Selasa, 03 April 2012

[Koran-Digital] DINNA WISNU: Refleksi atas Myanmar

Refleksi atas Myanmar PDF Print
Wednesday, 04 April 2012
Siapa tak kenal dengan Aung San Suu Kyi? Wanita asal Myanmar atau Burma
ini adalah pemenang Nobel Perdamaian 1991 yang dikenal luas sebagai
pejuang demokrasi.


Selama lebih dari 19 tahun dia diberi status pembangkang politik oleh
pemerintah junta militer di negerinya dan karenanya dijatuhi hukuman
tahanan rumah dan diputus dari hubungan dengan anggota keluarganya. Dua
hari lalu partai yang dipimpinnya, National League Democracy
(NLD),meraih mayoritas suara dari 10% suara di parlemen yang
diperebutkan dalam pemilu sela. Dunia bertanya-tanya apakah makna
kemenangan ini? Dari segi angka,kemenangan NLD dalam pemilu sela kali
ini tidak berarti kemulusan jalan menuju "Myanmar-1".Jumlah kursi yang
diperebutkan dalam pemilu sela ini sangatlah kecil.

Aung San Suu Kyi baru akan menjadi anggota parlemen, berhadapan dengan
tokoh- tokoh militer. Sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda bahwa
junta militer di Myanmar akan pulang ke barak. Hal yang menarik justru
kerendahan hati Suu Kyi dalam mengikuti prosedur pemilu, meski dia punya
banyak pendukung dan pada 1990 bersama NLD telah meraup suara mayoritas
untuk memperebutkan seluruh kursi di parlemen.

Dia juga tegar memperjuangkan demokrasi secara bertahap, meskipun di
bawah tekanan politik yang sangat besar. Ia mau ikut aturan yang
diberikan pemerintah, meski para pendukungnya kerap keberatan. Kesehatan
wanita berusia 66 tahun ini pun terbilang jatuh bangun. Dalam persiapan
pemilu kali ini saja dia sempat sakit.Namun dengan mantap dia
menginspirasi publik bahwa sejak bebas dari tahanan rumah dia tetap
berkomitmen tinggi untuk menjamah langsung kehidupan penduduk Myanmar.

Ia melakoni perjalanan ribuan kilometer untuk berkampanye bagi
partainya, meski partai berkuasa, Union Solidarity and Development
Party, tak henti-hentinya melakukan tekanan politik maupun psikologis
padanya.Aung San Suu Kyi justru dengan mantap berkata,"Kami berharap
agar orang-orang berpartisipasi dalam proses demokrasi." Di sisi lain,
pengalaman Myanmar ini memunculkan refleksi khusus tentang negaranegara
tetangga di Asia Tenggara yang sedang berjuang menjalankan demokrasi.

ASEAN punya Bali Democracy Forum,yakni forum tukar pendapat dan
pengalaman tentang perjalanan demokrasi di negara-negara Asia-Pasifik
yang waktu pembentukannya pada 2008 diharapkan mampu mengidentifikasi
praktikpraktik terbaik dalam berdemokrasi agar bisa diterapkan di
kawasan ini. Indonesia termasuk yang menjunjung tinggi forum ini.Bahkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pembentukan Institute for
Peace and Democracy sebagai hasil kerja sama dengan Universitas Udayana
di Bali untuk mendukung langkah Bali Democracy Forum. Apa hasilnya?

Tiap bulan Desember terselenggara forum tukar pendapat itu.Sudah empat
kali forum itu terselenggara. Tetapi hasil konkretnya harus diakui masih
jauh dari harapan. Di tataran diplomasi, forum itu memang menggalang
perhatian pada isu-isu penerapan prinsip berdemokrasi. Untuk Myanmar,
forum itu menjadi inspirasi bahwa ASEAN pun peduli akan terlaksananya
pemilu yang jujur dan adil di sana.Tetapi perlu diakui bahwa forum itu
belum berhasil menggalang dukungan bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih
luas di negara-negara ASEAN lain.

