Rabu, 11 April 2012

[Koran-Digital] GUN GUN HERYANTO: Keluarkah PKS?

Keluarkah PKS? PDF Print
Thursday, 12 April 2012
Akankah PKS dikeluarkan dari koalisi pemerintahan? Pertanyaan tersebut
menjadi perhatian utama hampir semua media massa dan khalayak luas
pascaparipurna DPR terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).


Meski sinyal-sinyal akan ditinggalkannya PKS itu telah banyak beredar
dari pernyataan elite Demokrat dan elite partai lain yang bergabung di
Sekretariat Gabungan (Setgab), tokoh kunci koalisi yakni SBY hingga
sekarang masih bungkam. Posisi PKS memang sangat dilematis bagi SBY:
dikeluarkan berpotensi menjadi masalah baru dan tetap dibiarkan juga
akan menjadi preseden buruk bagi kohesivitas mitra koalisi.

Perimbangan Kekuatan

Segala kemungkinan masih dapat terjadi dan sangat bergantung pada
berbagai kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. Ibarat pilot
sebuah pesawat,ini penerbangan terakhir SBY. Dia tentu tidak ingin
landing dengan penuh persoalan.Terlebih dengan turbulensi tak
terprediksi yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik
yang sudah dibangun SBY selama ini. Meski PKS kerap dianggap mitra
"nakal",bisa saja SBY tidak akan melepasnya dengan mudah.

Kita mungkin ingat sikap SBY saat melakukan reshuffle Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) II.Desakan elite Demokrat untuk meninggalkan PKS ternyata
tak membuat SBY terpengaruh. PKS tetap melenggang dan makin percaya diri
sebagai mitra sekaligus oposisi. Tidak mudah dilepasnya PKS bisa jadi
berdasarkan dua kalkulasi politik.

Pertama,PKS menjadi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY.
Meski Golkar dan PKS sama-sama di dalam kekuasaan, oleh SBY diposisikan
sebagai kelompok-kelompok yang selalu punya agenda masingmasing. SBY
sadar betul modal 423 kursi atau 75,54% kekuatan mitra koalisi di DPR
itu rapuh dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi
(18,93%) dan PKS 57 kursi (10,18%) merupakan kursi panas yang setiap
saat bisa saja berubah dukungannya sehingga tarik ulur dalam
pengendalian kedua partai ini menjadi penting.

Jika dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat,di lain
saat bisa saja Golkar berseberangan sehingga posisi PKS menjadi
strategis untuk perimbangan kekuatan. Mitra loyalis seperti PAN yang
memiliki 46 kursi (8,21%),PPP 38 kursi (6,79%), dan PKB 28 kursi (5%)
tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah
terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opsi C di paripurna DPR.

Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya
sangat merepotkan posisi politik SBY. Jika sekarang PKS ditendang dari
kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena
setiap saat bisa saja Golkar menabuh genderang sesuai irama yang
diinginkannya. Bisa jadi isu yang beredar hari-hari belakangan benar
bahwa setiap dukungan dari Golkar terhadap SBY dan Demokrat dibarter
dengan sejumlah kompensasi.

Kenaikan BBM bukan akhir dari momentum politik kritis bagi SBY.Masih ada
pengesahan revisi UU Pemilu, kasus Century yang setiap saat bisa
dihidupkan lagi,dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang
sangat membutuhkan dukungan DPR.SBY tentu saja tidak ingin
ketergantungan pada Golkar sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam
koalisi dan pilihannya ada di PKS meski sikap PKS juga kerap menjadi
buah simalakama.

Kedua,SBY tentu paham benar bahwa jika PKS dilepas, tentu akan menambah
amunisi kelompok oposisi yang sekarang ini digawangi oleh PDIP,
Gerindra, dan Hanura. Tambahan kekuatan PKS sedikitbesar akan
memperbesar asa proses delegitimasi kekuasaan SBY dan Demokrat semakin
besar di berbagai momentum politik ke depan.Jikapun pada akhirnya harus
merelakan PKS pergi,sepertinya akan ada skema soft-strategykhas SBY
yakni mengeluarkan PKS tanpa terkesan menzalimi.

Faktor SBY

SBY sangat hati-hati dan cenderung melembagakan zona nyaman kekuasaan
sehingga sangat khawatir dan merasa dalam keadaan tidak pasti bila mitra
koalisinya berpindah jadi oposisi. Karena keraguan SBY inilah, kebijakan
yang diambil terkait mitra koalisi menjadi ambigu. Akibatnya, Setgab
tidak efektif lagi sebagai wadah komunikasi politik untuk menyelaraskan
kepentingan partai-partai yang bermitra di kekuasaan.

Seandainya SBY mengambil jalan aman untuk mempertahankan PKS dalam
kekuasaan, ini pun bukan tanpa risiko. Risiko pertama, SBY akan dianggap
tak memiliki karakter dalam menghadapi ulah para mitra yang berkoalisi
setengah hati. Risiko kedua, jika ada pemakluman politik dari SBY atas
sejumlah sikap mitra koalisi yang bercita rasa oposisi, akan menjadi
referensi pada masa mendatang bebasnya para mitra menafsirkan kontrak
politik dalam koalisi sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing.

Jika SBY didera dilema yang luar biasa, lain halnya dengan PKS. Bagi PKS
tentu pilihan- pilihan lebih mudah.Tetap bertahan di koalisi hingga ada
"talak" resmi dari SBY atau berinisiatif sendiri keluar dari kekuasaan
dan menjadi kekuatan oposisi. Jika melihat dinamika akhir-akhir ini,
sepertinya PKS lebih memilih keluar dari koalisi jika sudah ada
pernyataan resmi dari SBY.

Hal ini tentu memiliki makna berbeda bagi strategi PKS. Seandainya PKS
dikeluarkan, tentu jajaran elite partai ini punya kesempatan untuk
mengapitalisasi isu ini menjadi proses marketing politik mereka. PKS
akan lebih mudah mencitrakan dirinya sebagai partai yang dizalimi
setelah mereka melakukan tindakan yang populis seperti penolakan mereka
terhadap rencana kenaikan harga BBM versi pemerintah.

Konstruksi simbolik yang akan dibangun elite PKS adalah partai yang
konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat meski harus menerima konsekuensi
ditendang dari kekuasaan. Citra seperti itulah yang bisa dimainkan PKS
jika mereka dikeluarkan. Sebaliknya jika mereka sukarela keluar begitu
saja,tentu alur drama menjadi datar dan tidak menyumbang publisitas
politik bagi eksistensi PKS pada masa depan. Isu turunan keluar dan
tidaknya PKS dari koalisi adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) II.

Ini tentu juga tidak bisa kita pisahkan dari pertarungan di internal
mitra koalisi. Tiga menteri dari PKS akan menjadi rebutan parpol-parpol
yang merasa punya saham di dalam kekuasaan.Tantangan terbesar bagi SBY
dalam reshuffle jika resmi bercerai dengan PKS adalah mampukah dia
keluar dari sandera politik representasi? Pergantian orang bisa saja
menjadi perubahan simbolik, tetapi substansi reshuffle sesungguhnya ada
pada kontinuitas sirkulasi elite berbasis kredibilitas dan akuntabilitas
sosok yang menggantikan.

Dengan demikian, orientasi reshuffle seharusnya merujuk pada
indikator-indikator kinerja mereka bukan semata- mata tambal sulam
kekuasaan. Akhirnya,benang kusut koalisi ini akan dikembalikan pada
pilihan SBY.Janganjangan sumber segala sumber persoalan itu justru pada
sikap peragunya sang Presiden!  GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485766/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.