Jumat, 13 April 2012

[Koran-Digital] MOH MAHFUD MD: Salah Paham pada Vonis MK

Salah Paham pada Vonis MK PDF Print
Saturday, 14 April 2012
Sore itu, kira-kira dua tahun lalu, saya menonton salah satu televisi
berita yang kebetulan memberitakan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang
baru saja mengucapkan vonis atas satu perkara sengketa kewenangan
antarlembaga negara.

Seorang pendukung pihak yang permohonannya "tidak dapat diterima"dalam
perkara itu terlihat marah-marah saat diwawancarai wartawan. "Ternyata
benar isu di daerah bahwa MK telah diintervensi pemerintah sehingga
'menolak' permohonan kami," kata anggota tim pendukung yang
permohonannya tidak dapat diterima itu. Pendukung yang tampak emosi itu
salah dalam dua hal.

Pertama, anggapannya bahwa MK diintervensi pemerintah sehingga
mengalahkan permohonannya. MK adalah MK yang selalu independen, tak bisa
dipengaruhi siapa pun,termasuk oleh pemerintah. Sejak awal masuk ke MK,
saya sudah menyatakan, MK akan dibangun dengan fondasi independensi,
sebab takkan ada keadilan tanpa independensi peradilan.

Namun, harus diingat, independensi MK bukan hanya independen dan berani
memutus berbeda dengan kepentingan pemerintah, tetapi juga independen
dan berani berlawanan dengan pihak-pihak di luar pemerintah seperti
tekanan DPR, partai politik (parpol),lembaga swadaya masyarakat (LSM)
atau tekanan opini pers. Bagi MK, semua tekanan atau insinuasi yang
bermaksud memengaruhi takkan ada gunanya karena takkan pernah digubris.

Dalam pengalaman saya sampai sekarang, pihak yang mau menekan atau
memengaruhi MK itu justru bukan pemerintah atau DPR dan parpol,melainkan
pihak-pihak di luar itu semisal pihak yang beperkara atau LSM yang tak
jelas atau opini pers. Mereka ini berusaha memengaruhi MK dengan
mengirim surat pernyataan, SMS atau menelepon bahwa pihaknya benar dan
harus dimenangkan.Ada juga yang datang sendiri atau mengirim kurir.

Adakalanya mereka juga mau menekan MK dengan membuat isu bahwa
pemerintah telah menekan MK atau membuat insinuasi di pers bahwa MK
sudah memihak karena tekanan atau karena pengaruh orang kuat. Bagi MK
itu semua angin lalu yang tak pernah mampu memengaruhi independensi MK.
Kedua, pendukung pihak yang kalah itu salah memahami vonis MK karena
terang-terangan dia mengatakan MK "menolak"permohonannya. Padahal MK
menyatakan bahwa permohonan itu "tidak dapat diterima."

Bagi orang yang mengerti sedikit saja tentang hukum, dia pasti tahu
bahwa "ditolak" itu berbeda dengan "tidak dapat diterima". Jika sebuah
perkara divonis "tidak dapat diterima",berarti pokok perkaranya belum
diperiksa karena permohonan itu tidak memenuhi syarat sehingga masih
mungkin diperkarakan lagi meskipun tidak selalu bisa. Permohonan yang
tidak dapat diterima,misalnya, permohonan yang materinya bukan menjadi
wewenang (kompetensi) pengadilan tempat perkara itu diajukan.

Alasan lain dari permohonan yang tidak dapat diterima, misalnya, karena
lewat waktu (kedaluwarsa) atau karena pemohonnya tidak punya kedudukan
hukum (legal standing) untuk memerkarakan masalah tersebut. Kalau di
dalam perkara sengketa kewenangan antarlembaga negara, yang memiliki
legal standing dan bisa mengajukan perkara ke MK adalah lembaga negara
yang kewenangannya diberikan sebagaimana disebut di dalam UUD 1945.

Jadi tidak sembarang orang atau lembaga bisa mengajukan perkara ke MK.
Kalau orang atau lembaga yang mengajukan perkara itu tidak punya legal
standing, perkaranya pasti "tidak dapat diterima" dan bukan
"ditolak."Kalau yang mengajukan perkara itu punya legal standing,
perkaranya "bisa diterima" tapi pokok perkaranya bisa "ditolak" atau
"dikabulkan", tergantung pada pembuktiannya di persidangan.

Dalam pengalaman, banyak orang menyikapi putusan pengadilan tanpa paham
nomenklatur atau istilah-istilah resmi yang harus dipergunakan di dalam
hukum. Baru-baru ini ada kesalahpahaman yang agak serius saat MK
mengabulkan permohonan uji materi atas UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Di dalam putusan itu disebutkan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan memiliki "hubungan keperdataan" bukan hanya dengan
ibunya, tetapi juga dengan ayah biologisnya.

Situasi agak runyam karena kemudian ada pihak yang menyamakan begitu
saja istilah hukum "hubungan keperdataan" dengan "hubungan nasab".
Padahal hubungan keperdataan itu tidak selalu berarti hubungan nasab.
Hubungan keperdataan memang bisa melahirkan hubungan nasab, tetapi tidak
semua hubungan keperdataan itu melahirkan hubungan nasab. Dalam hal
perkawinan misalnya, anak yang lahir di luar perkawinan tetapi
pernikahannya dilakukan secara sah menurut agamanya (seperti kawin
siri), maka hubungan keperdataannya adalah hubungan nasab.

Tapi anak yang lahir di luar perkawinan karena perzinaan, perkosaan,
atau bayi tabung yang bukan sperma suaminya tidak bisa memiliki hubungan
nasab. Anak-anak seperti itu hanya bisa mempunyai hubungan keperdataan
di luar hubungan nasab,seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Masalah ini di dalam hukum sebenarnya sangatlah elementer sehingga kalau
di fakultas hukum sudah diajarkan sejak tahun pertama mahasiswa ikut
kuliah. Kegaduhan kerap kali terjadi karena ketidakpahaman dan
ketidakpahaman kerap kali ditimbulkan oleh cara melihat konsep satu
bidang dari bidang yang berbeda.● MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/486342/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.