Selasa, 10 April 2012

[Koran-Digital] Mahfud MD: Untuk Berantas Korupsi, Perlu Potong Satu Generasi di Birokrasi

Senin, 9 April 2012 10:53 WIB
Wawancara dengan Mahfud MD (Bagian Satu)
Mahfud MD: Untuk Berantas Korupsi, Perlu Potong Satu Generasi di Birokrasi
Nikky Sirait


"Korupsi di judicial system itu hulunya di birokrasi yang tidak beres."

JAKARTA, Jaringnews.com - Apa tanggapan banyak orang mengenai penegakan
hukum di Indonesia? Jawabannya tidak pernah enak di telinga alias
bernada negatif: ada yang bilang buruk, ada yang bilang jauh dari
sempurna dan tak sedikit yang mengatakan tumpul ke atas dan tajam ke
bawah. Terlebih lagi mengenai korupsi. 14 tahun berlalu sejak era
reformasi, kontrol terhadap korupsi tidak mengalami kemajuan berarti.

Tak kurang dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD prihatin
melihat situasi ini. Mahfud--yang merupakan pemimpin lembaga peradilan
yang dibentuk setelah reformasi bergulir--sadar betul bagaimana korupsi
mewabah dan mengakar kuat dalam seluruh proses peradilan di Indonesia.
"Aparat penegak hukum mewarisi mental korup, budaya ketaatan pada hukum
dilakukan melalui proses negosiasi di luar sidang-sidang resmi, sehingga
muncul apa yang disebut mafia peradilan," tutur dia.

Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)--yang dikenal sebagai lembaga
penegak hukum paling gahar di Indonesia--pun tak luput dari sorotan
Mahfud. Bagi dia, aksi KPK tak banyak gunanya. "KPK menangkap orang
setahun paling cuma 10, sementara korupsi tumbuh di birokrasi setiap
harinya dari tingkat pusat sampai ke daerah," tuturnya. Menurut pria
kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957 ini, yang paling penting
dilakukan adalah penataan birokrasi.

Nah, terkait bobroknya sistem peradilan di Indonesia, bekas Menteri
Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid ini berkesempatan menjelaskan
lebih jauh kepada Hera Diani untuk Jaringnews.com di kantornya, Gedung
Mahkamah Konstusi, Jakarta, belum lama ini. Berikut petikan wawancara
bagian pertama Hera Diani untuk Jaringnews.com dengan Mahfud MD:

Perilaku korupsi semakin mewabah dalam sistem peradilan Indonesia…
Memang sudah mewabah dan mengakar dalam seluruh proses peradilan di
Indonesia. Dan persoalannya bukan pada isi hukum, tetapi lebih banyak
pada aparat penegak hukum dan budaya hukum. Seperti kita ketahui,
menurut teori, pembangunan untuk efektivitas hukum maupun peradilan itu
terdiri dari tiga subsistem, yakni substansi hukum, struktur atau aparat
penegak hukum dan budaya hukum. Sistem hukum ini yang bisa menegakkan
peradilan itu jika tiga unsur itu bekerja dengan baik.

Padahal sejak reformasi 1998, Indonesia sudah membenahi 'isi' hukum...
Ya, sejak saat itu kita sudah menggarap isi hukum, baik membuat yang
baru maupun mengubah yang lama. Mengubah yang lama misalnya kita
menjadikan lembaga peradilan itu berada di satu atap, baik teknis
yudisial maupun administratif finansial, maksudnya biar lembaga itu
mandiri. Lalu memperkuat Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik
pelanggaran HAM yang bisa merekomendasikan dilakukannya proses
peradilan. Membentuk yang baru, kita membentuk Mahkamah Konstitusi,
membentuk Komisi Yudisial, membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Semua itu untuk
memberikan dasar-dasar substansi bagi hukum agar bisa bekerja baik
sebagai suatu sistem. Semuanya lengkap isinya. Jadi seperti saya
katakan, dari segi substansi, isi hukum kita itu sudah lengkap. Apapun
yang dibutuhkan sudah ada, saya bisa tunjukkan.

Lalu, mengapa masih terkesan tak ada kemajuan berarti?
Persoalan mendasar bagi kita adalah aparat penegak hukum, atau bagian
dari pembangunan struktur mewarisi mental korup, dan itu juga didukung
oleh budaya ketaatan pada hukum dilakukan melalui proses negosiasi, di
luar sidang-sidang resmi, sehingga muncul apa yang disebut mafia
peradilan. Dan itu yang tidak pernah diselesaikan. Kita selalu bicara
soal substansi, tapi tidak pernah bicara soal struktur dan budaya yang
sudah terlanjur tumbuh. Jadi sekarang ini, Anda masih melihat hakim yang
berteriak-teriak mau memberantas korupsi, tertangkap tangan karena
korupsi. Jaksa tertangkap tangan karena kolusi, sehingga banyak yang
digelandang ke pengadilan. Polisi juga masuk penjara karena korupsi
juga. Sehingga terasa bahwa pembangunan hukum ini tidak berjalan sampai
sekarang.

Di bagian mana dari situasi ini yang perlu dibenahi?
Yang paling penting menurut saya adalah penataan birokrasi. Karena
korupsi di judicial system itu hulunya di birokrasi yang tidak beres.
Birokrasi atau aparatur pemerintah. Korupsi terjadi di sana, birokrasi
sudah korup, lalu untuk menyelesaikan kalau tertangkap dibawa ke
pengadilan lalu memakai cara kolusi, dan akhirnya pengadilannya korupsi
juga. Kolusi untuk melakukan korupsi.

