Senin, 02 April 2012

[Koran-Digital] DENNY INDRAYANA: Konstitusionalitas Harga BBM

Konstitusionalitas Harga BBM PDF Print
Tuesday, 03 April 2012
Belum lagi diundangkan, RUU APBNP 2012 yang baru disepakati dalam Sidang
Paripurna DPR pekan lalu sudah pasti akan diuji di hadapan meja merah
Mahkamah Konstitusi (MK).


Pasal yang akan diuji dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah
rumusan Pasal 7 ayat (6A).Pasal itu pada dasarnya memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga eceran bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi jika dalam kurun waktu enam bulan harga
minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) mengalami kenaikan
atau penurunan lebih dari 15% dari harga ICP yang diasumsikan dalam
APBNP. Rumusan Pasal 7 ayat (6A) itu hadir tidak di ruang hampa. Dia
bukan hanya proses yuridis.

Agaknya, agenda politik 2014 membuat ruang perdebatan APBN berubah, dari
instrumen ekonomi menjadi instrumen politik. Pembahasan RUU APBN yang
biasanya tidak terkait langsung BBM berubah menjadi dua kubu yang saling
bertolak belakang, menolak atau menerima kemungkinan kenaikan harga BBM.
Tulisan ini tidak akan mengulas sisi perdebatan ataupun sisi kepentingan
politik tersebut. Tulisan ini hanya akan berfokus pada
konstitusionalitas norma terkait harga BBM tersebut.

Pasal 7 Ayat (6) Bertentangan dengan Konstitusi

Saya berpendapat,yang justru bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 7
ayat (6) UU APBN 2011 yang mengatur, "Harga jual eceran BBM bersubsidi
tidak mengalami kenaikan". Pasal itu menutup sama sekali kemungkinan
kenaikan harga BBM selama pelaksanaan APBN 2012.Rumusan demikian baru
pertama kali ini ada dalam sejarah Republik. Dalam UU APBN sebelumnya,
tidak pernah ada rumusan yang melarang kenaikan harga BBM demikian.

Karena itu, sejarah Republik mencatat ada 38 kali kenaikan harga
BBM.Rumusan Pasal 7 ayat (6) mengunci sama sekali kewenangan eksekutif
untuk mengambil kebijakan yang diperlukan jika ternyata harga BBM perlu
disesuaikan. Karena itu, rumusan demikian minimal bertentangan dengan
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan
pemerintahan. Dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya
tentang makna "dikuasai oleh negara",bagi bumi,air,dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya,untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 001-021-022/PUUI/ 2003.

MK memutuskan "dikuasai oleh negara" atas kekayaan alam—termasuk
BBM—dilakukan melalui lima fungsi,yaitu mengadakan: kebijakan,
pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.Lebih jauh, MK
menegaskan, dari lima fungsi penguasaan negara itu, hanya terkait fungsi
pengaturan yang melibatkan parlemen. Sedangkan soal fungsi kebijakan,
pengurusan, pengelolaan, bahkan pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah.
Konsisten dengan putusan MK tersebut, soal kebijakan menaikkan harga BBM
seharusnya menjadi wilayah kewenangan pemerintah, yang jika dilarang
sama sekali justru bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945.

Terkait Pasal 7 ayat (6) tersebut, MK telah menerima permohonan
pengujiannya yang diajukan Bgd Syafri dkk. Permohonan terdaftar dengan
register nomor 13/PUU-X/2012. Pemohon berpendapat, kebijakan pembatasan
BBM bersubsidi tidaklah tepat. Pemohon menyarankan harga BBM bersubsidi
seharusnya malah perlu dinaikkan secara bertahap sampai harga jual
keekonomiannya. Karena itu, pemohon meminta Pasal 7 ayat (6), yang tidak
membuka peluang kenaikan harga BBM,dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 7 Ayat (6A) Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Sebaliknya, saya tidak sependapat dengan kalangan yang mengatakan
rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN Perubahan 2012 bertentangan dengan
UUD 1945. Memang benar, MK pernah memutuskan dalam perkara Nomor 002/
PUU-I/2003 bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Minyak dan Gas Bumi
bertentangan dengan UUD 1945.Namun,putusan tersebut tidak serta-merta
berarti Pasal 7 ayat (6A) menjadi bertentangan pula dengan konstitusi.

