Kamis, 29 Maret 2012

[Koran-Digital] Pemberani yang Bisa Mengukur Diri

RUMANGSA bisa nanging ora bisa ngrumangsani, merasa bisa, tetapi tidak tahu diri atau tidak bisa mengukur diri. Itulah perilaku gemblung sebagian besar elite, terutama mereka yang berebut jabatan atau kekuasaan. Bukti sakit dan bobroknya moralitas kita.

Ada contoh menarik dalam jagat pakeliran sekitar tema Merasa bisa tetapi juga bisa mengukur diri. Yakni, persaingan satria berwujud kera dari Goa Kiskenda, antara Anoman dan Anggada, ketika keduanya bersaing untuk mendapatkan jabatan sebagai duta Ramawijaya dari Pancawati.

Ramawijaya menghendaki utusan khusus ke Alengka untuk memastikan keberadaan istrinya, Sinta, yang diculik Rahwana. Sang duta juga harus memetakan kekuatan angkatan perang Alengka. Karena, bila upaya diplomasi meminta kembali Sinta gagal, Ramawijaya akan menggunakan jalan kekerasan atau peperangan.

Alkisah, Negara Alengka sangat jauh dari Pancawati dan terpisahkan oleh Samudra Hindi. Karena itu, baik Anoman maupun Anggada yang adalah saudara sepupu, sama-sama mengukur-ukur diri. Apakah mampu melaksanakan tugas berat dan berisiko tinggi itu bila terpilih menjadi duta?
Di depan Ramawijaya, Anggada menyatakan dirinya sanggup menyelesaikan tugas sebagai duta selama satu bulan. Sebaliknya, Anoman mengaku bisa lebih pendek, 15 hari. Mendengar itu, Anggada menjawab dirinya siap tuntas dalam 10 hari. Anoman menyela, dirinya sanggup hanya satu minggu. Anggada menimpali lagi dan berani rampung dalam lima hari. Anoman lalu pasang target sehari semalam. Anggada akhirnya menyerah.
Aji sepiangin Kenapa Anoman begitu yakin bisa mencapai target dalam waktu yang mencapai target dalam waktu yang sesingkat itu? Karena ia memiliki kapabilitas berkat aji sepiangin. Bila aji itu digunakan, ia bisa terbang dan melesat bagaikan kilat. Inilah yang tidak dimiliki Anggada.

Kedigdayaan lainnya, Anoman bisa mengubah tubuhnya sesuai kehendaknya. Ia mampu mekar sebesar gunung (tiwikrama) atau sebaliknya, mengerut. Karena itulah, ia mulus masuk ke Alengka, bahkan menyelinap ke Taman Argasoka, tempat Sinta disekap. Padahal, ketika itu seluruh penjuru Alengka dijaga prajurit andal kepercayaan Rahwana.

Singkat cerita, Anoman dapat bertemu Sinta. Setelah menyampaikan pesan-pesan Ramawijaya, Anoman mengobrak-abrik Istana Alengka untuk menjajaki kekuatan bala tentara Alengka.

Ia akhirnya tertangkap oleh Indrajit, anak Rahwana. Rahwana kemudian menghukum Anoman dengan dibakar.
Tetapi berkat kesaktiannya, Anoman kalis dari api, justru istana Alengka yang berkobar.

Dengan keberanian dan kemampuannya, Anoman gemilang menjalankan tugas dan kembali menghadap Ramawijaya sesuai dengan masa jabatan yang dijanjikan.
Dalam seni pedalangan, cerita di atas biasanya dipentaskan dengan lakon Anoman Duta.

Nilai kearifan apa yang bisa dipetik dari Anoman? Selain pribadi yang bisa ngrumangsani, Anoman memegang teguh amanah, tidak mencla-mencle, dan dapat dipercaya. Ia cermin negarawan yang berprinsip ati, lati, lan pakarti nyawiji, antara hati, ucapan, dan tindakan jadi satu, tidak ngalor-ngidul.

Pengabdian Anoman pun tidak berhenti ketika ia pensiun dari jabatan duta dan senapati. Anoman yang dikodratkan berusia panjang itu masih ikhlas menyuguhkan sisasisa hidupnya sebagai guru bangsa.
Yakni, menjadi begawan berjuluk Resi Mayangkara di Pertapaan Kendalisada hingga akhir hayatnya, moksa. (Ono Sarwono/H-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/03/30/ArticleHtmls/Pemberani-yang-Bisa-Mengukur-Diri-30032012022014.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.