Selasa, 10 April 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Rakyat Papua Butuh Didengar

Rakyat Papua juga butuh didengar.
Karena itu, pusat mesti membuka ruang dialog seluas-luasnya dan setulus-tulusnya."

KABUPATEN Puncak Jaya, Papua, telah menjelma menjadi ladang pembunuhan.

Rentetan kekerasan tak pernah bisa dihentikan di daerah pemilik salju abadi itu. Sedikitnya telah terjadi lima kali penembakan yang menewaskan empat orang sepanjang 2012 di kabupaten berpenduduk cuma sekitar 100 ribu orang tersebut.

Peristiwa teranyar, Minggu (8/4), pesawat perintis jenis Twin Otter yang dioperasikan PT Trigana Air ditembaki orang tak dikenal saat hendak mendarat di Bandara Mulia.
Seorang penumpang pesawat, wartawan Papua Pos, Leiron Kogoya, 35, tewas setelah lehernya tertembus oleh peluru.

Saban terjadi letusan senjata di Puncak Jaya, komando pemerintah kepada otoritas keamanan selalu sama, yaitu kejar penembak. Jawaban otoritas keamanan pun sama, yaitu se lain sukar menemukan saksi dan alat bukti, medan berupa perbukitan dan hutan menyulitkan aparat kepolisian untuk mengungkap kasus penembakan di Puncak Jaya.

Perbukitan dan hutan tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan pembiaran atas penembakan di Puncak Jaya. Penduduk Papua kini telah kehilangan rasa aman untuk hidup di tanah leluhur mereka. Harus tegas dikatakan bahwa tugas negara ialah memberi rasa aman kepada setiap warga. Negara terkesan lari dari tanggung jawab itu. Papua ialah contoh nyata negara salah urus daerah berstatus otonomi khusus. Pusat beranggapan dengan menggelontorkan dana otonomi khusus sebesar-besarnya, kesejahteraan, harkat, dan martabat masyarakat Papua pun meningkat setinggi-tingginya.

Selama 10 tahun sejak otonomi khusus berlaku (2002 hingga 2011), sedikitnya Rp32 triliun sudah digelontorkan ke Papua. Dana otonomi khusus Papua pada APBN 2012 naik 23% dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini, negara menganggarkan Rp3,10 triliun untuk Papua dan Rp1,33 triliun untuk Papua Barat.

Kucuran dana itu tidak signifikan menghapus kemiskinan dari Bumi Cenderawasih. Jumlah penduduk miskin malah bertambah. Jika merujuk data BPS September 2011, penduduk miskin di Papua mencapai 917.005 jiwa dan Papua Barat 227.120 jiwa.

Jika ditotal, penduduk miskin di kedua provinsi itu pada September 2011 mencapai 1.144.125 jiwa. Bandingkan dengan data penduduk miskin saat otonomi khusus dijalankan pada 2002 sebanyak 984.700 jiwa. Artinya, setelah satu dekade otonomi khusus, justru terjadi peningkatan penduduk miskin sebanyak 159.425 jiwa.

Papua memang paradoksal. Bumi yang kaya tapi miskin, negeri yang damai tapi mematikan. Membangun Papua tidak cukup cuma dengan mengubah pendekatan dari keamanan ke kesejahteraan.

Rakyat Papua juga butuh didengar. Karena itu, pusat mesti membuka ruang dialog seluas-luasnya dan setulus-tulusnya.
Itulah tugas yang mesti diemban Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dibentuk Presiden, yang hingga sekarang pun apa pekerjaan mereka tak terdengar.

Kalau unit itu gagal, kenapa tak dibubarkan saja?

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/11/ArticleHtmls/EDITORIAL-Rakyat-Papua-Butuh-Didengar-11042012001037.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.