Kamis, 29 Maret 2012

[Koran-Digital] LAODE M ASLAN: BBM Sayang, Nelayan Malang

BBM Sayang, Nelayan Malang PDF Print
Friday, 30 March 2012
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), jika benar akan dilakukan oleh
pemerintah maka akan merupakan kebijakan yang berimplikasi buruk bagi
nelayan.


Mengapa? Karena nelayan memiliki kebergantungan yang sangat tinggi
terhadap BBM. Hasil penelitian saya memperlihatkan bahwa kontribusi
komponen biaya BBM terhadap keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan
per trip berkisar antara 50–70% untuk kelompok nelayan skala kecil dan
35–50% untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas (Aslan, 2012). Ini
artinya perubahan harga BBM dapat berkontribusi positif pada
meningkatnya angka kemiskinan atau kesejahteraan bagi nelayan.

Dalam kaitan itu, pemerintah perlu mencermati dengan seksama dan bijak
pada enam aspek terkait dengan keberadaan nelayan. Pertama, nilai tukar
nelayan (NTN) per tahun semakin menurun. Badan Pusat Statistik (2011)
melaporkan bahwa rata-rata NTN nasional per September 2011 tercatat
hanya mencapai 103,80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang
nilainya mencapai 105,05.NTN yang semakin rendah per tahun
mengindikasikan nelayan kita semakin miskin. Kedua,nelayan kecil di
Indonesia yang rata-rata menggunakan kapasitas kapal kurang dari 10
gross ton (GT) adalah kelompok nelayan yang paling terkena imbas akibat
kenaikan harga BBM.

Berdasarkan data, rata-rata pendapatan nelayan kecil di Indonesia
berkisar antara Rp450.000– 500.000 tiap kepala keluarga per bulan.
Ketiga, rantai pemasaran yang terlalu panjang dari SPBU hingga pihak
nelayan merupakan problem yang masih mengganggu nelayan khususnya yang
bermukim di pulau-pulau kecil.

Nelayan juga dihadapkan pada persoalan harga eceran yang jauh di atas
harga standar yang ditetapkan pemerintah. Juga sering terjadi
penyimpangan di solar pack dealer nelayan (SPDN) dan stasiun pengisian
bahan bakar nelayan (SPBN). BBM yang semestinya untuk nelayan, kerap
diselewengkan untuk industri perikanan ataupun kapal-kapal besar.
Keempat, subsidi BBM untuk nelayan sebagai modal utama mencari ikan
sangat kecil.

Kebutuhan jumlah BBM bersubsidi sektor perikanan setiap tahun sekitar
2,6–3,5 juta kiloliter (kl), meliputi sekitar 2 juta kl untuk nelayan
dan sekitar 600.000 kl untuk pembudi daya ikan. Tahun 2009, Pertamina
hanya mampu menyalurkan sekitar 1,35 juta kl. Bagaimana nelayan akan
melaut kalau BBM saja tidak ada atau minim tersedia? Kelima, jumlah
pengangguran akibat kenaikan harga BBM bakal semakin meningkat.

Banyak kapal dan perahu yang tidak mampu beroperasi sehingga terpaksa
mem- PHK anak buah kapal (ABK)- nya.Padahal,paraABK tersebut dalam
beberapa bulan terakhir sejak dua tahun terakhir, juga terpaksa tidak
melaut karena cuaca ekstrem dan gelombang lautyangtinggisertajangkauan
wilayah penangkapan ikan akan semakin jauh dari perkampungan nelayan.
Keenam, harga jual hasil tangkapan tidak paralel naik seiring dengan
kenaikan harga BBM.

Selama ini, harga jual ditentukan oleh pasar.Meskipun tangkapan
melimpah,para nelayan sering kali tidak dapat menikmati hasil jual
secara optimal. Hal ini dipicu permainan pasar dan rantai pasar yang
tidak langsung dijual ke pasar atau pedagang besar alias nelayan hanya
mampu menjual ke pedagang lokal,sehingga harganya relatif murah.