Dalam pertemuan yang digagas oleh Program Kemitraan United Nations
Development Programme (UNDP) dan Kementerian Bappenas bulan lalu,muncul
suatu kenyataan bahwa demokrasi masih dimaknai berbeda-beda di kawasan
Asia. Di Vietnam, Kamboja, bahkan China, tidak ada kosakata demokrasi
seperti yang dipahami oleh konteks politik modern saat ini. Demokrasi
dalam benak mereka lebih mirip dengan konsep demokrasi terpimpin di mana
seorang kepala negara memainkan peranan sentral dalam mengarahkan
pencapaian demokrasi (seperti terlaksananya pelayanan publik yang
bermutu dan kesejahteraan yang meluas).

Jadi soal ada tidaknya sistem multipartai,kebebasan pers,kebebasan
berpendapat dan berserikat, atau perlindungan terhadap hak asasi manusia
tidak masuk dalam agenda prioritas. Mereka lebih mengutamakan
sosialisasi label demokrasi sebagai alat untuk mendatangkan
kesejahteraan dan meningkatkan partisipasi politik dalam mendukung
pemerintah. Dalam konteks berdemokrasi, pihak pemimpin yang berkuasa di
negara-negara tersebut memang melibatkan partisipasi masyarakat yang
cukup luas, khususnya dari kalangan akademisi dan penggiat isu-isu sosial.

Namun,pada saat yang sama,individu dan kelompok yang terlibat tadi
seperti punya self-censorship (sensor otomatis) untuk tidak mengutak-
atik minat pemerintah untuk lebih mengakui keberadaan mereka sebagai
pembentuk opini publik. Mereka justru waswas jika mereka tidak patuh dan
tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah, maka ruang "berdemokrasi"
tadi justru akan tergerus. Prinsip seperti ini sesungguhnya mirip juga
dengan yang dijalankan oleh Singapura ataupun Malaysia.Jadi,sistem
multipartai seperti yang dijalankan Indonesia serta Filipina adalah
bentuk kerepotan politik yang ujungnya justru dianggap tidak
menghasilkan buah yang diharapkan.

Gerak-gerik Aung San Suu Kyi menjadi indikator menarik tentang
batasanbatasan berdemokrasi yang saat ini bisa diterima di Asia. Kalau
kita gandengkan dengan tren model pengelolaan ekonomi terkini, yakni
state led capitalism, di mana negara memainkan peranan penting dalam
mengarahkan dan menuntun kapitalisme, pemahaman demokrasi di Asia tadi
menemukan jodohnya.Mereka memilih untuk mengerahkan energi dan perhatian
pada proses pengambilan kebijakan yang efisien dengan hasil yang efektif
dan terjamin, termasuk bagi para investor dan sektor swasta.

Di sisi lain, ASEAN sesungguhnya sudah sepakat untuk memberikan hak-hak
sosial,politik, maupun ekonomi yang seutuhmungkinkepadawarganya. Visi
ASEAN 2020 dengan tiga pilarnya sudah menggarisbawahi itu. Jadi,
sebenarnya tidak ada ruang lagi untuk memperdebatkan apakah sistem
multipartai atau kebebasan berpendapat atau berserikat serta
perlindungan hak asasi manusia perlu dijalankandanmerupakanbagian dari
praktik demokrasi yang akan diterapkan di ASEAN.Jawaban seharusnya:
"ya." Di sinilah peranan Indonesia menjadi sangat sentral untuk
meyakinkan tetanggatetangganya bahwa demokrasi tidak akan mengorbankan
nasib penduduk, apalagi yang sudah berpartisipasi aktif menjaga
rambu-rambu demokrasi.

Untuk itu, Indonesia pun perlu berbenah diri agar roda pemerintahan yang
efektif dan menyejahterakan rakyat dapat dijalankan, meskipun parlemen
dan pemerintah saling berbeda pendapat. Roda birokrasi yang profesional
dan andal wajib ada.Pemilahan itu perlu diangkat dalam forum diplomasi.
Dan sudah selayaknya Indonesia bergegas membenahi birokrasinya juga agar
kegiatan memperkenalkan demokrasi di tataran diplomasi tidak berhenti di
bibir saja. 


DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/483335/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.