Minggu, 01 April 2012

[Koran-Digital] CALAK EDU Dendam Politik dan Politik Kata

Jelas sekali bahwa potret pendidikan berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi."

KALAU tak karena dendam, pastilah ne geri ini akan aman dan damai, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.
Namun, karena aman dan damai (baldah thoyyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun ghafur) pasti tak akan sampai. Jadi jelas sekali hubungan antara yang material dan imaterial, yang wujud dengan yang gaib, selalu harus menjadi dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan satu dengan lainnya. Dendam adalah prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan oleh para pemimpin politik dan keagamaan kita, hingga saat ini.

Dendam ialah penyakit keturunan manusia yang sengaja disisipkan Tuhan melalui setan. Perasaan dendam, sama dengan cinta, tak pernah ada kata yang bisa mendefinisikannya secara pas. Karena dendam menyangkut kumpulan rasa, terkadang kehadirannya tak bisa kita duga dan sapa secara pasti dan nyata.
Dendam pula yang membuat hati jutaan manusia selalu menduga-duga, ada apa di ba lik setiap peristiwa. Yang nyata dari sebuah dendam hanya tampak pada hasilnya yang sering kali destruktif, tak peduli benar atau salah.

Itulah yang terlihat dalam aksi demo antipenaikan harga BBM beberapa hari terakhir, yang merusak dan cenderung ditunggangi dendam. Salah satu reaksi yang paling cool terhadap rencana penaikan harga BBM ditunjukkan Dahlan Iskan. Kata dia, jika Obama dan Ahmadinejad cipika-cipiki, pasti harga minyak langsung turun dan harga BBM di Indonesia juga mungkin tak akan dinaikkan. Akan tetapi, logika sebaliknya bisa kita timpakan juga terhadap SBY dan Megawati. Jika mereka berdua cipika-cipiki, ada komunikasi dan tak ada balutan dendam, pasti isu soal BBM akan jauh dari aksi anarkistis.

Orang mungkin sudah lupa, betapa antara SBY dan Megawati seperti ada dendam yang tak berujung dan berkesudahan, sehingga urusan kenegaraan selalu diukur oleh kalahmenang dan seperti tak ada jalan keluar. Jika tak ada dendam politik, mengapa mereka tak pernah berkomunikasi secara elegan dan menunjukkan kedewasaan sekaligus kenegarawanan? Karena itu, dengan penuh kesadaran, publik, para siswa, dan pendidik di Tanah Air agar bisa melihat ini semua sebagai perlambang lemahnya proses pendidikan kita dalam menanamkan rasa hormat ke dalam relung jiwa anak-anak kita, serta menyemai rasa damai sekaligus mengajarkan untuk tidak memelihara perasaan dendam.

Perasaan dendam itu juga yang terlihat secara kasatmata dalam proses pembahasan rencana penaikan harga BBM di DPR. Politik kata yang sarat dengan kemunafikan dan tak genuine ini menyebabkan tafsir mereka terhadap undang-undang dan dokumen sejenisnya menjadi penuh intrik dan kepentingan yang juga tidak genuine, alias melupakan daftar kesengsaraan rakyat banyak. Jika dendam politik dan politik kata terus mengisi relung-relung pikir dan jiwa anak-anak kita, proses pendidikan kita akan mengalami mati rasa yang berimbas buruk terhadap masa depan bangsa ini.

Lemahnya keteladanan ialah ciri lain dari dendam politik dan politik kata yang selalu coba dipertontonkan. Publik harus diingatkan, misalnya, dengan sikap keteladanan yang pernah dilakukan seorang Jusuf Kalla dalam Pilpres 2009 lalu.

Dari aspek kompetensi, pribadi Jusuf Kalla juga menyiratkan dua hal sekaligus, yaitu kompeten di bidang ekonomi yang dikuasainya (a hard dimension) dan pada waktu yang bersamaan beliau juga memiliki sikap dan sifat yang elegan sebagai seorang negarawan yang menjunjung tinggi budaya negeri (a soft skill dimension).

Setelah mengikuti definisi kompetensi menurut Naresh Makhijani, bahwa `Competency can essentially be defined as having both job-related techni cal skills (a hard dimension) as well as attitudinal and behavioral components (a soft dimension)', kiranya tak berlebihan perilaku dan sikap kenegarawanan Jusuf Kalla yang mengedapankan rasa persatuan kebangsaan. Hal itu sangat terlihat dari dialog Jusuf Kalla dengan SBY pascapemilihan presiden beberapa waktu lalu, keinginan untuk menjalin tali silaturahim lebih kental daripada memelihara rasa `permusuhan' dan `persaingan' untuk menjadi presiden.

Pribadi Pak Jusuf yang juga penting dan patut ditiru oleh sivitas akademika di sekolah maupun perguruan tinggi, yaitu sifat respek, mau menghargai dan mengakui kelebihan orang, dalam hal ini ketika beliau memberi ucapan selamat kepada SBY atas kemenangannya. Orang dengan kecenderungan sikap dan sifat semacam ini tentu saja akan merasa jauh dari kekurangan, jauh dari rasa kalah, dan akan terus menjadi pemenang. Bukankah seorang pemenang sejati adalah mereka yang lebih banyak memberi orang lain kesempatan untuk menunjukkan pengabdiannya dengan tulus dan ikhlas? Karena itu, layak jika para guru mau memetik pelajaran berharga ini dan menjadikan sikap respek atau menghargai orang lain sebagai substansi bahan ajar yang harus ditubuhkan dalam budaya sekolah kita.

Negeri ini membutuhkan banyak sekali orang seperti Jusuf Kalla yang mau bekerja dengan pikir sekaligus zikir, serta tak memelihara rasa dendam, takut, dan permusuhan. Mahasiswa dan siswa kita perlu diajak lebih banyak membaca. Bukan berarti setelah ditakut-takuti oleh rencana penaikan harga BBM, mereka kemudian melupakan kewajiban untuk belajar.

Jangan-jangan mahasiswa dan siswa kita saat ini sudah tertular virus dendam politik dan politik kata, sehingga lebih banyak bolos masuk kelas karena terlalu sering berdemo atas nama rakyat.
Sesungguhnya mereka diamdiam sedang mengubur masa depannya sendiri. Jelas sekali bahwa potret pendidikan berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/02/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Dendam-Politik-dan-Politik-Kata-02042012012043.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.