Pertimbangan MK menyatakan," campur tangan pemerintah dalam kebijakan
penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang
produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak".Sesuai dengan putusan MK terkait makna "dikuasai oleh negara" di
atas serta putusan terkait "minyak dan gas bumi",rumusan Pasal 7 ayat
(6A) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan
penyesuaian harga BBM justru telah sejalan dengan putusan MK sehingga
tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Argumen yang mengatakan bahwa Pasal 7 ayat (6A) bertentangan dengan UUD
1945 karena menyerahkan harga BBM semata-mata pada mekanisme pasar
justru tidak memahami dengan baik makna Pasal 7 ayat (6A)
tersebut.Rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBNP 2012 justru berbeda dengan
Pasal 28 ayat (2) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar semata
sehingga wajar dibatalkan oleh MK.Pasal 7 ayat (6A) justru tidak
semata-mata tunduk pada harga pasar. Pasal 7 ayat (6A) justru tidak
otomatis memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau
menurunkan harga BBM meskipun harga minyak di pasar dunia mengalami
kenaikan atau penurunan.

Pasal 7 ayat (6A) justru memberikan syarat yang tidak ringan bahwa
pemerintah baru bisa menyesuaikan harga jika sudah mencapai minimal 15%
dalam kurun waktu enam bulan.Kalau semata tunduk pada mekanisme
pasar,berapa pun kenaikan harga minyak dunia, dalam rentang waktu berapa
pun, harga BBM dapat disesuaikan pemerintah. Syarat persentase dan
jangka waktu yang tidak ringan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 7 ayat
(6A) tidak semata-mata menimbang harga minyak di pasaran, tetapi
mendorong pemerintah untuk menjadikan kenaikan harga BBM sebagai opsi
terakhir.

Kalau dicermati, perdebatan yang memunculkan rumusan Pasal 7 ayat (6A)
di Sidang Paripurna DPR semangatnya justru untuk tidak otomatis
menaikkan harga BBM meskipun harga minyak dunia sudah jauh dari asumsi
APBN.Artinya, rumusan Pasal 7 ayat (6A) justru melindungi kepentingan
masyarakat kecil yang dapat terimbas karena kenaikan harga BBM. Rumusan
demikian, karena itu, justru sejalan dengan putusan MK yang berpendapat,
"harga BBM dan harga gas bumi dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah
dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu".

Apalagi, kalaupun harga BBM dinaikkan, tidaklah mengikuti harga pasar
semata. Kalaupun harga BBM dinaikkan menjadi Rp6.000,harga itu masih di
bawah harga pasar sehingga masih ada subsidi atas harga eceran BBM
tersebut. Itu adalah bukti nyata bahwa harga BBM tidak ditetapkan
pemerintah semata-mata dengan mempertimbangkan harga di pasaran. Lebih
jauh lagi rumusan Pasal 7 ayat (6A) juga mengatur bahwa kewenangan
pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM diikuti dengan membuat
"kebijakan pendukungnya".

Hal demikian, sekali lagi, menunjukkan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (6A)
bukan hanya berbicara penyesuaian harga BBM, melainkan juga melalui
norma "kebijakan pendukungnya". Pemerintah didorong untuk "memperhatikan
kepentingan golongan masyarakat tertentu" sebagaimana dipersyaratkan
oleh putusan MK. Apalagi,kebijakan pendukung itu biasanya berupa bantuan
langsung, beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, dan sebagainya, yang
sangat berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat. Maka itu,makin jelas
bahwa Pasal 7 ayat (6A) tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 maupun
putusan MK sebelumnya.

Akhirnya kita tunggu saja putusan MK atas perkara 13/PUU-X/2012 yang
menguji Pasal 7 ayat (6) maupun pengujian Pasal 7 ayat (6A). Untuk lebih
efisien, saya menyarankan agar MK menggabungkan saja dua perkara
tersebut.Saya meyakini,insya Allah,MK bisa menjadi pemutus yang adil dan
melaksanakan tugasnya mengawal konstitusi.Keep on fighting for the
better Indonesia. .

DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Guru Besar Hukum Tata Negara UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482913/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.