Kamis, 12 April 2012

[Koran-Digital] W RIAWAN TJANDRA: Reformiskah PTUN?

Reformiskah PTUN? PDF Print
Friday, 13 April 2012
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan
gugatan tujuh narapidana korupsi yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio
Hardiwibowo Suhardiman, Mulyono Subroto,Hesti Andi Tjahyanto, Agus
Wijayanto Legowo, Ibrahim, dan Hengky Baramuli menimbulkan kontroversi
publik.

Pengabulan gugatan tujuh narapidana korupsi tersebut berarti PTUN telah
membenarkan dalil-dalil dari tujuh terpidana korupsi yang menggugat
keputusan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat menkum dan HAM
karena dinilai tidak sesuai dengan UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Isu tersebut dan kontroversi terhadap penanganan
kasuskasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh elite partai penguasa di
negeri ini kian larut di antara ingar-bingar isu kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM).

Peradilan tata usaha negara dalam sistem negara hukum yang bercorak
Eropa Kontinental dinisbatkan sebagai salah satu pilar utama yang
menopang eksistensi negara hukum, di samping perlindungan HAM, pembagian
kekuasaan negara (separation of power), dan pemerintahan yang
dilaksanakan menurut hukum.

Berbagai putusan PTUN selama ini terlihat belum banyak menjadi rujukan
dalam membangun sistem pemerintahan yang baik sehingga PTUN di negeri
ini belum mampu mengikuti jejak PTUN pendahulunya yang menjadi faktor
sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip negara hukum di berbagai
negara di Eropa seperti di Prancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya.

Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 5 Tahun 1986 jis UU No 9
Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009),dua alasan bagi PTUN untuk menilai
sah atau tidaknya sebuah keputusan pemerintah adalah: Pertama,keputusan
tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan pemerintah bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedua, keputusan tata usaha
negara (KTUN) yang dikeluarkan pemerintah bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration).

Jika mencermati alasan pembatalan yang digunakan oleh PTUN Jakarta
terhadap keputusan pengetatan remisi menteri hukum dan HAM sekilas
memang seakan-akan dapat diterima berdasarkan alasan pertama bagi
pengujian suatu KTUN oleh hakim tata usaha negara. KTUN yang dikeluarkan
oleh menteri hukum dan HAM dinilai bertentangan dengan UU No 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.

Namun, jika ditinjau dari alasan penilaian keabsahan KTUN kedua yaitu
bahwa pertimbangan putusan/vonis di PTUN harus didasarkan dan senantiasa
diorientasikan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good
administration), putusan PTUN tersebut bermasalah secara etis, moral,
dan sosial.

PTUN tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat dan secara kaku
(rigid) tidak mempertimbangkan ada kesenjangan konsiderasi dan materi
muatan UU No 12 Tahun 1995 dengan kebutuhan sosial saat ini untuk
mengefektifkan langkah-langkah pemberantasan korupsi dalam rangka
mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (the principles of
good administration).

Salah satu dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang selama ini
cukup banyak dianut oleh banyak peradilan administrasi di Eropa maupun
putusan-putusan PTUN di Indonesia sebelumnya adalah asas kecermatan (the
principle of carefulness) dan asas menanggapi pengharapan yang wajar
(the principle of meeting raised expectation). PTUN Jakarta telah gagal
menangkap ruh dari keputusan menteri hukum dan HAM terkait pengetatan
remisi bagi terpidana koruptor.

Keputusan menteri hukum dan HAM sebenarnya telah memenuhi kedua asas
tersebut jika dikaitkan dengan berbagai produk legislasi yang
merepresentasi harapan rakyat pascareformasi untuk semakin
mengefektifkan langkahlangkah pemberantasan korupsi. Ini pada hakikatnya
sejalan dengan alasan pengujian kedua, yaitu untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik melalui implementasi asasasas umum pemerintahan
yang baik (the principles of good administration).

Acuan dalam menilai keabsahan suatu KTUN seharusnya dilakukan secara
komprehensif dengan mempertimbangkan juga rasa keadilan sosial yang
menjadi tugas hakim dalam sistem peradilan apa pun. Digunakannya the
principles of good administration—yang merupakan norma hukum tak
tertulis— sebagai salah satu dasar pengujian legalitas suatu KTUN,
sebenarnya dimaksudkan agar PTUN tidak hanya secara kaku mendasarkan
pertimbangan- pertimbangan putusannya semata-mata pada peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis) saja.

Apalagi jika norma hukum tertulis tersebut bertentangan dengan semangat
jaman atau rasa keadilan sosial. Riset yang telah banyak dilakukan masih
memperlihatkan bahwa PTUN di negeri ini masih cenderung bersifat
legalistik dan formalistik dalam mempertimbangkan keabsahan (legality)
suatu produk keputusan tata usaha negara (administrative decision).
Hakimhakim di PTUN cenderung untuk menilai secara kaku keabsahan suatu
keputusan pemerintah dengan mendasarkan pada hukum-hukum tertulis atau
peraturan perundangundangan.

The principles of good administration yang merupakan norma hukum tak
tertulis sangat jarang atau bahkan tak pernah menjadi rujukan hakim
dalam memutuskan suatu sengketa tata usaha negara.Padahal UU Peradilan
Tata Usaha Negara menggariskan bahwa penilaian hakim di PTUN harus
didasarkan atas konsiderasi hukum untuk mewujudkan kebenaran materiil,
bukan sekadar kebenaran formal yang hanya didasarkan atas teksteks
aturan hukum tertulis.

UU No 12 Tahun 1995 dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang
digunakan hakim sebagai konsiderasi hukum untuk menganulir keputusan
Menteri Hukum dan HAM terkait pengetatan pemberian remisi bagi para
koruptor merupakan peraturan perundang-undangan produk prareformasi.

Seharusnya hakim menyelaraskan penerapan aturan hukum tersebut dengan
hasil amendemen UUD Negara RI 1945 dan perkembangan politik perundang-
undangan yang kini nuansanya berupaya untuk mengefektifkan perwujudan
pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government).

Masyarakat kini masih menanti peran reformis peradilan tata usaha negara
(di tingkat banding dan kasasi) yang diharapkan mampu mencontoh putusan
hakim Benjamin Mangkoedilaga yang monumental di era Orde Baru dulu.
Peradilan tata usaha negara tak boleh kehilangan jati diri sebagai
penjaga negara (the guardian of the state),bukan pelindung para
koruptor. W RIAWAN TJANDRA Direktur Program Pascasarjana dan Dosen
Hukum Acara PTUN FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485932/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.