Senin, 16 April 2012

[Koran-Digital] HAJRIYANTO: Konvensi vs Survei Capres

Konvensi vs Survei Capres PDF Print
Tuesday, 17 April 2012
Benar, memang, dalam UUD 1945 Pasal 6A disebutkan bahwa calon presiden
dan calon wakil presiden (capres-cawapres) diusulkan dalam satu pasangan
oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol.

Walhasil, menurut konstitusi hanya parpollah yang berhak mengusulkan
capres dan cawapres dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Di
luar parpol, demikianlah ketentuan dalam konstitusi kita, tidak ada
pintu selain parpol untuk pengajuan capres dan cawapres.

Selanjutnya,Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Pasal 10 ayat (1) menegaskan bahwa
"Partai-partai politik dalam penentuan calon presiden dan/ atau calon
wakil presiden harus dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai
dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.

"Walhasil,meski partai-partai politik memiliki otonomi dalam proses
penentuan capres sesuai dengan mekanisme internal masingmasing partai,
proses dan mekanisme itu sendiri tetaplah harus dilakukan secara
demokratis dan terbuka. Parpol memang akhirnya diberi hak eksklusif
untuk mengajukan capres. Syaratnya adalah parpol-parpol harus demokratis
dan membuka diri.

Sayangnya hal ini tidak pernah terjadi. Parpol-parpol belum bersedia
membuka akses yang luas bagi calon perseorangan untuk ikut dalam proses
penentuan calon dalam dan atau melalui parpol. Partai Golkar adalah
satusatunya parpol yang pernah melaksanakan prinsip demokrasi dan
keterbukaan ini melalui mekanisme konvensi calon presiden pada tahun
2004 untuk pertama kalinya—dan sekaligus yang terakhir kalinya— dalam
sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia.

PascakepemimpinanAkbar Tandjung, konvensi tidak pernah diselenggarakan.
Kepemimpinan Partai Golkar 2004–2009 menolak secara kategoris
penyelenggaraan konvensi capres.Demikian juga halnya kepemimpinan Partai
Golkar 2009–2015 juga kurang antusias dengan konvensi. Sementara
parpol-parpol yang lain tidak pernah ada satu pun yang melaksanakannya.

Ironisnya dan sekaligus anehnya, para pengamat dan masyarakat politik
Indonesia mendesakkan penyelenggaraan konvensi capres hanya kepada
Partai Golkar semata.Tak mengherankan jika Partai Golkar kemudian juga
tidak bersemangat untuk merespons desakan tersebut. Desakan hanya kepada
Golkar adalah tidak adil dan sulit untuk dimengerti. Pasalnya,keharusan
demokrasi dan keterbukaan adalah kewajiban bagi semua parpol.

Konvensi: Tidak Cukup Demokratis

Konvensi yang diselenggarakan Partai Golkar tahun 2004 memang
menimbulkan antusiasme politik yang sangat besar.Tapi dalam perspektif
kepentingan Golkar sendiri terbukti gagal: capres hasil konvensi Partai
Golkar gagal terpilih sebagai presiden dalam Pemilihan Umum Presiden
2004. Bahkan hanya berhasil menduduki posisi nomor tiga setelah pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla dan Megawati Sukarnoputri- Hasyim
Muzadi.

Dalam konteks ini,argumen bagi para pendukung konvensi menjadi sangat
lemah. Konvensi hanyalah ibarat kepakan burung merak yang hanya berhasil
mengundang decak kekaguman internal dan eksternal,tetapi tidak produktif
bagi kemenangan Partai Golkar sendiri. Mekanisme konvensi yang pernah
digelar oleh Partai Golkar tahun 2004 memang bagus, tetapi sejatinya
tidak melibatkan partisipasi rakyat secara luas dan karena itu jujur
saja secara ideal tidakterlalu demokratis.

Pasalnya yang terlibat dalam konvensi capres Partai Golkar tersebut
adalah dan hanyalah kalangan internal Golkar sendiri, yaitu para pemilik
suara yang terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar,Depan
Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar, DPD II Partai Golkar,dan
organisasi- organisasi yang mendirikan dan didirikan Partai Golkar.

Walhasil, sebenarnya tidak terlalu terbuka dan demokratis dalam
pengertian melibatkan suara publik yang lebih luas melintasi
kepengurusan Partai Golkar sendiri. Memang konvensi capres dilakukan
secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh hampir semua media
televisi nasional, bahkan beberapa media asing.Tapi pemilik suara adalah
dan hanyalah para pengurus partai semata. Dalam konteks dan perspektif
ini,argumen penolakan konvensi capres cukup kuat dan masuk akal.

Survei: Lebih Terbuka dan Demokratis

Dalam kaitan ini, sebagai partai yang mengklaim dirinya partai
pembaharuan dan pembangunan serta partai gagasan (the party of ideas),
Golkar harus mencari mekanisme baru dalam penentuan capres Partai
Golkar. Pilihan mekanisme survei saya rasa adalah pilihan baru yang
lebih prospektif. Untuk apa melakukan konvensi capres kalau toh ternyata
tidak cukup terbuka dan demokratis sebagaimana yang diisyaratkan Pasal
6A UUD 1945 dan tidak cukup mengakomodasi UU No 42 Tahun 2008?

Apalagi secara praktis konvensi kemudian ternyata tidak mengantarkan
kemenangan Partai Golkar dalam pilpres. Maka dari itu mekanisme survei
adalah alternatif baru yang jauh lebih terbuka dan demokratis. Pasalnya,
survei melibatkan publik yang jauh lebih luas dan representatif
berdasarkan sampling sehingga justru lebih memenuhi aspek keterbukaan
dan demokrasi. Survei adalah mekanisme yang paling logis dan realistis
bagi Partai Golkar untuk dilakukan dalam rangka menjaring dan menyeleksi
capresnya.

Tinggal kini persoalannya adalah survei yang seperti apa yang perlu
dilakukan? Survei adalah mekanisme jajak pendapat untuk mengukur
popularitas dan elektabilitas seorang capres.Tentu, hasil survei bukan
jaminan bahwa seorang capres akan terpilih dalam pemilu.Tapi hasil
survei setidaknya memberikan gambaran yang mendekati kenyataan realitas
preferensi politik publik pada suatu waktu.

Survei sebagai alat ukur akan popularitas dan elektabilitas seorang
calon adalah instrumen yang cukup andal untuk mengetahui tingkat
elektabilitas seorang capres dan sangat meyakinkan.Mekanisme survei
lebih terbuka dan demokratis dibandingkan mekanisme konvensi seperti
yang dilakukan Partai Golkar pada 2004.

'Ala kulli hal,desakan untuk melaksanakan konvensi tidak memiliki alasan
yang cukup kuat. Survei justru lebih bisa diandalkan! Tentu saja, survei
yang benar-benar dilakukan secaraakademisdenganmetodologi yang sempurna
oleh lembagalembaga survei yang kredibel dan mempunyai reputasi
meyakinkan. Manis,bukan? ●

HAJRIYANTO Y THOHARI
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/486969/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.