Selasa, 10 April 2012

[Koran-Digital] MORISSAN: Haruskah Paranoid pada TV Swasta?

Haruskah Paranoid pada TV Swasta? PDF Print
Wednesday, 11 April 2012
Sejak diberlakukan 10 tahun yang lalu, Undang-Undang Penyiaran No 32
Tahun 2002 telah berperan penting meningkatkan jumlah lembaga penyiaran
televisi (TV) dan radio di Tanah Air secara signifikan.


Hal yang paling mencolok adalah munculnya banyak stasiun TV lokal di
berbagai penjuru Tanah Air yang jumlahnya kini diperkirakan telah
mencapai lebih dari 200 stasiun. Namun,selama perjalanannya sejak
dilahirkan hingga kini,undang-undang (UU) ini telah menimbulkan banyak
perdebatan dalam pelaksanaannya. Belakangan ini muncul ide untuk
melakukan revisi terhadap UU ini.

DPR saat ini dikabarkan tengah menampung masukan dari berbagai pihak
bagi kemungkinan rencana revisi UU Penyiaran ini. Salah satu isu
mengemuka yang membayangi rencana revisi UU Penyiaran adalah isu
kepemilikan, terutama masalah konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran,
khususnya kepemilikan pada lembaga penyiaran televisi swasta.Perhatian
tertuju pada fenomena perubahan kepemilikan dan kontrol terhadap stasiun
TV nasional.

Jika pada awalnya terdapat 10 lembaga penyiaran televisi swasta yang
dikontrol oleh 10 pemilik, sekarang 10 lembaga penyiaran itu dikontrol
oleh 'hanya' lima pemilik.Para penentang khawatir perkembangan ini akan
mengancam demokratisasi media,mengancam prinsip keberagaman kepemilikan
(diversity of ownership), dan keragaman isi media (diversity of content).

Terlebih menjelang pertarungan politik Pemilu 2014, sebagian pihak
merasa khawatir, pemilik media akan dapat dengan mudah mengendalikan
opini publik untuk kepentingan pemilik, atau partai politik tertentu
yang dekat dengan pemilik media tertentu. Pertanyaan sekarang, apakah
kekhawatiran ini beralasan?

Pengaruh Media

Studi media massa yang membahas pengaruh atau efek media terhadap opini
publik telah dilakukan para ahli komunikasi berpuluh tahun lamanya di
berbagai negara. Di Indonesia pandangan para sarjana komunikasi mengenai
pengaruh media pada masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok: kritis
dan positivis.

Kelompok kritis mendasarkan pemikirannya pada gagasan Karl Marx dan para
pengikutnya yang cenderung memandang negatif media karena efeknya yang
besar, dan dianggap sebagai kepanjangan tangan pemilik modal untuk
"menindas" masyarakat. Pemikiran ini merupakan mayoritas di Indonesia.

Sayangnya, pemikiran para tokoh kritis mulai dari era Frankfurt School
hingga tokoh-tokoh seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jean
Baudrillard, Jaqcues Derrida, hingga Vincent Moco ternyata tidak
didukung atau kurang ditunjang dengan datadata atau bukti ilmiah. Dengan
kata lain, mereka lebih banyak hanya berwacana tanpa ditunjang data
empiris dan objektif.

Sebaliknya,kelompok positivis mendasarkan pemikirannya berdasarkan
berbagai hasil penelitian ilmiah selama puluhan tahun sehingga
menghasilkan berbagai teori terkenal di bidang media dan komunikasi
massa seperti teori penggunaan dan kepuasan media atau
uses-and-gratification theory (oleh Katz, Blumler, dan Gurevitch),
agenda setting (McComb dan Shaw), kultivasi (Gerbner), perubahan sikap
(Hovland), dan sebagainya.

Para pemikir yang masuk dalam kelompok ini memandang media massa,
termasuk televisi, memberikan pengaruh terbatas (minimal) pada
masyarakat demokratis. Teori-teori yang mereka kemukakan tidak
menunjukkan ada pengaruh besar media televisi kepada penonton. Hal ini
karena penonton televisi bersifat bebas dan aktif dalam menggunakan
media; latar belakang dan sifat individu menentukan kebutuhan mereka
terhadap media.

Media juga harus bersaing dengan media lain dan sumber kepuasan lain
untuk menarik perhatian penonton. Pandangan yang menyatakan bahwa
politisi atau partai politik yang menguasai media massa, khususnya
televisi, pasti akan memenangkan pertarungan politik (pemilu) merupakan
pandangan yang seringkali keliru.

Kasus korupsi oleh Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat,
mengingatkan kita pada bagaimana ketika itu Andi Mallarangeng yang
menguasai dan mendominasi iklan kampanye di berbagai stasiun televisi
terpaksa harus mengakui kekalahannya merebut posisi ketua umum dari para
pesaing yang jumlah iklannya jauh lebih kecil. Fakta juga menunjukkan
bahwa banyak calon gubernur, bupati/wali kota peserta pemilihan kepala
daerah (pilkada) yang mengeluarkan iklan lebih besar ternyata harus
kalah dengan pesaing lain yang dana iklannya lebih kecil.

