman.
Tapi, saat panen tiba, pemerintahlah yang menjarah hasilnya.Tampak jelas
mentalitas serakah birokrasi penyelenggara UN.

Nilai UN, bagi pelajar SMA, adalah mubazir, tidak memiliki fungsi
sertifikasi. Tidak bisa dipakai sama sekali buat masuk perguruan tinggi
negeri. Lulusan SMA yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi
negeri mesti menjalani tes seleksi nasional masuk perguruan tinggi
negeri (SNMPTN). Bagi yang masuk melalui jalur undangan, seleksi
didasari nilai rapor semester I sampai V yang dilaksanakan sebelum UN
berlangsung.

Bagi pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK), UN juga kontraproduktif.
Saat mereka mencari kerja, yang diverifikasi bukan nilai UN. Perusahaan
hanya mengkonfirmasi kecakapan keras dan lunak mereka dalam permesinan,
elektronika, bangunan, pertambangan, pengolahan makanan, peternakan,
perikanan, dan pertanian, UN justru merecoki pelajar yang hendak meraih
kompetensi. Pelajar SMK, memasuki kelas XII, konsentrasinya terpacak
pada persiapan UN yang teoretis konseptual, bukan praktek vokasional.

UN merupakan tes sumatif yang bertujuan mengevaluasi kemampuan akhir
pelajar setelah menjalani proses pembelajaran panjang di setiap satuan
pendidikan.
SNMPTN merupakan tes prediksi untuk menakar kemampuan kognitif pelajar
guna mengantisipasi kemampuan calon mahasiswa. Fungsi UN dan SNMPTN
berbeda. Tak bisa sembarangan dicampuradukkan.

UN bercorak evaluasi. Evaluasi hakikatnya bertujuan memperbaiki desain
dan kualitas pembelajaran. Evaluasi berbeda dengan ujian yang bertujuan
menentukan kelulusan. Itulah anomali UN: tumpangtindih kepentingan dan
kerancuan evaluasi

dengan testing. Otoritas penyelenggara UN mengalami sesat pikir--tidak
bisa memahami perbedaan mendasar evaluasi dan ujian dalam assessment.

Birokrasi pemerintahan Indonesia bukan tempat pangreh praja bekerja
dilambari budaya mengakui kekeliruan. Bukan birokrat yang bekerja dengan
motivasi untuk mengabdi dan melayani. Birokrasi yang secara defensif
terpacak kaku (egoistik) dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sendiri.
Bukan birokrasi altruis yang ikhlas melepas dan memberi. Motivasi mereka
adalah mencari nafkah dan memoles karier.
Bisa dibayangkan, ribuan birokrat kementerian pendidikan dasar dan
menengah bakal tersapu puting beliung saat kehilangan pekerjaan dan
jabatan, bila UN ditiadakan.
Di balik UN juga terselip kepentingan birokrasi pemungut rente ekonomi.

Birokrasi beradab adalah birokrasi yang bermental menang-menang. Bukan
birokrasi yang terus memaksakan kehendak dengan memadamkan selera
belajar generasi mudanya. Seperti ungkapan bijak Mahatma Gandhi,"Jalan
terbaik menemukan esensi birokrasi adalah hilangnya kepentingan birokrat
dengan fokus melayani." Kepentingan ribuan pegawai negeri boleh tetap
jalan. Tapi nasib jutaan pelajar juga harus diselamatkan dari mekanisme
kodok rebus. Kebijakan UN mesti dikembalikan fungsi alamiahnya sebagai
alat evaluasi, bukan ujian penentu kelulusan. Evaluasi berbeda dengan
ujian yang bertujuan menentukan kelulusan. Itulah anomali UN:
tumpang-tindih kepentingan dan kerancuan evaluasi dengan testing.
Otoritas penyelenggara UN mengalami sesat pikir--tidak bisa memahami
perbedaan men dasar evaluasi dan ujian dalam assessment.

http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/04/13/ArticleHtmls/Fenomena-Kodok-Rebus-Ujian-Nasional-13042012011010.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.