Minggu, 01 April 2012

[Koran-Digital] MOHAMAD SOBARY: Rakyat Tetap Jadi Bulan-bulanan

Rakyat Tetap Jadi Bulan-bulanan PDF Print
Monday, 02 April 2012
Dari Pelita ke Pelita berikutnya dan dari zaman reformasi ke zaman
reformasi lebih lanjut, rakyat tetap menjadi bulan-bulanan permainan
politik para begundal hawa nafsu, yaitu mereka yang berkuasa atas orang
lain tapi tak pernah berkuasa atas diri mereka sendiri.


Kehidupan rakyat sudah sangat berat sejak abad ke-18 ketika mereka
dibebani kewajiban kerja paksa dan membayar upeti kepada para ngabehi.
Lebih dari itu, di kawasan daerah makmur di Banyumas selatan, khususnya
di sekitar pasar utama Jeruk Legi, rakyat hidup di bawah ancaman
menakutkan. Desa-desa mereka selalu dijarah-rayah oleh para perompak
dari Bali, Bugis, dan Timor.

Para perompak itu juga menangkap warga desa untuk dikerjapaksakan
sebagai awak kapal perompak atau dijual kepada para kapten kapal Inggris
di Malaka.Kehidupan desa itu pun tak pernah betul-betul pulih kembali
selama belasan tahun kemudian. Dari 12 desa yang penghuninya mencapai
13.000 jiwa itu, hanya tinggal tiga desa yang tetap berpenghuni.Akibat
serbuan perombak tersebut, desa itu tak pernah betul-betul pulih
kembali. Sejak saat itu dua sersan Hungaria ditempatkan di Nusa
Kambangan untuk memberi peringatan tentang adanya serangan para perompak.

Kita diberi kesan,datangnya "perlindungan" pemerintah jajahan itu
membuat rakyat menjadi lebih aman karena para perompak tak ada yang
datang lagi. Itu gambaran pemikiran kaum penguasa, yang harus
memaksimalkan arti dari apa yang telah dilakukannya. Tapi rakyat
berpikir lain. Mereka melihat persoalan lebih tajam, lebih jernih:
terang saja para perompak tak menjarah rayah desa-desa mereka lagi. Tapi
harus dicatat,hal itu bukan terutama karena perlindungan penguasa telah
membuat mereka ketakutan, melainkan karena di desa itu memang sudah tak
ada lagi barang yang bisa dirampas dengan kekerasan.

Itu catatan sejarawan Peter Carey di dalam buku Kuasa Ramalan yang
memfokuskan diri pada Perang Jawa,yang juga dikenang sebagai
Pemberontakan Pangeran Diponegoro. Sejarawan itu mengutip pendapat
Baker, sebagaimana dapat kita cek kembali dalam buku tersebut di halaman
24. Para budak nafsu yang jahat itu tentu saja mati,tapi penjahat baru
yang juga merupakan budak nafsu dilahirkan lagi di dunia ini. Dengan
begitu, corak kehidupan seolah tak berubah.

Tata pemerintahan negara bisa berganti menjadi republik. Governance yang
ditampilkannya bisa saja kelihatan transparan dan demokratis seperti
kita alami di zaman sesudah reformasi ini. Tapi mereka yang berkuasa
sekarang sukar diharapkan untuk betul-betul berubah lebih melindungi
warga, lebih manusiawi, lebih adil. Penguasa, yang juga membaca buku
politik, dan tahu bahwa mereka memanggul mandat kerakyatan, lebih suka
membiarkan apa yang diketahuinya berhenti di pengetahuan sementara.

Dan pengetahuan tak ada hubungannya dengan tindakan perlindungan
terhadap rakyat. Memang betul, sekarang ini para perompak dari Bali,
Bugis, Timor tidak lagi menjarah desadesa lewat jalan laut atau selat
atau sungai. Perompak yang dulu berasal hanya dari tiga daerah itu
sekarang bertambah banyak. Mereka datang dari etnik mana pun. Dan
penjarahan bukan dilakukan di desa-desa,yang sudah tak memiliki apa pun
yang pantas dijarah, melainkan di kota, di Senayan, lewat penjarah baru
yang status politik resminya mentereng, gagah, dan sah secara hukum,sah
secara politik.