Secara sederhana akan timbul beragam pertanyaan,bagaimana pemerintah
sangat percaya diri bahwa dengan menaikkan harga BBM nelayan akan
sejahtera atau tidak miskin. Apalagi, ada rencana pemberian bantuan
langsung tunai (BLT) hanya selama sembilan bulan.Apakah kompensasi BBM
berupa BLT selama sembilan bulan sudah menjamin nelayan akan sejahtera
atau minimal tidak miskin lagi pasca kenaikan harga BBM?

Solusi

Ada dua opsi yang perlu dilakukan dalam kaitannya dengan rencana
kenaikan BBM. Opsi pertama, yang sangat rasional adalah menunda kenaikan
BBM sampai 2013 atau 2014.Selain itu, pemerintah sudah saatnya harus
mempunyai grand designprogram pengembangan dan pembangunan perikanan
nasional berbasis nelayan bukan berbasis kepentingan para pemilik modal
semata. Opsi kedua, menaikkan harga BBM.

Dalam opsi kedua ini, ada empat catatan penting agar dampak kenaikan BBM
dapat diminimalisasi.Pertama, pemerintah harus memperjelas
besaran,kontinuitas,dan model penyaluran dana kompensasi bagi nelayan.
Nelayan lebih menginginkan BLT dikonversi menjadi kompensasi berdasarkan
produktivitas hasil tangkapan yang dicapai oleh nelayan. Misalnya,
kenaikan produksi berat tangkapan nelayan dirasionalkan dengan kenaikan
harga BBM sebesar Rp1.500 per liter.

Pengalihan subsidi BBM ke subsidi langsung selayaknya diarahkan ke arah
program yang bersifat produktif bukan konsumtif,jangka panjang (bukan
hanya selama sembilan bulan), berkelanjutan, dan mampu meningkatkan
kapasitas sumber daya nelayan. Caranya bisa melalui pendidikan berbasis
perikanan,pengembangan kelembagaan nelayan, pengembangan usaha
kecil-menengah, termasuk bantuan beasiswa bagi generasi muda nelayan
usia sekolah Kedua,

pengembangan infrastruktur yang dapat menjamin ketersediaan pasokan BBM
dalam jumlah dan harga sesuai dengan harga resmi pemerintah serta akses
yang mudah dijangkau oleh nelayan. Untuk itulah perlu ada kebijakan
khusus dari pemerintah bagi ketersediaan BBM bagi nelayan,khusus di
pulau-pulau kecil termasuk yang berbatasan langsung dengan negaranegara
tetangga, mengingat potensi stok ikan yang masih tinggi banyak terdapat
pada pulau-pulau di perbatasan Filipina,

Australia, dan Papua Nugini serta Malaysia. Ketiga, perlu adanya jaminan
subsidi BBM khusus untuk nelayan. Pengelolaan SPDN dalam hal ini juga
dapat memberikan alat kontrol terhadap penjaminan tersampaikannya BBM
bersubsidi untuk nelayan. Dengan begitu, kekhawatiran penyimpangan
terhadap pemberian subsidi BBM dapat dihindarkan langsung oleh
pengelolaan mandiri oleh organisasi nelayan yang secara langsung
mengetahui nelayannelayan yang mana harus mendapatkan harga subsidi BBM
dan masyarakat umum yang bukan nelayan.

Keempat, upaya penggunaan teknologi tangkap ramah lingkungan mendesak
untuk dikembangkan. Penggunaan alat tangkap hemat BBM seperti alat
tangkap yang menetap (set net) secara massal dan tidak menggunakan BBM,
dan pemanfaatan biofuel seperti penggalakan pemanfaatan rumput laut
sebagai bahan baku pembuatan etanol, serta mengupayakan mengonversi
bahan bakar solar ke BBG sebagai alternatif dari kenaikan harga solar.

LAODE M ASLAN
Guru Besar dan
Dekan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481762/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.