Posisi TV Swasta

UU Penyiaran di Indonesia, dan peraturan di bidang penyiaran di berbagai
negara di dunia, mengakui keberadaan televisi swasta dan diberi sifat
komersial oleh negara. Di negara demokratis mana pun televisi swasta
ada. Di Indonesia lembaga penyiaran dibagi ke dalam empat kategori:
swasta, publik, komunitas, dan berlangganan. Pembagian semacam ini juga
berlaku di banyak negara. Tujuan utama lembaga penyiaran swasta adalah
mendapatkan pemasang iklan.

Kepentingan publik hanya dapat dipuaskan selama kepentingan itu sejalan
dengan kepentingan pemasang iklan. Dengan alasan inilah, mengapa banyak
negara memiliki stasiun televisi dan radio publik untuk mengimbangi
"pengaruh"televisi komersial. Politisi atau orang yang terkait dengan
partai politik dilarang keras memegang jabatan di lembaga penyiaran
publik.Namun, hal ini tidak berlaku di lembaga penyiaran swasta.

Siapa pun boleh mendirikan dan memiliki lembaga penyiaran swasta
termasuk politisi atau tokoh partai politik. Ada yang mengatakan, media
yang dimiliki figur politisi jelas sangat rentan dimanfaatkan mendukung
kepentingan politik pribadi atau kelompok.Pernyataan ini kurang
tepat.Yang tepat adalah media yang dimiliki figur politisi memang akan
dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan politik pribadi atau kelompok.

Tentu saja para politisi pemilik lembaga penyiaran, atau politisi yang
dekat dengan pemilik lembaga penyiaran, akan memanfaatkan media mereka
untuk mencapai tujuan politik mereka. Namun perlu diketahui, hal ini
normalnormal saja di negara demokrasi.

Pengalaman Negara Lain

Di Italia politisi dan pengusaha media, Silvio Berlusconi, memanfaatkan
jaringan media massa yang dimilikinya untuk mendukung kampanye pemilu
sehingga dia terpilih sebagai perdana menteri. Perusahaan media
Berlusconi, Mediaset, memiliki tiga stasiun televisi nasional yang
ditonton 45% penonton TV Italia. Berlusconi juga memiliki surat kabar
besar, Giornale, dan majalah berita, Panorama.

Berlusconi melakukan kampanye besar-besaran lewat iklan di ketiga
jaringan TV-nya. Partai politiknya,Forza Italia, memenangkan pemilu dan
menjadi partai yang menduduki peringkat pertama dengan 21% suara
populer. Berlusconi diangkat menjadi perdana menteri pada 1994. Inilah
keuntungan politisi yang memiliki jaringan media massa. Di lain pihak
politisi yang tidak memiliki media akan mendekati pemilik media atau
sebaliknya pemilik media akan mendekati politisi.

Di Inggris raja media Rupert Murdoch memanfaatkan jaringan media
miliknya untuk mendukung dua perdana menteri, Margaret Thatcher dan John
Major.Keduanya dari Partai Konservatif. Dukungan diberikan selama
pemerintahan mereka yaitu sejak akhir 1980-an hingga pertengahan
1990-an. Ketika Tony Blair dari Partai Buruh menguasai pemerintahan,
Murdoch dan medianya mengalihkan dukungannya kepada partai politik yang
berkuasa ketika itu.

Hubungan mesra ini berakhir ketika salah satu surat kabar milik Murdoch,
The Sun, secara terang-terangan menyatakan menarik dukungannya kepada
Partai Buruh yang berkuasa dan mengalihkannya kepada David Cameron dari
Partai Konservatif yang berkuasa saat ini. Kedua contoh di Italia dan
Inggris tersebut menunjukkan hubungan media dengan politik merupakan
sesuatu yang lumrah di negara-negara demokrasi.

Hubungan tarik ulur media dan politik merupakan bagian dari dinamika
demokrasi. Di Indonesia kedekatan hubungan pemilik media dengan partai
politik juga bukan sesuatu yang aneh. Pandangan beberapa kalangan yang
mengkhawatirkan terjadi penggalangan opini publik sebagai akibat dari
konsolidasi dan akuisisi kepemilikan media massa terasa berlebihan jika
tidak ingin dikatakan paranoid.

Masyarakat dianggap tidak memiliki kemampuan berpikir dan melakukan
analisis sendiri. Masyarakat dianggap tidak mampu untuk memilah media
mana yang objektif dan independen, dan media mana media yang memiliki
agenda politik.Inilah demokrasi, jangan paranoid. MORISSAN Kandidat PhD
pada School of Communication, Universiti Sains Malaysia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/485406/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.