Senin, 02 April 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Pembangkangan Kepala Daerah

Pejabat pusat yang gemar main pecat kepala daerah tidak lebih dari upaya menyuburkan benih kekuasaan sentralistis. Itu harus dilawan!''

KETERLIBATAN sejumlah kepala daerah dalam unjuk rasa antipenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pekan lalu, membuat gusar pemerintah pusat. Saking jengkelnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun mengeluarkan surat teguran.

Surat teguran dikirim kepada dua kepala daerah yang aktif berdemonstrasi menolak penaikan harga BBM. Mereka ialah Wakil Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono dan Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo. Ada sejumlah kepala daerah lain yang membuat pernyataan menolak penaikan harga BBM, tetapi tidak diberi surat teguran.

Pekan lalu, unjuk rasa merebak hampir di seluruh wilayah Tanah Air memprotes rencana pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp4.500 per liter menjadi Rp6.000 per liter.

Usul tersebut untuk sementara kandas dalam Rapat Paripurna DPR pada Jumat (30/3). Demonstrasi pun mereda.

Surat teguran dikeluarkan dengan alasan para kepala daerah melanggar etika. Tidak etis kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah pusat.

Kita berpendapat jika kepala daerah melanggar etika, mestinya mereka mendapat sanksi so sial, bukan surat teguran Men dagri. Teguran tertulis dike luarkan manakala yang dilanggar ialah aturan hukum positif.

Surat teguran itu juga aneh karena kepala daerah berdemonstrasi untuk menolak penaikan harga BBM justru demi membela UU APBN 2012 yang sah dan masih berlaku. Dalam UU APBN 2012, Pasal 7 ayat 6 secara tegas menyebutkan harga BBM tidak naik.

Namun, di balik surat teguran dan ancaman pemecatan oleh Mendagri kepada para kepala daerah, sesungguhnya ada persoalan besar menyangkut hubungan pusat dan daerah. Perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat hanya sampai di tingkat provinsi.

Berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, provinsi berkedudukan sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi atau perpanjangan pemerintah pusat. Sebaliknya, kabupaten/kota merupakan daerah otonom murni.

Akibatnya, kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hierarki dengan provinsi, apalagi dengan pemerintah pusat.
Namun, secara administratif, daerah otonom merupakan subordinat dan bergantung pada pemerintah pusat.

Dari model hubungan kelembagaan seperti itu, jelas Men dagri tidak punya kekuasaan memberikan sanksi, apalagi memecat kepala daerah di tingkat kabupaten/kota yang dianggap membangkang. Kepala daerah memang bisa diberhentikan bila terlibat tindak pidana.

Karena itu, untuk menciptakan pemerintahan unitary yang efektif, UU Nomor 32/2004 layak direvisi. Revisi itu juga harus mengintroduksi larangan-larangan bagi kepala daerah, misalnya untuk berdemonstrasi, sehingga kelak surat teguran Mendagri punya landasan hukum yang jelas.

Namun, revisi itu tidak boleh menciptakan kembali pemerintahan sentralistis dan mematikan aspirasi daerah.
Pejabat pusat yang gemar main pecat kepala daerah tidak lebih dari upaya menyuburkan benih kekuasaan sentralistis.
Itu harus dilawan!

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/03/ArticleHtmls/EDITORIAL-Pembangkangan-Kepala-Daerah-03042012001026.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.