Selasa, 17 April 2012

[Koran-Digital] MARGARITO KAMIS: Pasal Berlumpur Lapindo

Pasal Berlumpur Lapindo PDF Print
Wednesday, 18 April 2012
Tidak hanya Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN-P yang telah disetujui DPR
bersama dengan Presiden pada 1 April dini hari, lebih dua minggu lalu,
menjadi UU APBN-P yang konstitusionalitasnya bermasalah.

Pasal 18 UU ini juga bermasalah konstitusionalitasnya. Menariknya,Pasal
18 UU ini lepas dari perhatian publik. Boleh jadi hal itu disebabkan
pasal ini tidak dijadikan fokus perdebatan, apalagi didramatisasi
substansinya secara terbuka pada perdebatan yang begitu panas menjelang
paripurna pengambilan keputusan pada 1 April dini hari itu. Mungkinkah
Pasal 18 itu berkarakter "barter" dengan Pasal 7 ayat (6A)?

Sejujurnya hal itu tidak penting untuk dikenali. Selain faktor itu tidak
mungkin bisa dibuktikan, perkara "barter-barteran" dalam politik
pembentukan undangundang tidak dapat dijadikan pijakan pengecekan
konstitusi onalitasnya. Yang bisa dijadikan pijakan adalah pertimbangan-
pertimbangan dan logika konstitusionalnya, yang diwujudkan menjadi norma
dari undang-undang.

Perkara Lumpur

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 18 ini terdiri atas tiga huruf. Hal itu
diawali dengan norma "untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur
Sidoarjo,alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
tahun anggaran 2012 dapat digunakan untuk (a) pelunasan pembayaran
pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa
(Desa Besuki,Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan), (b) bantuan
kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup,

biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di
luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan
(Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi),(c) bantuan
kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran
pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak
lainnya yang ditetapkan melalui peraturan presiden". Lumpur
Lapindo,begitulah publik mengenal lumpur di Sidoarjo,

yang menyengsarakan itu, yang penanganannya kini diatur dalam pasal di
atas, tentu membuat Pasal 18 ini lumayan mengagumkan. Negara, yang
menurut alinea keempat UUD 1945 didirikan untuk, salah satunya,
menyejahterakan warganya, menunaikan kewajiban etik konstitusionalnya.
Apalagi derita dan duka mereka yang berada di area terdampak dan di luar
peta area terdampak potensial merendahkan harkat dan martabat mereka.

Begitulah seharusnya kita bernegara dan begitu pulalah faedahnya
berpemerintahan. Bernegara dan berpemerintahan bukan sekadar membuat
lembaga negara dan mengoperasikannya menurut teksteks konstitusi yang
sering kali, ketika berada di tangan pemerintah yang mata hatinya mati,
lembaga-lembaga negara itu berubah fungsi menjadi pemangsa paling ganas
terhadap warga negaranya. Sungguh cara yang ditempuh DPR dan Presiden
ini indah pada dirinya. The founding fathers UUD 1945 pada tahun 1945,
puluhan tahun yang lalu,rasanya akan t e rs e nyum syukur atas
kebijakan, yang sekali lagi, seindah ini.

Kisi-Kisi Inkonstitusionalitas

Andai konstitusi membedakan nilai dan timbangan konstitusionalnya
terhadap setiap warga negara, maka konstitusionalisme Pasal 18 itu
sungguh indah dan manis. Sayangnya, tidak demikian nilai dan timbangan
konstitusi atas setiap warga negara. Kenyataannya konstitusi memberi
nilai dan timbangan konstitusional yang sama terhadap siapa pun
sepanjang mereka berstatus warga negara.

Pada titik inilah problem konstitusional muncul, mengintai Pasal 18 UU
APBN-P yang baru diubah dan disetujui bersama antara DPR dengan Presiden
belum lama ini. Mengapa mereka yang sebagian rumahnya tersapu batu
dandebuMerapi,tatkalaGunung Merapi meletus dua tahun lalu, tak membuat
pemerintah dan DPR tergerak merancang dan membentuk pasal yang berspirit
sama dengan Pasal 18 itu dalam APBN atau APBN-P kala itu?

