Kamis, 29 Maret 2012

[Koran-Digital] BIYANTO : Sanksi Sosial pada Koruptor

Sanksi Sosial pada Koruptor PDF Print
Friday, 30 March 2012
Desakan agar hukuman terhadap koruptor diperberat terus bergulir. Di
samping dihukum berdasarkan perundang-undangan, koruptor juga harus
diberi sanksi sosial.

Itu perlu dilakukan untuk memberikan efek jera pada siapa pun yang
berniat korupsi. Beberapa tokoh yang pernah mengutarakan gagasan ini
adalah Din Syamsuddin (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Said Aqil
Siraj (Ketua PBNU), Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi), dan Todung
Mulya Lubis (praktisi hukum).

Wacana mengenai pentingnya sanksi sosial ini sekaligus menjadi sindiran
bagi aparat penegak hukum. Pasalnya,aparat penegak hukum sepertinya
tidak berdaya jika berhadapan dengan koruptor, terutama koruptor kelas
kakap.Sebaliknya pada koruptor kelas teri, aparat hukum kelihatan sangat
tegas. Akibatnya muncul persepsi di masyarakat bahwa hukum itu jika ke
bawah sangat tajam, tetapi jika ke atas tumpul sekali.

Jika mengacu pada fikih (hukum Islam),memang belum ditemukan padanan
kata yang tepat untuk korupsi. Hal ini disebabkan korupsi muncul dalam
budaya masyarakat modern. Sementara itu,khazanah yang berkembang dalam
fikih masih banyak yang merujuk pada era klasik.Tetapi karena substansi
korupsi adalah perbuatan melanggar hukum dan norma agama, maka dapat
dianalogikan dengan perbuatan yang dikenal dalam khazanah fikih.

Beberapa istilah dalam hukum Islam yang dapat dianalogikan perbuatan
korupsi adalah ghulul (mengambil harta secara tersembunyi), risywah
(suap-menyuap), saraqah( pencurian),ghasab(mengambil dengan cara
paksaan), dan hirabah (perbuatan yang merusak tatanan masyarakat).
Berdasarkan pengertian korupsi dalam hukum positif dan konsep kejahatan
terhadap harta benda, dalam hukum Islam dapat ditemukan beberapa kesamaan.

Pertama, adanya tasharruf yaitu perbuatan yang berarti menerima,
memberi, dan mengambil. Kedua, adanya pengkhianatan terhadap amanat
kekuasaan. Ketiga, adanya kerugian yang ditanggung masyarakat.
Berdasarkan hal itu maka tidak berlebihan jika dalam perspektif fikih
dikatakan bahwa korupsi adalah tindakan menyalahi hukum dan bentuk
pengkhianatan atas amanah yang dapat menimbulkan kerugian publik. Salah
satu ekspresi perbuatan korupsi adalah suap.

Contoh perbuatan yang masuk kategori suap dalam konteks kekinian adalah
pemberian uang yang dilakukan para calon saat pemilihan kepala daerah
(pilkada). Demikian juga dengan sumbangan pimpinan partai politik atau
pejabat negara pada lembaga sosial seperti masjid, madrasah, panti
asuhan, dan pesantren. Berbagai bentuk sumbangan ini dapat dikategorikan
suap, jika pemberinya memiliki agenda terselubung untuk memperoleh
posisi strategis di legislatif dan eksekutif.

Apalagi jika sumbangan itu ternyata bukan berasal dari uang pribadi,
melainkan dari uang rakyat yang masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja
Negara/Daerah (APBN/D). Karena dampak yang ditimbulkan begitu berbahaya,
korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan fasad (merusak). Tindakan
korupsi juga dapat mengancam harta sekaligus jiwa banyak orang. Karena
itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi dapat mengakibatkan
kesengsaraan warga seperti kelaparan, kebodohan,tidak tegaknya hukum,
dan buruknya pelayanan publik.

Hal ini terjadi karena anggaran yang semestinya digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan publik telah dikorupsi. Begitu dahsyatnya akibat
perbuatan korupsi, sehingga tidak mengherankan jika tokoh agama dan
praktisi hukum mendorong agar hukuman koruptor diperberat.Tambahan
hukuman itu dapat berupa sanksi sosial.Termasuk kategori sanksi sosial
dalam konteks politik adalah tidak memilih pelaku korupsi sebagai
pejabat publik, baik untuk jabatan di legislatif maupun eksekutif.

Karena korupsi juga termasuk dalam kategori berkhianat terhadap amanat
rakyat, kesaksian mereka dapat ditolak dalam proses pembuktian hukum di
pengadilan. Dalam hal ini, ajaran Islam telah memberikan petunjuk yang
jelas bahwa kesaksian pengkhianat itu tidak dapat diterima. Bentuk lain
sanksi sosial adalah agar koruptor muslim tidak disalati saat meninggal
dunia. Pandangan ini mendapatkan justifikasi ajaran Islam. Sebuah
riwayat mengisahkan bahwa ada seorang sahabat wafat dalam Perang Khaibar.

Para sahabat pun memberi tahu kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian beliau
bersabda: "Salatilah teman kalian! Maka berubahlah wajah para sahabat
karena Rasul ternyata enggan untuk menyalatinya. Selanjutnya, Nabi
bersabda: "Sesungguhnya teman kalian telah menggelapkan harta rampasan
perang. Para sahabat pun menggeledah barang-barangnya dan menemukan
perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham
(HR.Abu Daud)."

Riwayat ini dapat menjadi rujukan untuk tidak menyalati jenazah
koruptor, terutama bagi tokoh agama. Para koruptor sesungguhnya sadar
bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan masyarakat. Karena itu,
guna mengurangi beban mereka,terkadang menggunakan harta hasil korupsi
untuk kepentingan ibadah. Tentu saja cara ini tidak akan mengubah status
hukum perbuatan dan harta hasil korupsi.

Dikatakan dalam sebuah kaidah ushul fiqihbahwa sesuatu yang haram
mengambilnya maka haram pula memberikannya. Ajaran ini perlu dikemukakan
agar tidak muncul pemahaman parsial, bahwa dosa korupsi dapat terhapus
melalui perbuatan menyedekahkan sebagian harta korupsi.

Untuk memberikan efek jera pada koruptor maka pimpinan organisasi sosial
keagamaan, tokoh masyarakat, serta pengelola pendidikan dan pelayanan
sosial harus berkomitmen untuk menolak sumbangan yang bersumber dari
harta hasil korupsi. Sikap tegas ini penting untuk memberikan pelajaran
pada pelaku korupsi.

BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel dan
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481757/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.