Senin, 02 April 2012

[Koran-Digital] Pembunuh Global Bernama Polusi Udara

Polusi udara akan menjadi penyebab terbesar kematian akibat masalah lingkungan pada 2050. RP4,3 TRI LIUN.

EPULAN asap kendaraan memang bukan pemandangan asing di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Namun, sudah saatnya kita lebih wawas diri akan bahaya polusi udara.

Laporan Organisasi Internasional untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang dilansir Maret 2012 menyebutkan polusi udara akan menjadi penyebab terbesar kematian. Sebagaimana dikutip situs http://www.guardian.co.uk, organisasi yang berpusat di Paris, Prancis, itu menyatakan pada 2050 akan ada sekitar 3,6 juta orang/ tahun yang mati lebih cepat akibat polusi udara.

Angka itu melebihi kematian akibat masalah lingkungan lain seperti sanitasi yang buruk dan krisis air bersih. Orang tua akan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ber

bagai penyakit akibat polusi udara, sedangkan negara-negara berkembang seperti China dan India menjadi tempat dengan kasus paling tinggi.

Hal itu terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan akan konsumsi energi, khususnya di sektor transportasi.

Sebab itu, OECD mengingatkan agar pemerintah di berbagai negara segera membuat kebijakan energi yang lebih efi sien dan ramah lingkungan.

Direktur Lingkungan OECD Simon Upton mengatakan bahan bakar yang menghasilkan emisi rumah kaca dan yang mengandung partikel berbahaya harus dikurangi. Pemerintah seharusnya menghapus subsidi yang mendorong penggunaan bahan bakar fosil.

Di China, imbauan langsung ke masyarakat telah dilakukan.

Namun, sesuai dengan latar belakang para penggeraknya imbauan itu berangkat dari sisi kesehatan.

Presiden Asosiasi Kedok

teran China, Zhong Nanshan, menyarankan penduduk Kota Beijing untuk mengenakan masker dan tidak berolahraga pada hari-hari dengan tingkat polusi sangat tinggi.

Beijing dan kota-kota besar lainnya dipercaya telah mengalami tingkat polusi udara yang mencengangkan selama lebih dari satu dekade. Namun, pemerintah China enggan untuk menyelidiki dan terbuka dalam mengungkapkan konsekuensi medianya.

“Polusi udara semakin parah dan lebih buruk di China. Namun, data pemerintah menunjukkan hal yang sebaliknya.
Orang tidak percaya itu,“ kata Zhong. “Jika pemerintah mengabaikan masalah ini, akan menjadi masalah kesehatan terbesar yang dihadapi China,“ tambahnya.
Rugi Rp38 triliun Meski OECD tidak menyebut Indonesia dan Jakarta secara khusus, ancaman polusi udara juga nyata di Tanah Air.
“Kita sendiri sudah sejak 15 tahun lalu memperkirakan suatu saat masyarakat Jakarta mengalami kematian dini akibat polusi udara,“ kata Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, kemarin.

Ahmad menjelaskan selain menyebabkan kematian, kualitas udara yang buruk membuat warga Jakarta rugi materi. Berdasarkan studi yang dilakukan KPBB pada 1998, uang yang harus dikeluarkan warga Jakarta akibat sakit dan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mencapai Rp1,8 triliun.

Jumlah yang sudah lebih dari setengah APBD DKI Jakarta pada masa tersebut pun diperkirakan terus naik. Berdasarkan studi lanjutan pada 2002, KPBB memperkirakan pada 2015 kerugian yang harus ditanggung akibat masalah yang sama mencapai Rp4,3 triliun. “Namun, jumlah itu pun sudah pasti dilampaui karena berdasar survei pada 2010 uang harus dikeluarkan warga Jakarta akibat sakit dan penyakit ISPA sudah Rp7 triliun-Rp38 triliun,“ tukasnya.

Survei tersebut dikatakan Ahmad dilakukan di lima rumah sakit besar di DKI Jakarta dan dikumpulkan dari data pasien yang mengalami sakit atau penyakit yang terkait dengan masalah udara. “Jadi, perkiraan 2015 sudah pasti harus dikoreksi,“ tambahnya.

Ironisnya, Pemprov DKI Jakarta tampak masih belum serius menangani permasalahan buruknya udara. Hal itu bisa dilihat dari jumlah stasiun pemantauan kualitas udara yang jauh dari ideal. Ahmad mengatakan dari semestinya memiliki 15-26 stasiun pemantau kualitas udara, Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki tiga. Tidak mengherankan jika bagaimana sebenarnya kualitas udara Ibu Kota pun tidak diketahui.
Car free day bukan solusi Sejurus dengan desakan OECD, Ahmad juga menyatakan butuh suatu sistem yang matang untuk memperbaiki kualitas udara, dalam hal ini Jakarta. Aksi simbolis seperti car free day atau hari bebas kendaraan bermotor jauh dari cukup untuk menurunkan polusi.

“Car free day itu sebenarnya hanya bisa untuk mentriger (memicu) masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. Bukan untuk menurunkan polusi. Kita sangat tahu karena usulnya kan dari kita juga,“ tutur Ahmad.

Sebab itu, ketika Pemprov Jakarta mengklaim car free day menurunkan tingkat polusi sesungguhnya terjadi sebuah kekeliruan besar.
Menurut Ahmad, itu bisa dibuktikan dengan naiknya polusi udara di daerah sekitar tempat yang digunakan untuk car free day.

Ahmad mengatakan KPBB kini membuat sebuah pemodelan kualitas udara, termasuk kebiasaan moda transportasi di daerah-daerah terkait. Beberapa daerah yang sedang diriset ialah tempat dengan tingkat kendaraan tinggi dan kawasan industri, di antaranya daerah Sudirman-Thamrin, Grogol, Pulo Gadung, dan Tanjung Priok.

Dari situ diharapkan bisa dibuat suatu sistem transportasi massal yang bisa menurunkan tingkat polusi udara.
“Kita bertekad segera menyelesaikan ini dan dalam lima tahun bisa diterapkan pemda,“ tutur pria yang juga menjadi anggota Clean Air Initiative, yakni organisasi gabungan pemerintah Indonesia, LSM, dan negara-negara lain untuk mendorong perbaikan udara Jakarta. (*/M-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/03/ArticleHtmls/Pembunuh-Global-Bernama-Polusi-Udara-03042012010002.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.