Mengapa orang-orang di sebagian Kampung Melayu, Jakarta Timur,yang dari
tahun ke tahun seolah tertakdir berpelukan erat dengan derita dan duka
setiap kali datang hujan lebat sejam atau dua jam saja tak kunjung
membuat Presiden dan DPR tersentuh rasa etis konstitusionalnya membentuk
pasal berspirit sama dengan Pasal 18 itu?

Bila semburan lumpur dengan daya luberan sejauh itu diberi status hukum
sebagai bencana nasional, mengapa bukan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang ditugasi untuk mengurusnya? Mengapa Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk dan ditugasi
tampaknya diperuntukkan khusus untuk mengurus persoalan ini? Kalaupun
BNPB tidak ditugasi mengurus persoalan itu, mengapa tidak ditugaskan
saja kepada Kementerian Sosial atau Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat?

Apakah norma-norma yang tercantum pada huruf a dan b Pasal 18 itu
ditujukan atau diperintahkan khusus kepada BPLS atau juga Presiden? Bila
norma pada huruf a dan b ditujukan hanya kepada BPLS, maka soal
konstitusional yang muncul adalah dengan hukum apa norma-norma pada
kedua huruf itu dilaksanakan? Soal lain yang tak kalah pentingnya
dilihat dari sudut logika konstitusionalitas adalah norma yang terdapat
pada huruf b dan c Pasal 18 itu.

Pada huruf b terdapat norma "pada sembilan rukun tetangga pada tiga
kelurahan", sementara pada huruf c tidak ada norma itu.Selebihnya sama.
Namun mengapa pada huruf c ditambahkan norma yang bersifat perintah
kepada Presiden membentuk perpres? Mengapa perintah ini tidak
dicantumkan pada huruf a dan b?

Apakah hanya BPLS yang akan menggunakan anggaran APBNP sehingga
pasal-pasal lain dalam UU ini tidak dibentuk norma yang menyebut,
misalnya, kementerian menggunakan anggaran untuk pelaksanaan program dan
atau kegiatannya? Huruf c Pasal 18 ini juga dibelit masalah
lain.Masalahnya adalah kelurahan apa saja yang harus ditetapkan oleh
Presiden melalui perpresnya sebagai kelurahan di luar peta area terdampak,

berstatus sebagai kelurahan penerima bantuan kontrak rumah, bantuan
tunjangan hidup, biaya evakuasi dan lainnya? Soal perpres ini pun bisa
bermasalah.Mengapa tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dengan
peraturan pemerintah (PP)? Bukankah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 telah
menentukan norma pelaksanaan UU harus dengan PP?

Secara konstitusional PP adalah bentuk hukum yang disediakan konstitusi
bagi Presiden untuk mengatur secara lebih terperinci pelaksanaan
sejumlah hal dalam UU, tentu yang didelegasikan secara exprecis verbis
dalam UU itu. Bukankah urusan yang hendak diatur lebih terperinci itu
telah ditetapkan normanya dalam Pasal 18 UU APBN-P yang baru disahkan
itu,yang konsekuensinya pengaturan terhadap urusan itu harus dituangkan
dalam PP,bukan perpres?

DPR tidak bisa memilih bentuk hukum lain selain PP karena pembentukan PP
bukan kewenangan DPR sehingga DPR tidak bisa mendelegasikan sesuatu yang
bukan kewenangannya. Sejujurnya sulit untuk tidak mengatakan Pasal 18 UU
APBNP tahun 2012 ini mengandung serangkaian persoalan konstitusionalitas.

Kekacauan pertimbangan dan inkonsistensi logikakonstitusional,yangtidak
jelas apa pangkal penyebabnya, mengakibatkan pasal ini kehilangan bobot
normatif konstitusionalitasnya. Tentu kekacauan ini tak bisa dibiarkan.
Ada jalan untuk memperbaikinya. Salahsatunya adalahsemua potensi
inkonstitusional pasal ini dipanggungkan, diuji di sidang Mahkamah
Konstitusi.●

MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/487275/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.