Senin, 16 April 2012

[Koran-Digital] JEFFRIE GEOVANIE: Gagalnya Penyederhanaan Parpol

Gagalnya Penyederhanaan Parpol PDF Print
Tuesday, 17 April 2012
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat,Kamis (12/4/2012) antara lain
menyetujui Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD untuk disahkan
pemerintah.

Perubahan yang paling banyak menyulut perdebatan dan menyita perhatian
publik adalah ketentuan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) yang akhirnya disepakati 3,5% dan berlaku secara nasional.
Naik 1% dibandingkan ketentuan sebelumnya.

Sementara ketentuan-ketentuan lain yang juga krusial pada umumnya
seperti yang diterapkan pada Pemilu 2009 di antaranya sistem
proporsional terbuka, alokasi jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan
untuk DPR sebanyak 3-10 kursi dan DPRD 3-12 kursi, serta metode
penghitungan suara atau konversi suara menjadi kursi dengan sistem kuota
murni (hare quote).

Banyak kalangan menilai, UU Pemilu yang baru ini masih jauh dari
sempurna dan kurang aspiratif karena PT ditetapkan secara nasional akan
meniscayakan hilangnya ribuan atau bahkan jutaan suara pemilih, juga
gagal menjadi alat yang efektif untuk menyederhanakan partai politik.

Keniscayaan Penyederhanaan Parpol

Setelah proses transisi yang sudah terjadi sejak Mei 1998, hal yang
harus dilakukan adalah proses pelembagaan politik. Semua lembaga politik
harus diorientasikan untuk mendukung penguatan pelembagaan
demokratisasi. Di antara lembaga-lembaga politik yang paling memiliki
peran strategis adalah partai politik (parpol).

Parpol yang secara kelembagaan berwenang mengajukan nama-nama kandidat
yang hendak menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga
demokrasi. Parpol bahkan berhak mengajukan kader-kadernya duduk di
lembaga legislatif (DPR), eksekutif (presiden-wakil presiden, kepala
daerahwakil kepala daerah), dan yudikatif (sebagian hakim konstitusi).

Karena peranannya yang sangat strategis itu,kehidupan kepartaian harus
ditata agar selaras dengan semangat pelembagaan demokratisasi.Penataan
yang dimaksud bukan untuk membatasi hak warga negara untuk berserikat
dan berkumpul sebagaimana ketentuan konstitusi, melainkan untuk
menerapkan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi parpol agar bisa
mengikuti pemilu.

Penerapan syaratsyarat itu antara lain untuk membatasi jumlah parpol.
Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah parpol yang berhak
mengikuti pemilu masih terlalu banyak. Karena banyak parpol yang harus
dipilih, selain membingungkan, pilihan rakyat juga menjadi terpencar-
pencar ke dalam banyak parpol sehingga tak ada satu pun yang berhasil
mendapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50%).

Karena banyak partai yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPR,
lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan
tingkat multipolaritas yang tinggi. Padahal pemerintahan kita menganut
sistem presidensial yang artinya kepala pemerintahan berada di tangan
presiden yang meniscayakan presiden mampu meredam, atau setidak-tidaknya
mengimbangi kekuatan DPR agar pemerintahan bisa berjalan efektif.

Sejatinya, untuk mengefektifkan jalan pemerintahan, Presiden diberi
sejumlah hak prerogatif sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.Tetapi
setelah dilakukan amendemen konstitusi, ada beberapa hak prerogatif yang
hanya bisa ditempuh dengan pertimbangan atau persetujuan DPR. Untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri yang secara mutlak menjadi
kewenangan Presiden pun pada faktanya banyak menteri yang harus diangkat
atau diberhentikan dengan persetujuan pimpinan parpol.

Karena multipolarisasi kekuatan parpol di DPR, dalam menjalankan
pemerintahan Presiden harus berkoalisi dengan sejumlah parpol untuk
memenuhi kebutuhan suara mayoritas. Tetapi, meskipun koalisi sudah
dibangun, pada praktiknya masih ada parpol anggota koalisi yang tidak
patuh dan menghambat laju pemerintahan.

Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang paling realistis
adalah menaikkan PT untuk menyederhanakan (memperkecil) jumlah parpol
dan—yang lebih penting— untuk membuka peluang lahirnya parpol peraih
suara mayoritas yang mendukung Presiden. Dengan demikian, Presiden tidak
perlu lagi tersandera dalam koalisi.

Implikasi Kegagalan

Dengan menetapkan PT 3,5%,upaya untuk menyederhanakan parpol tidak
terpenuhi. Pengalaman tiga pemilu (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan,
masih cukup banyak parpol yang meraih suara di atas 3,5%. Apa implikasi
dari kegagalan penyederhanaan parpol ini? Pertama, jelas pasca-Pemilu
2014 lembaga legislatif masih akan tetap dipenuhi para politikus yang
berasal dari beragam parpol.

Artinya akan tetap terjadi multipolarisasi yang sarat perdebatan (tanpa
ujung) dalam setiap pembahasan RUU atau tugas-tugas lainnya.
Kedua,Presiden akan tetap tersandera oleh kekuatan-kekuatan parpol yang
ada di lembaga legislatif. Presiden akan "dipaksa" untuk tetap membangun
koalisi yang dalam praktiknya sarat dengan tawarmenawar politik yang
cenderung mengabaikan etika dan kesantunan dalam berpolitik.

Ketiga, konsolidasi internal parpol juga akan terhambat dengan penetapan
PT yang rendah karena peluang untuk berdirinya parpol-parpol baru yang
memungkinkan ikut pemilu tetap terbuka lebar. Berbeda misalnya jika PT
ditetapkan 5-10%, siapa pun yang akan mendirikan parpol baru (terutama
yang disebabkan karena kecewa terhadap partai-partai yang ada) akan
berpikir seribu kali. Dengan tidak mudahnya mendirikan parpol baru
(untuk ikut pemilu), sumber daya para politisi akan terfokus pada
upaya-upaya untuk memperbaiki parpol yang sudah ada.●

JEFFRIE GEOVANIE
Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/486962/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.