Jumat, 13 April 2012

[Koran-Digital] Morissan: Haruskah Paranoid kepada TV Swasta?

Haruskah Paranoid kepada TV Swasta?
Morissan Kandidat PhD pada School of Communication, Universiti Sains
Malaysia

SEJAK diberlakukan 10 tahun yang lalu, Undang-Undang Penyiaran No 32
Tahun 2002 telah berperan penting meningkatkan jumlah lembaga penyiaran
televisi dan radio di Tanah Air secara signifikan.

Hal yang paling mencolok ialah munculnya banyak stasiun TV lokal di
berbagai penjuru Tanah Air yang jumlahnya kini diperkirakan telah
mencapai lebih dari 200 stasiun.

Namun selama perjalanannya sejak dilahirkan hingga kini, undang-undang
(UU) itu telah menimbulkan banyak perdebatan dalam pelaksanaannya, mulai
perdebatan mengenai keberadaan lembaga penyiar an, kewenangan pemerintah
dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pelaksanaan sistem penyiaran
berjaringan, isu kepemilikan, hingga perdebatan mengenai implementasi
yang belum jelas dari UU itu.

Sebagian perdebatan itu te lah bisa diselesaikan (atau setidak-tidaknya
tampak terselesaikan) dan sebagian lain belum. Belakangan ini muncul ide
untuk merevisi UU itu. DPR saat ini dikabarkan tengah menampung masukan
dari berbagai pihak bagi kemungkinan rencana revisi UU penyiaran itu.

Salah satu isu mengemuka yang membayangi rencana revisi UU penyiaran
ialah isu kepemilikan, terutama masalah konsentrasi kepemilikan lembaga
penyiaran khususnya kepemilikan pada lembaga penyiaran televisi swasta.
Fenomena yang terjadi belakangan ini, yaitu pembelian saham (akuisisi)
suatu lembaga penyiaran oleh pemilik lembaga penyiaran lain, telah
menarik perhatian sejumlah kalangan terutama para pengamat, akademisi,
dan organisasi kemasyarakatan tertentu yang memberikan perhatian kepada
perkembangan media massa.

Perhatian mereka tertuju pa da fenomena perubahan kepemilikan dan
kontrol terhadap stasiun TV nasional.

Jika pada awalnya terdapat 10 lembaga penyiaran televisi swasta yang
dikontrol 10 pemilik, sekarang ke-10 lembaga penyiaran itu 'hanya'
dikontrol lima pemilik. Mereka menentang perkembangan ini karena
khawatir akan mengancam de mokratisasi media, mengancam prinsip
keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), dan keragaman isi
media (diversity of content). Terlebih menjelang pertarungan politik
Pemilu 2014, sebagian pihak merasa khawatir pemilik media akan dapat
dengan mudah

mengendalikan opini publik untuk kepentingan pemilik a atau partai
politik tertentu y yang dekat dengan pemilik media tertentu.
Pertanyaannya sekarang ialah: apakah kekhawatiran itu beralasan? Apakah
kekhawatiran itu didukung data-data akademik ataukah sakadar persepsi?
Dewasa ini banyak orang berpandangan keliru dengan menganggap media
massa segala-galanya. Terdapat pan dangan bahwa politisi atau partai
politik yang menguasai media massa, khususnya televisi, pasti akan
memenangi pertarungan politik (pemilu).
Itu merupakan pandangan yang sering kali keliru.

Kita masih ingat, dalam persaingan merebut posisi Ketua Umum Partai
Demokrat, Andi Mallarangeng yang me nguasai dan mendominasi iklan
kampanye di berbagai stasi un televisi kala itu harus kalah dari Anas
Urbaningrum yang jumlah iklannya jauh lebih kecil.
Fakta juga menunjukkan banyak calon gubernur, bupati/wali kota peserta
pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) yang mengeluarkan iklan lebih
besar ternyata harus kalah dari pesaing lain yang dana iklannya lebih kecil.

Peraturan penyiaran di banyak negara di dunia mengakui keberadaan
televisi swasta yang diberi sifat komersial. Tujuan utama lembaga
penyiaran swasta ialah mendapatkan pemasang iklan. Kepentingan publik
hanya dapat dipuaskan selama kepentingan itu sejalan dengan kepentingan
pemasang iklan. Dengan alasan itulah banyak negara memiliki stasiun
televisi dan radio publik untuk mengimbangi `pengaruh' televisi
komersial. UU memberikan sifat independen, netral, dan tidak komersial
kepada lembaga penyiaran publik. Kewajiban untuk menjadi `independen'
dan `netral' merupakan kewajiban lembaga penyiaran publik, bukan lembaga
penyiaran swasta. Itu berlaku di negara demokratis mana pun. Politisi
atau orang yang terkait dengan partai politik dilarang keras memegang ja
batan di lembaga penyiaran publik. Namun, hal itu tidak berlaku di
lembaga penyiar an swasta. Siapa pun boleh mendirikan dan memiliki
lembaga penyiaran swasta termasuk poli tisi atau tokoh partai politik.

Tentu saja po litisi pemilik lembaga pe nyiaran, atau politisi yang de
kat dengan pemilik lembaga penyiaran, cenderung memanfaatkan media
mereka untuk mencapai tujuan politik.
Namun perlu diketahui, hal itu normal-normal saja di negara demokratis.
Jika ada pihak yang berpandangan kon disi itu merupakan hal yang tidak
normal, justru itu yang aneh. Lembaga penyiaran yang ber pihak ke suatu
partai politik merupakan hal yang sah-sah saja karena hal itu juga
berlaku di banyak negara demokratis lainnya, bahkan di negara-negara
yang tingkat demokrasinya lebih maju daripada Indonesia.

Di Italia, politikus dan pengusaha media, Silvio Berlusconi,
memanfaatkan jaringan media massa yang dimilikinya untuk mendukung
kampanye pemilu sehingga ia terpilih sebagai PM. Itulah keuntungan
politisi yang memiliki jaringan media massa. Analogi yang sama juga
berlaku pada calon incumbent (masih menjabat) yang memiliki peluang
lebih baik untuk dapat kembali memenangi pemilu, kecuali jika pesaingnya
kandidat yang luar biasa.

Namun di lain pihak, memiliki media dan menjadi incumbent tidak otomatis
menjadi jaminan meraih kemenangan dalam pemilu. Di Inggris, raja media
Rupert Murdoch memanfaatkan jaringan media miliknya untuk mendukung
pemerintah yang berkuasa.

Namun, surat kabar The Sun, milik Rupert Murdoch, pernah pula secara
terang-terangan menyatakan menarik dukungannya kepada Partai Buruh yang
berkuasa dan mengalihkannya kepada David Cameron dari Partai Konservatif
yang berkuasa saat ini.

Pandangan yang mengkhawatirkan terjadinya penggalangan opini publik
sebagai akibat dari konsolidasi dan akui sisi kepemilikan media massa
terasa berlebihan, jika tidak ingin dikatakan paranoid.

Masyarakat dianggap tidak me miliki kemampuan berpikir dan menganalisis
sendiri.

Masyarakat dianggap tidak mampu memilah media mana yang objektif dan
independen serta media mana yang memiliki agenda politik. Begitulah
media di era demokrasi, maka jangan paranoid.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/14/ArticleHtmls/Haruskah-Paranoid-kepada-TV-Swasta-14042012012004.shtml?Mode=1


--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.