Selebihnya penjarah macam itu juga terdapat di jajaran eksekutif. Mereka
ahli memainkan peran menjarah rakyat,tapi tak jarang, orang-orang ahli
ini masih harus bekerja sama dengan kubu Senayan. Mereka berbagi wilayah
jarahan dan berbagi tanggung jawab, terutama jika salah satu di antara
mereka tertangkap. Tanggung jawab? Ya,mereka yang tertangkap harus
dilindungi.

Harus ada kekuatan pendukung yang menyatakan bahwa penjarah yang
tertangkap itu bukan penjarah, melainkan orang suci, keturunan
rohaniwan, ada hubungan—darah maupun perkawinan—dengan para ahli surga
yang "maksum", yang tak tersentuh dosa. Pernyataan macam itu harus
diteriakkan para pendukung setia dan dia sendiri juga harus berani
bersumpah, siap digantung, siap diapakan saja kalau terbukti
menjarah.Politik harus tangkas mengubah kebusukan menjadi sejenis aroma
terapi. Pendek kata mereka itu profesional. Mereka ahli membalikkan
fakta,ahli memanipulasi apa saja,termasuk kitab suci,selama masih ada
lowongan manipulasi.

Orang-orang itu ibarat pemburu tak berdarah yang menyandang bedil, bukan
untuk memburu binatang buas di rimba raya,melainkan memburu binatang
piaraan yang jinak dan tak berdaya. Dengan sendirinya, yang dimaksud
buruan jinak tak berdaya itu rakyat.Dan benar,yang namanya rakyat itu
memang sudah tak berdaya sejak lama. Mereka, rupanya, sudah dikebiri
oleh birokrasi dan para penguasa yang lebih suka melindungi diri sendiri
daripada melindungi orang banyak yang bernama rakyat tadi.

Maka, catatan harus diperluas: bukan hanya dari Pelita ke Pelita atau
dari zaman reformasi ke reformasi berikutnya, melainkan dari abad ke
abad, rakyat tak pernah diperbolehkan berdaulat. Sampai hari ini, ketika
kita bicara perkara harga bahan bakar minyak (BBM). Karena suara lain
yang tak sama dengan suara pemerintah lebih besar,rencana menaikkan
harga BBM pun batal.Pemerintah kalah. Suara kaum oposisi menang. Dan
dengan bangga pemerintah menyatakan inilah tanda bahwa kami memerintah
secara demokratis.

Demokratis? Apa gunanya demokratis dalam percaturan politik yang dampak
ekonominya nyata-nyata menekan rakyat macam ini? Hanya kedunguan politik
tanpa kesadaran moral yang menilai hal itu berguna. Apanya yang berguna
kalau harga BBM jadi naik atau tidak, efek ekonominya tetap berat bagi
rakyat? Siapa yang tak menyadari bahwa diskursus politik kaum elite ini
betul-betul sudah membikin harga semua jenis barang telanjur naik dan
bahwa kehidupan ekonomi rakyat makin terhimpit? Politisi macam apa
mereka bila tak sensitif memahami perkara sederhana ini?

Dari abad ke abad, raja-raja di Jakarta boleh datang dan pergi. Parlemen
boleh mengganti anggotanya kapan saja.Tapi kemiskinan rakyat tak pernah
pergi dan tak ada pihak yang mampu dan mau membikin kondisi kehidupan
macam itu berganti menjadi lebih enak. Dariabadke abad,hinggahari
ini,rakyat dibiarkan hidup tanpa pelindung, tanpa pembela. Dari hari ke
hari rakyat seperti pengemis jalanan yang makin sadar bahwa mereka tak
punya pemerintah.

Tapi sementara itu mereka tahu, anggaran besar yang dikuasai orang
Senayan dan jajaran pemerintahan ibaratnya langsung dijarah-rayah di
antara sesama mereka sendiri. Dan kelihatannya tak ada yang betulbetul
menaruh rasa peduli terhadap keburukan ini. Dari abad ke abad,rakyat tak
terurus, tertekan, dan melarat, serta tetap menjadi bulanbulanan. ●

MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482503/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.