Kamis, 29 Maret 2012

[Koran-Digital] MARIO SIMATUPANG: Kebijakan Uang Muka Minimal KKB dan KPR

Kebijakan Uang Muka Minimal KKB dan KPR PDF Print
Friday, 30 March 2012
Beberapa hari yang lalu kita mendengar berita Bank Indonesia akan
mengatur uang muka minimal yang harus dipunyai debitur bila mengambil
kredit kendaraan bermotor atau kredit pemilikan rumah (KPR) dari bank.

Untuk kredit kendaraan bermotor, uang muka ditetapkan antara 20-30%
sedangkan untuk KPR sebesar 30% (atau loan-to value ratio70%). Mungkin
sebagian besar masyarakat mengkritik kebijakan ini karena membatasi
peluang mereka untuk memperoleh kredit dari bank. Di lain pihak,
sebagian pelaku industri perbankan merasa kalau bank sentral terlalu
jauh mencampuri bisnis perbankan dan kebijakan ini berpotensi mengganggu
proses intermediasi perbankan.

Tentu saja, semua pihak bisa muncul dengan perspektif masingmasing.
Namun demikian, kita memiliki keyakinan bahwa pengambil kebijakan di
Bank Indonesia tentu sudah memiliki perencanaan yang matang sebelum
peraturan ini diberlakukan. Ada sasaran yang hendak dituju untuk
kebaikan bersama. Sekarang kita coba menelaah ada apa dibelakang
pengaturan uang muka kredit di bank.

Dalam terminologi teknis perbankan, kebijakan Bank Indonesia ini disebut
loan-to-value ratio (LTV ratio).Istilah loan-tovalue ratio ini lebih
banyak digunakan untuk KPR, sedangkan untuk kendaraan bermotor lebih
umum disebut uang muka, walaupun esensi keduanya sama saja. Rasio ini
mengukur seberapa besar kredit yang dapat diberikan bank terhadap total
nilai agunan aset/objek yang didanai,misalnya rumah atau kendaraan.

Misalnya LTV ratio80% berarti untuk pembelian rumah seharga Rp100 juta,
bank hanya dapat memberikan kredit sebesar Rp80 juta. Nah, kekurangannya
sebesar Rp20 juta merupakan modal sendiri (equity) dari debitur. Lalu
sekarang kenapa LTV ratio harus diatur? Dari sudut pandang manajemen
risiko, LTV ratio merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk
mengelola risiko kredit bank.

Semakin rendah LTV ratio, berarti semakin rendah kerugian bank apabila
debitur tidak mampu membayar kreditnya. Misalnya kita menetapkan LTV
ratio 50%,pada kondisi ini berarti bank hanya memberikan kredit 50% dan
sisanya sebesar 50% merupakan modal sendiri dari debitur (bandingkan
dengan angka LTV ratio 80% diatas, dimana bank berkontribusi sebesar
80%,sedangkan debitur hanya 20%).

Kalau ternyata karena sesuatu hal debitur mengalami gagal bayar, maka
kerugian bank dibatasi hanya sebesar 50%. Nah, sekarang pertanyaannya
sebenarnya berapa nilai wajar LTV ratio dan apakah besaran LTV ratio
yang ditetapkan Bank Indonesia saat ini sudah tepat? Sebagai
perbandingan mari kita lihat best practices dari penerapan loan-to value
ratio untuk KPR di berbagai negara.

Nilai LTV ratio (lihat tabel) secara umum merupakan nilai maksimum dalam
kondisi pemberian kredit yang standar.Pada prakteknya LTV ratio ini
ditetapkan secara berbeda-beda oleh bank sesuai dengan profil risiko
debitur yang bersangkutan. Untuk debitur dengan credit historyyang baik
dan memiliki hubungan jangka panjang dengan bank, nilai maksimum LTV
ratio bisa diperoleh.

Kalau melihat LTV ratio yang ditetapkan negara-negara tersebut,
sepertinya rasio 70- 80% (atau uang muka minimal 20-30%) yang ditetapkan
Bank Indonesia masih masuk kisaran yang wajar. Namun demikian,sejalan
dengan upaya perbaikan krisis finansial global dan antisipasi krisis
eropa,saat ini sejumlah negara mulai meninjau untuk mengurangi tingkat
utang (deleveraging) dari sektor publik maupun sektor private, termasuk
tingkat utang masyarakat terhadap bank.

Tentu kita belum lupa kalau krisis finansial global tahun 2008 dimulai
dari sektor properti yang diakibatkan tingginya tingkat utang
(overleveraging) KPR masyarakat Amerika Serikat (AS). Kondisi yang lebih
mengkhawatirkan terjadi di kredit kendaraan bermotor. Dengan bermodalkan
Rp500 ribu, kita bisa membawa pulang motor seharga minimal Rp8 juta. Itu
sama saja artinya dengan LTV ratio sebesar 95% lebih.

Kemudahan ini menyebabkan banyak golongan masyarakat dapat memiliki
motor secara kredit namun sebenarnya dari sisi penghasilan mereka belum
mampu membeli motor. Selama ini bank dan lembaga pembiayaan tutup mata
karena kalaupun debiturnya tidak mampu membayar kredit, motor dapat
disita dan dijual dengan harga cukup tinggi.Tetapi tidak ada yang tahu
kalau mungkin saja besok harga motor jatuh karena oversupply, sama
halnya dengan masyarakat AS tidak percaya melihat harga rumah mereka
yang bertahun- tahun terus naik tibatiba anjlok.●

MARIO SIMATUPANG
Penulis adalah pemegang kualifikasi profesional
Financial Risk Manager (FRM) yang sedang
menjalankan studi Master dalam bidang
Finance di Rotterdam School of Management (RSM), Belanda

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481741/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.