Selasa, 03 April 2012

[Koran-Digital] REFI KUNAEFI: Urgensi Memangkas Subsidi

Urgensi Memangkas Subsidi
I REFI KUNAEFI Mahasiswa Master of Energy and Environment, Ecole des
Mines de Nantes, Prancis

Sejarah panjang produksi minyak Indonesia diawali oleh J Reerink (1871)
yang menemukan rembesan mi nyak di lereng Gunung Ci remai, Cirebon.
Pengeboran empat sumur yang dilakukannya dengan bantuan tenaga lembu
tersebut menghasilkan 6.000 liter minyak. Sejak itu, banyak perusahaan
swasta asing yang "bermain" dalam industi emas hitam di Indonesia.

Orde baru merupakan periode keemasan industri minyak Indonesia. Pada
awal masa itu, produksi minyak Indonesia mencapai 500 kbpd (thousand
barrels per day) dengan konsumsi yang tidak sampai setengahnya.
Kemudian, pada rentang waktu 1973-2000 produksi ratarata minyak
Indonesia mencapai 1,5 mbpd (million barrels per day) dengan konsumsi
200 kbpd (1973) dan meningkat sampai 1,1 mbpd (2000) (BP Statistical
Review, 2011). Surplus tersebut menjadikan Indonesia menjadi pemain
penting dalam industri perminyakan internasional.

Sayangnya, sejak 2003, Indonesia mulai menjadi negara pengimpor minyak
karena mengalami defisit produksi. Konsumsi minyak kita saat ini 1,4
mbpd, jauh melebihi lifting yang hanya mencapai 930 kbpd. Bahkan,
kecenderungan yang ada sekarang menunjukkan bahwa defisit minyak kita
akan semakin besar dari tahun ke tahun disebabkan kapasitas produksi
yang menurun tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi yang karena
pertumbuhan jumlah penduduk.
Pengurangan subsidi Saat ini, harga pasar BBM kelas paling rendah
(Premium) hanya sekitar setengah dari harga keekonomiannya.
Hasilnya, pemerintah dari tahun ke tahun memberikan subsidi untuk
membayar selisih harga pasar dan harga produksi tersebut. Dua tahun
terakhir, subsidi energi (BBM dan listrik) mencapai 20 persen belanja
pemerintah pusat (Data Pokok APBN 2006-2012, Kemkeu). Menyikapi isu
kenaikan BBM untuk mencegah bertambahnya subsidi (atau juga pengurangan
subsidi) BBM, penulis mendukung rencana pemerintah tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa subsidi energi mesti dikurangi. Pertama,
dalam RAPBN 2012, beban subsidi energi mencapai Rp 168,5 triliun (Rp
123,5 triliun untuk BBM), dengan asumsi makro bahwa harga minyak dunia
adalah 90 dolar AS per barel dan lifting minyak Indonesia 950 kbpd.
Nyatanya, sampai maret 2012 harga minyak dunia mencapai 120 dolar AS dan
defisit 20 kbpd dari target lifting. Selain itu, harga minyak dunia bisa
saja terus meningkat mengingat ketegangan Iran melawan sanksi Amerika
dan Uni Eropa belum menunjukkan perbaikan berarti.

Perbedaan asumsi harga minyak awal dan aktual inilah yang menyebabkan
beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 190 triliun, jika tidak ada
intervensi yang dilakukan pemerintah. Dalam kasus ini, beban negara akan
terlalu besar dan menimbulkan defisit anggaran yang lebih besar lagi.
Tentu kita tidak ingin krisis di beberapa negara Eropa, yang terjadi
saat ini, dan disebabkan oleh defisit anggaran berlebih dibanding PDB
terjadi juga di Indonesia dalam waktu dekat.

Akan lain ceritanya jika kita sedang berada pada masa keemasan
sebelumnya di mana kapasitas produksi kita (1,5 mbpd) jauh melebihi
konsumsi (400 kbpd) pada tahun '70-an. Saat itu, karena setiap kenaikan
satu dolar AS harga minyak per barel akan menghasilkan 400 miliar dolar
AS tambahan pemasukan negara setiap tahunnya.

Kedua, pemerintah tidak layak memberikan subsidi tambahan tersebut yang
notabennya tidak tepat sasaran. BBM selama ini lebih banyak dinikmati
oleh golongan menengah ke atas yang memiliki kendaraan bermotor.
Ketersediaan energi murah ini menstimulus banyak hal lain yang
kontraproduktif dengan pembangungan berkelanjutan--yang paling menonjol
adalah melonjaknya pasar industri otomotif, yang berarti mandeknya
perkembangan transportasi umum. Selain itu, beban subsidi tambahan akan
menghambat pertumbuhan di sektor lain karena kurangnya investasi yang
dialokasikan. Akan lebih bijak jika kita mengalokasikan subsidi tambahan
tersebut, beserta penghematan anggaran lainnya, untuk lebih agresif
mengembangkan energi terbarukan seperti yang tertuang dalam rencana
bauran energi Indonesia 2025. Sampai saat ini, target-target untuk
mencapai tujuan tersebut belum signifikan.

Ketiga, rencana pemerintah yang akan memberikan empat paket kompensasi
kenaikan BBM selama beberapa bulan adalah tindakan yang tepat sasaran.
Penambahan jatah beras rakyat (raskin), BLSM (Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat), dan kompensasi transportasi sampai lima triliun rupiah akan
mampu membantu hampir 20 juta masyarakat yang tidak mampu untuk
menghadapi kenaikan harga barang di periode awal setelah kebijakan
kenaikan harga BBM diterapkan.

Namun demikian, setelah menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban
subsidi, pemerintah harus memprioritaskan pembangungan di berbagai
bidang lain. Penyediaan transportasi umum yang layak dan profesional,
investasi lebih pada sumber energi alternatif untuk kendaraan, seperti
dengan penyediaan teknologi gas converter, serta pengembangan dan
pemanfaatan yang lebih maksimal sumber energi terbarukan, seperti
microhydro dan geothermal adalah keharusan. Beberapa langkah tersebut
dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM secara signifikan.

Dengan kenaikan harga pasar BBM ini, masyarakat juga menuntut pemerintah
untuk melakukan pemberantasan korupsi dan mafia anggaran yang menjadikan
pembangunan Indonesia lamban.
Sekarang, kita tinggal menunggu keberaniaan pemerintah untuk mengambil
kebijakan yang tidak populer ini dengan tujuan besar untuk menyelamatkan
negara. Tapi perlu diingat, jangan sampai kepercayaan masyarakat
dikhianati dengan korupsi-korupsi berbagai program kompensasi yang
dijanjikan.

http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/04/04/ArticleHtmls/Urgensi-Memangkas-Subsidi-04042012004003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.