Jumat, 13 April 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL UU Pemilu

Publik su dah terlalu lelah dan muak dengan perilaku politisi yang lebih mementingkan diri dan kelompok ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat."

LEWAT pembahasan alot dan panjang, DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis (12/4). Dua persoalan krusial, yakni ambang batas parlemen dan metode penghitungan suara, bahkan diputuskan melalui voting.

Jalan voting ditempuh setelah jalur lobi mengalami kegagalan. Untuk masalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) 3,5%, sebanyak 343 anggota dari total 530 yang hadir menghendaki berlaku nasional. Sisanya memilih PT berlaku berjenjang.

Voting kedua menyangkut masalah metode penghitungan suara. Sebanyak 342 anggota DPR memilih metode penghitungan suara dengan kuota murni. Sebaliknya, cara penghitungan lewat divisor dengan varian webster habis di daerah pemilihan hanya didukung 188 anggota.

Dua masalah yang sebelumnya juga termasuk krusial, yakni sistem pemilu dengan pro porsional terbuka dan alokasi kursi 3-10 per daerah pe milihan, bisa diputuskan secara aklamasi.

Dengan demikian, para anggo ta dewan akhirnya telah me nyelesaikan salah satu tugas mereka, yaitu merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. UU Pemilu yang baru itu akan diberlakukan dalam Pemilu 2014.

Kendati UU Pemilu telah rampung, pembahasan yang membutuhkan waktu dua tahun dan memboroskan dana miliaran rupiah jelas bentuk perilaku konyol para anggota dewan yang berkantor di Senayan.

Itu sebabnya publik harus mendorong anggota DPR untuk menciptakan UU Pemilu dan undang-undang terkait lainnya agar berlaku dalam jangka panjang. Jadi, tidak setiap menjelang pemilu mereka membuat undang-undang yang baru.

UU Pemilu yang baru itu juga belum mencerminkan tekad untuk memperkuat sistem presidensial. Meski ambang batas parlemen yang berlaku sekarang 3,5% lebih besar daripada sebelumnya, 2,5%, angka itu masih membuat banyak partai berkumpul di parlemen.

Padahal, keefektifan sistem presidensial bisa berjalan jika didukung sistem kepartaian sederhana di lingkup parlemen.
Bukankah pemerintahan hasil pemilu selama ini tidak bisa berjalan maksimal karena terbelenggu oleh tarik ulur kepentingan politik di parlemen?
Karena itu, bila sistem presidensial masih ingin dianut, dipertahankan, dan bahkan diperkuat, penyederhanaan sistem kepartaian di tingkat nasional mutlak perlu dilakukan.
Idealnya, wakil di DPR hanya sekitar 5-8 partai.

Bagaimanapun, bangsa ini, terutama publik, sudah terlalu lelah dan muak dengan perilaku politisi yang lebih mementingkan diri dan kelompok ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat.

UU Pemilu dan undang-undang terkait sejatinya benarbenar menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Untuk itulah sebenarnya diperlukan ambang batas yang jauh lebih besar, yang membuat partai selalu waswas sekaligus ketakutan semakin dijauhi dan tidak dipilih rakyat.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/14/ArticleHtmls/EDITORIAL-UU-Pemilu-14042012001010.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.