Tindakan-tindakan hukum untuk kasus konkrit itu tidak banyak gunanya.
Misalnya, KPK menangkap orang. Berapa yang ditangkap? Setahun paling 10.
Padahal setiap hari kasus ada 10. Dalam satu tahun ratusan. Masa ratusan
kasus atau bahkan ribuan yang ditangkap cuma 10? Kan berarti tidak
banyak gunanya. Korupsi tumbuh di birokrasi setiap harinya dari tingkat
pusat sampai ke daerah. Tindakan hanya sedikit.

Oleh sebab itu harusnya langkah pencegahan dengan cara reformasi
birokrasi. Anehnya semua pemerintahan sejak jaman Habibie sampai
sekarang semuanya berjanji akan memperbaiki birokrasi tapi nggak pernah
ada yang bisa. Kenapa tidak bisa? Saya tidak tahu kenapa. Padahal sudah
jelas masalahnya ada di birokrasi.

Siapa yang paling bertanggung jawab akan hal ini?
Yang paling bertanggung jawab siapa? Pertama, pimpinan masing-masing
unit, itu jelas untuk birokrasi. Kalau secara umum, ya presiden. Tapi
masing-masing pimpinan unit dan lembaga itu harus bisa membersihkan
birokrasi dari anasir-anasir korup itu.

Hal ini juga berlaku untuk sistem yudisial. Pada sistem peradilan, ada
hakim yang menangani teknis yudisial, ada birokrasi yang menangani
administrasi dan proses-proses. Harus dirampingkan dan harus lebih
efisien, tapi juga kalau bisa jangan ada orang-orang yang mewarisi
mental Orde Baru yang memang sudah punya watak struktur hukum dan budaya
hukum yang korup. Dirampingkan nggak ada gunanya kalau orangnya itu-itu
juga. Malah nanti dimakan sendiri. Tapi itu, bagaimana memilih
orang-orang yang bersih.

Harus ada satu titik di mana kita menghentikan dulu sementara
pelaksanaan sistem karir. Artinya diseleksi lagi orang itu jangan karena
orang itu pangkatnya sudah sekian yang harus menjadi kepala ini. Sistem
karir tidak berbasis meritrokrasi. Itu sangat penting untuk menghentikan
proses pewarisan nilai-nilai korup.

Anda punya usul untuk penataan birokrasi ini?
Saya malah pernah mengusulkan dua alternatif untuk menggunting itu. Di
beberapa negara ada kebijakan lustration, artinya memotong generasi
tertentu. Misalnya di salah satu negara Amerika Latin, orang yang
berkarir di zaman korupsi dihentikan diberi pesangon, golden shakehand.
Atas nama undang-undang boleh jangan menjabat lagi. Nggak akan
diapa-apain. Diseleksi, yang dulu sampai di eselon 2, nggak akan naik ke
eselon 1. Eselon 3 ke bawah diseleksi betul karena ini belum tercemar
atau tercemarnya sedikit, belum terlalu terkontaminasi. Bisa diisi dulu
dengan orang-orang yang bersih dan kredibel.

Pun di rekrutmen politik. Para politikus jaman tertentu tidak boleh
berpolitik atau ikut partai politik selamanya. Misalnya, orang yang dulu
berada pada posisi tertentu. Pelaksanaannya harus ketat. Jadi lustrasi
itu adalah pemotongan generasi politik dan generasi birokrasi dalam
waktu tertentu.

Lalu, alternatif kedua?
Alternatif kedua adalah national pardon atau pemutihan massal. Semua
orang yang dulunya bersalah, terlanjur banyak salah diampuni saja.
Karena asumsinya dulu itu bersalah bukan karena watak dia, tapi sistem
tidak dapat dihindari jaman Orde Baru itu. Sekarang diputihkan saja
dengan janji yang dituangkan dalam undang-undang, kalau Anda merasa dulu
korupsi atau menerima suap, silakan kembalikan ke negara sesuka Anda
dengan suka rela, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa, terserah nurani.
Tapi mulai detik ini, jika Anda korupsi lagi maka Anda akan dihukum
mati. Seperti di China.

National pardon secara resmi itu tidak ada. Tapi di Afrika Selatan itu
ada komisi rekonsiliasi dan kebenaran, tidak hanya korupsi tapi juga
pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang dulu diampuni saja. Di China ada
kebijakan hukuman mati untuk koruptor.

Ada tanggapan dari usulan Anda ini?
Saya pernah mengusulkan itu, tapi barangkali terlalu berisiko. Jadi
tidak mendapat tanggapan kecuali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
yang ternyata dibatalkan untuk MK karena dianggap cantolan konstitusinya
tidak jelas. Ya, waktu itu sih sebelum saya jadi MK.

Apakah national pardon ini akan disetujui?
Menurut saya banyak yang setuju. Kan orang juga perlu kepastian.
Birokrat-birokrat yang sekarang dinilai korup dan punya rekening gendut
itu diampuni, tapi awas kalau besok-besok melakukan lagi. Tidak usah
dihukum karena menghukum mereka harus menghukum semua pejabat. Karena
sudah terlanjur kelewat, sesuatu yang menghambat harus menghukum semua
orang. Jadi kalau ada orang yang dihukum dia teriak, ini tebang pilih.
Karena yang lain juga melakukan. Jadi untuk menyelamatkan diri dari
hukum. (Bersambung)

(Wawancara ini juga dimuat dalam jurnal tiga bulanan Strategic Review
edisi April-Juni 2012/Volume 2/Nomor 2)

http://jaringnews.com/politik-peristiwa/interview/13105/mahfud-md-untuk-berantas-korupsi-perlu-potong-satu-generasi-di-birokrasi

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.